[Rantau-Net] Koto Gadang, Desa Tokoh Terkenal...

2000-04-30 Terurut Topik Z Chaniago

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0005/01/DAERAH/kota30.htm

KOTO Gadang itu di mana Padang, sih? Itu-tu...daerah tempat lahirnya banyak 
tokoh dan cendekiawan terkenal. Ada rencana, saya dan rombongan melancong ke 
sana," kata Rudy Cahyadi, salah seorang pengelola biro perjalanan di 
Jakarta, pertengahan April 2000 lalu.
Pertanyaan senada, acapkali dikemukakan orang-orang yang bukan berasal dari 
dan ingin ke Ranah Minangkabau, Sumatera Barat. Ironisnya, di Sumatera Barat 
(Sumbar) sendiri masih banyak orang yang tak tahu tentang daerah itu, 
kecuali tahu sebatas informasi: daerah Koto Gadang sebagai tempat kelahiran 
banyak tokoh dan cendekiawan kaliber nasional dan internasional.

Koto Gadang memang tak masuk dalam peta. Lihatlah peta Propinsi Sumatera 
Barat (terbitan PT Karya Pembina Swajaya, berskala 1:600.000), atau Peta 
Kilometer dan Pariwisata Sumatera (terbitan Bina Cipta, berskala 
1:2.500.000), atau lagi Peta Jalan dan Pariwisata Sumatra, Road and Tourist 
Map (terbitan CV Indo Prima Sarana, berskala 1:2.500.000) yang beredar di 
berbagai toko buku, Koto Gadang tetap tak ada.

Begitu juga peta-peta yang dipajang di kantor instansi pemerintah di Sumbar, 
Koto Gadang tetap tak tercantum. Bahkan, dalam Peta Kabupaten Agam berskala 
1:500.000, nama Koto Gadang tetap tak muncul. Mungkin bisa dikatakan 
keterlaluan sekali, karena dalam peta wisata "West Sumatra" dalam buku 
Minangkabau West Sumatra yang diterbitkan Dinas Pariwisata Sumbar, Koto 
Gadang pun tak disinggung-singgung. Seolah-olah potensi industri 
pariwisatanya tak ada.

Banyak orang mungkin mengira bahwa Koto Gadang itu sebuah kota, seperti 
halnya Solok atau Bukittinggi, di Ranah Minangkabau, Sumbar daerah yang oleh 
orang Belanda dulu dilukiskan bagaikan sekuntum bunga dalam tamannya 
Indonesia. Padahal bukan. Barangkali, itu pula yang menyebabkan Koto Gadang 
tak tercantum dalam berbagai jenis peta.

Terlepas dari itu, adalah ironis sekali, profil Koto Gadang pun tak ada 
dalam pembukuan/administrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Agam. "Profil 
daerah lain di Kecamatan IV Koto ada, tetapi profil Koto Gadang tak 
ditemui," kata Ibramsyah, Kepala Bagian Humas dan juru bicara Bupati Agam, 
Senin (24/4) di Lubukbasung. Profil/ data tentang Koto Gadang sempat dicari 
di kantor Pemerintahan Masyarakat Desa setempat, tetapi tak ditemui.

Benar kata syair lagu Obbie Mesakh; "...Sungguh aneh tetapi nyata..."


***
KOTO GADANG sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 adalah 
sebuah desa di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, sekitar 100 kilometer 
utara Padang. Atau sekitar 15 km barat Bukittinggi.

Sebelumnya Desa Koto Gadang dikenal sebagai sebuah Nagari (bahasa Sanskerta 
nagar, suatu kesatuan wilayah otonomi adat), yang membawahi Koto Subarang, 
Koto Gantiang, Koto Kaciak, Koto Tangah, Baliak Koto, dan Kapalo Koto.

Setelah kemerdekaan RI, Nagari dijadikan pemerintahan resmi terendah di 
Sumbar, daerah yang kini berpenduduk sekitar 4,4 juta jiwa itu. Dengan 
diberlakukannya UU Nomor 5/1979 tersebut, status Nagari hanya menjadi 
kesatuan masyarakat adat. Dengan demikian, sah-sah saja kalau ada yang 
menyebutnya Desa Koto Gadang dan Nagari Koto Gadang.

Banyak tokoh dan cendekiawan terkenal dilahirkan di daerah yang berada di 
kaki Gunung Singgalang (2877 m) yang subur ini, sudah menjadi catatan dan 
bukti sejarah sedari dulu. Sebutlah misalnya, Soetan Sjahrir (1906-1966). 
Tokoh ini selesai studi di Negeri Belanda, kembali ke Indonesia dan memimpin 
Partai Nasional Indonesia, memperjuangkan kemerdekaan.

Sjahrir, Perdana Menteri pertama RI, meninggal di Swiss ketika berobat, 
setelah empat tahun dalam tahanan politik pemerintahan Soekarno. Begitu 
Presiden Soekarno mengetahui Sjahrir meninggal, Presiden langsung 
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ia dimakamkan di TMP Kalibata.

Kemudian Haji Agus Salim (1884-1954). Ia studi Islam sambil belajar di 
Jeddah. Pahlawan Nasional yang menguasai puluhan bahasa asing ini aktif 
dalam gerakan kemerdekaan, mulai tahun 1920. Setelah Indonesia Merdeka ia 
menjadi Menteri Luar Negeri (1947-1949). Meninggal di Jakarta dan dimakamkan 
di TMP Kalibata.

Ada Rohana Kudus (1884-1972) yang tercatat sebagai perempuan jurnalis 
pertama. Ada Mr Dr Mohamad Nasir (yang jadi Sekjen Gubernur Batavia), Ferdy 
Salim (mantan Duta Besar RI untuk Brunei Darussalam), Prof Dr Hanif Datuk 
Magek Labiah (guru besar dan Dubes RI untuk AS), Abd Muis (mantan Dubes RI 
di Praha), BA Masfar (mantan Kuasa Usaha Indonesia di Arab Saudi), dan tokoh 
pelukis terkenal seperti Haji Oesman Effendy dan Haji Hasan Jafar.

"Sedikitnya ada 10 jenderal TNI yang dilahirkan di Koto Gadang antara lain 
Rais Abin, OB Syaaf, Jasril Jacub, Niel Almatzir, Dan Anwar, Dr Nusmir, Z 
Bazar, K Rahman Dt Marajo, dan Syaiful Sulun," kata Yusbar Yakub (60), 
Kepala Desa Koto Gadang.

Kalau dirunut, demikian Yusbar, ada lebih 70 tokoh lain yang masih menjabat 
atau sudah menjadi mantan, berasal dari Koto Gadang, dengan jabatan sebagai 

[Rantau-Net] Koto Gadang

2000-04-30 Terurut Topik Z Chaniago

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0005/01/DAERAH/index.htm


Koto Gadang
Alamnya Mempesona, Kerajinannya Mendunia


BERKUNJUNG ke Ranah Minang, Sumatera Barat, jangan sampai tak mampir ke Koto 
Gadang. Dalam peta pariwisata, Koto Gadang memang seakan-akan terlupakan. 
Namun begitu, saban hari desa yang berada sekitar 15 km dari Kota 
Bukittinggi itu, tak pernah sepi dari kunjungan turis Nusantara dan 
mancanegara.
"Dalam sehari sedikitnya ada 5-10 orang turis mancanegara yang berkunjung 
dan membawa hasil kerajinan di sini ke negaranya masing-masing sebagai 
cenderamata," kata Silvia, staf di Keradjinan Amai Setia 1915.

Keradjinan Amai Setia 1915 adalah suatu organisasi wanita yang pertama di 
Minangkabau, berdiri 11 Februari 1911 di Koto Gadang dan diprakarsai Ibu 
Rakena Puti. Sementara aktivitas untuk mendidik perajin sudah berlangsung 
sejak 1908. Sampai sekarang organisasi itu masih tetap eksis, di samping 
mendidik dan membina para perajin kain sulaman dan perak, sekaligus juga 
menampung hasil produksi masyarakat setempat.

Melihat buku daftar tamu, jangan heran, lebih banyak nama orang asing 
dibanding nama-nama orang Indonesia. Ada yang dari Zimbabwe, Inggris, 
Jepang, Italia, Australia, Selandia Baru, Jerman, Norwegia, Swiss, Belgia, 
Kanada, Denmark, Perancis, Singapura, Malaysia, AS, Peru, Argentina, dan 
sebagainya.

Menurut sejumlah wisatawan mancanegara, alam Koto Gadang sangat menawan. 
"Desanya unik, alamnya indah menawan, hasil kerajinannya berupa kain sulaman 
dan perak sangat berkualitas, juga kehidupan masyarakatnya yang harmonis, 
suka bergaul," kata Matsuo Inoshi, salah seorang turis asal Jepang.

Bagaimana tidak, Desa Koto Gadang yang berada di kaki Gunung Singgalang 
(2.877 m) seakan-akan diapit oleh Gunung Merapi (2.891 m). Sawah yang subur 
membentang luas, ada dataran dan berjenjang-jenjang. Bahkan di bagian 
utaranya terdapat Ngarai Sianok. Koto Gadang posisinya berada di atas Ngarai 
Sianok itu.

"Kedudukan strategis Koto Gadang di kalangan ilmuwan dan wisatawan ternyata 
punya daya tarik yang luar biasa. Banyak ilmuwan mancanegara yang melakukan 
penelitian. Karena di waktu pemerintahan kolonial Belanda pernah didirikan 
sekolah yang saat itu mendidik putra-putri Koto Gadang, yang akhirnya 
menjadi tokoh dan cendekiawan terkenal," kata Yusbar Yakub, Kades Koto 
Gadang.

Meski banyak turis datang, menurut Yusbar, namun masyarakat tak hendak 
membangun restoran atau tempat penginapan, meski secara ekonomis hal itu 
sangat menguntungkan. "Para tokoh adat dan tokoh masyarakat khawatir 
anak-kemenakannya terpolusi kehidupan budaya asing," ujarnya.


***
TENTANG hasil kerajinan yang mendunia, bukanlah sekadar isapan jempol. Sejak 
zaman Belanda hasil kerajinan di sini sudah sangat terkenal dan dikembangkan 
secara turun-temurun. Bahkan ada pameo di kalangan kaum ibu kami membesarkan 
anak dengan ujung jarum penjahit.

Hasil tenunan atau sulaman yang terkenal dari Koto Gadang adalah sulaman 
selendang benang emas suji kapalo samek, selendang terawang, kasiak, dan 
selendang lumpang. Juga rendo.

"Harga rendo yang terbuat dari benang katun berkisar
Rp 5.000 sampai lebih Rp 1 juta per helai. Harga sulaman selendang yang 
benangnya dari Jepang (tetapi pewarnaan di Koto Gadang) antara Rp 600 ribu 
sampai Rp 900 ribu," papar Ibu Muchtitizar, Bendahara Kerajinan Amai Setia 
1915.

Sementara hasil kerajinan perak murni, yang dibuat dalam berbagai kreasi, 
seperti bangunan rumah bagonjong, jam gadang, berbagai bentuk aksesori dan 
sebagainya, berharga antara Rp 5.000 sampai jutaan rupiah.

"Hasil-hasil kerajinan Koto Gadang ini tak dijual di tempat dan daerah lain, 
kecuali saat ada pameran dan bazar. Di samping untuk menjaga kekhasan dan 
keaslian, juga kualitas. Artinya, kalau ada orang berminat dan ingin tahu 
dengan hasil kerajinan Koto Gadang, ya, harus datang ke daerahnya," ucap 
Silvia.


Get Your Private, Free E-mail from MSN Hotmail at http://www.hotmail.com

LAPAU RantauNet di http://lapau.rantaunet.web.id
Isi Database ke anggotaan RantauNet:
http://www.egroups.com/database/rantaunet?method=addRecordtbl=1
=
WEB-EMAIL GRATIS ... @rantaunet.web.id --- http://mail.rantaunet.web.id
=
Subscribe - Mendaftar RantauNet Mailing List, kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email / Messages: subscribe rantau-net email_anda

Unsubscribe - Berhenti menerima RantauNet Mailing List, kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi emai / Messages: unsubscribe rantau-net email_anda
=
WebPage RantauNet http://www.rantaunet.web.id dan Mailing List RantauNet
adalah servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA
=