"Edi akan pergi jauh, tapi tiada nasehat yang akan Bunda sampaikan. Edi tidak memerlukannya. Pergilah dan jagalah dirimu baik-baik di rantau, Nak!"

Begitu saja singkat pesan yang dituturkan ibuku di rumah kami di Padang sebelum kutompangi oplet yang menuju Pelabuhan Teluk Bayur tahun 1981 dan seterusnya menaiki kapal yang akan menuju tanah harapan, Pulau Jawa. Aku hanya terpekur saja memandangi lantai tanpa sepatah kata pun mendengar suaranya yang arif berwibawa.

Sebagai anak laki-laki kedua dari empat bersaudara, aku selalu membantu ibu seperti menyapu lantai, memasak, dan sebagainya. Ibuku yang bekerja sebagai guru SD dan ayah tiri yang bekerja sebagai sopir truk tidak punya waktu yang cukup untuk mengasuh kedua adik perempuanku yang masih kecil sehingga akulah yang kerapkali menggantikan tanggung jawab keduanya. Kakak laki-lakiku punya sifat berlawanan sekali denganku dan hampir tidak pernah membantu sehingga keberadaannya di rumah bagai orang angkasa luar saja bagiku.

Meski rajin melakukan banyak pekerjaan di rumah, segala hal yang tidak sejalan dengan bisikan hatiku, sekalipun itu berupa nasehat dari orang tua, begitu saja aku tolak sehingga tidaklah mengherankan apabila halilintar sering mengguntur di rumah kami. Lambat laun ibuku menyadari sifat bangkang yang mustahil diubah ini dan memahaminya sebagai sesuatu yang lumrah dari seorang manusia. Oleh karena itu, pada hari keberangkatan pergi jauh itu pun tidak berkehendak beliau memaksakan diri menuangkan nasehat kepadaku. Bahkan, tidak pula mamangan baku berikut:

        Karatau madang di hulu,
        babuah babungo balun.
        Marantau bujang dahulu,
        di rumah baguno balun.

Adagium ini bagai ujung pedang yang diarahkan ke tenggorokanku yang terlahir sebagai laki-laki Minang. Aku kira hal yang sama juga dirasakan oleh kebanyakan anak laki-laki yang terpaut dalam masyarakat bersistem matriarkat ini, khususnya waktu itu, suatu sistem yang menghendaki anak laki-laki sesegera mungkin beranjak dari bawah ketiak bunda dan berkirap dari kampung halaman. Tradisi mengharuskan anak laki-laki baru kembali pulang sesudah berhasil di rantau. Waktunya sudah matang bagiku untuk melaksanakan misi "pengusiran" ini.

Di bawah langit kelabu yang digelantungi awan yang memberat, oplet tua yang kutumpangi meraung-raung memekakkan telinga menghadap pelabuhan. Sesampai di pelabuhan, pikiranku masih kabur akan kenyataan harus meninggalkan negeri ini. Manakala bersiap-siap menaiki kapal, gerimis lebat mulai menyirami pelabuhan yang membuat perasaan mereka yang akan pergi dan tinggal kian menjadi kelabu. Semua orang basah kuyup bersama hatinya. Burung-burung laut yang enggan beterbangan mempersuram suasana ini.

Kapal yang akan memboyong kami ke Jakarta dalam perjalanan selama 3 hari sangat besar untuk ukuran waktu itu. Adakah panjangnya sekitar 50 meter? Belum begitu kelihatan rentanya. Penumpang yang membludak dengan barang bawaan yang besar-besar beringsut perlahan sekali menapaki satu-satunya tangga kapal yang cukup tinggi di bawah hujan yang kian deras mengguyur. Aku sendiri memiliki satu kopor dan satu buntalan yang penuh berisi pakaian, buku, makanan, impian, dan sebagainya.

Sudah barang tentu, naik tangga tanpa barang akan lebih cepat. Seorang temanku yang berangkat bersama-sama memercik listrik di benaknya dan menyarankan beberapa orang dari kami naik duluan tanpa barang, lantas melemparkan tali besar yang menggelantung di sisi kapal dan orang yang di bawah mengikatkan barang untuk ditarik ke atas. Kontan saja ide senilai acungan jempol ini diberkahi sehingga mulailah sibuk kami menangani proyek besar tersebut.

Tiga orang kami dari ketinggian kapal cukup kepayahan menarik barang berat itu. Tetapi, ketimbang menjinjingnya lewat tangga yang akan makan waktu sekitar 30 menit, cara begini membuat urusan tersebut terselesaikan dalam waktu sekitar 10 menit saja. Sehabis kami, para penumpang lain menyambar ide kami dan berbuat hal yang sama.

Sekitar 3 jam kemudian, kapal mengangkat sauh dan mulai bergerak tenang menjauhi dermaga diiringi lagu "Teluk Bayur" gubahan Zaenal Arifin yang disenandungkan Ernie Djohan. Lagu ini sangat populer pada waktu itu dan pastilah tidak memudar dalam hati orang yang akan berangkat jauh.

        Selamat tinggal Teluk Bayur permai.
        Daku pergi jauh ke negri sebrang.
        Ku'kan mencari ilmu di negri orang.
        Bekal hidup kelak di hari tua.

(Bla, bla, ...)

Omong-omong, ibuku yang keras mendidik anaknya berpantang melihat laki-laki menjadi cengeng. Laki-laki tidak boleh mengasihi kemalangan diri sendiri dan kata "cengeng" tidak boleh hadir dalam kamus hidupnya. Meski kelihatan bersedih hati ibuku di pelabuhan, tidak menitik setetes pun air matanya. Beberapa tahun berselang seorang famili mengabarkan bahwa ibuku baru berurai air mata sesudah kembali ke rumah. Aku kira beliau tidak mau menuangkan air matanya ke dalam hatiku yang akan berangkat jauh. Bunda mana yang tidak berhiba hati melepas anak kandungnya merantau ke seberang lautan?

Kelihatannya kapal ini dimonopoli oleh tamatan SMU, seperti aku, yang hendak mengadu nasib di rantau orang. Raut wajah mereka memantulkan kesedihan, kekuatiran berbaur harapan akan keberhasilan hidup di perantauan. Mereka banyak yang membalik-balik buku secara serius sebagai persiapan diri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Dalam benakku terlintas bayangan anak-anak sebayaku ini yang kelak akan menjadi orang besar, orang biasa, orang kecil, koruptor, sampah masyarakat, dan penghuni sorga atau neraka. Sudah pasti semuanya akan menjadi pencuri, yakni mencuri barang orang lain, mencuri barang kantor, atau setidak-tidaknya mencuri hati seorang perempuan.

Malam berikutnya ada keluarga Batak yang begitu baiknya mengundang kami datang ke kamarnya. Entah bagaimana ceritanya, seorang awak kapal orang Minang mampir pula ke sana membawa sebuah gitar. Kami bercerita panjang lebar dengan keluarga itu sambil menikmati penganan yang dihidangkannya sementara si awak kapal memetik gitar mengalunkan lagu-lagu nostalgia yang menawan hati. Iri betul aku menengok kemahirannya berdendang. Tanpa terasa waktu sudah mendekati pukul 10 malam dan kami pamit sambil mengucapkan ribuan terima kasih. Tetapi, awak kapal itu masih terus bersitebal muka memetiki gitarnya.

Keesokan harinya terjadi kegemparan karena keluarga tersebut kehilangan gepokan uang yang disimpan dalam tas mereka. Kami diberitahu tentang awak kapal yang masih tetap nongkrong di sana sampai orang terakhir jatuh ke dalam dunia tidurnya. Awak kapal yang diinterogasi oleh kapten kapal tersebut tidak mengaku tentang keterlibatannya akan raibnya sang uang. Keyakinan kuat bahwa dia dalang pencurian tersebut mematri perasaan malu dalam jiwaku sebagai orang Minang.

Awak kapal banyak yang masih muda yang berasal dari berbagai daerah di seluruh nusantara. Pernah seorang di antaranya, kalau tidak salah dari Jawa, yang sudah akrab dengan kami mengajak kami ke ruang mesin yang terletak di bagian bawah perut kapal. Ini merupakan kehormatan bersebab penumpang biasa tidak dibenarkan memasukinya. Ada pompa air yang bekerja 24 jam mengeluarkan air yang merembes lewat retakan yang terdapat di dinding perut kapal. Apabila pompa ini modar, tentulah skenario perjalanan hidup kami juga akan rusak, mungkin juga modar sekalian. Kendati menyadari bahwa kematian adalah proses alamiah dari perjalanan hidup manusia, sedikit kekuatiran tetap membias di setiap wajah kami, terutama manakala ingat akan budi orang tua yang belum terbalas.

Informasi dalam kapal yang tidak tertulis mengalir dari mulut ke mulut sehingga tidaklah mengherankan informasi ini bisa berubah-ubah. Kian jauh sumber informasi ini kian tidak akurat pula keabsahannya. Air yang muncrat di kamar mandi umum dalam waktu yang sudah ditetapkan bisa saja tiba-tiba mati suri diiringi pekikan banyak penumpang yang masih bergelimang sabun. Sudah barang tentu tidak baik tertawa mendengar pekikan orang dari kamar mandi, tetapi kami tidak bisa menahannya. Oleh karena itu, selama perjalanan tersebut tidak pernah punya nyali aku pergi mandi dan bersabar dengan bau badan yang tengik sampai Jakarta.

Kloset penuh cirit dan kencing manusia yang berbau kuning dan coklat. Pada waktu tertentu awak kapal menyiramkan beberapa ember air ke dalamnya. Tentu saja kertas toilet tidak tersedia di sana. Aku membawa beberapa cangkir berisi air ke kamar kecil ini untuk membasuh pantat kecilku sehabis buang hajat.

Pada waktu kelas 3 SMU, ada kekalutan dalam benak akan jalan mana yang harus kupilih menuju cita-cita yang diidamkan. Tidak ada rencana berangkat ke Ranah Jawa yang jauh sekali dan lebih-lebih lagi aku tidak punya famili seorang pun di sana. Untunglah seorang teman se-SMU mengajakku hengkang bersama-sama ke sana dan tinggal beberapa hari di rumah familinya di Jakarta. Begitu pula, ketika tiba di Bandung, kota tempat kami mengikuti ujian, kakak kelas SMU yang sedang memamah bangku ITB (Uda Irdamsyah yang juga menjadi penghuni milis ini serta yang lainnya) begitu baiknya memberi tumpangan menginap kepada kami sampai hasil ujian perguruan tinggi keluar dan sampai kami mendapatkan kos sendiri.

Kerapkali tercenung aku dalam keirian akan banyak teman yang cepat frekuensi putaran cakram benaknya dan mudah menyelesaikan perhitungan yang rumit-rumit. Ada perasaan rendah diri yang membuatku cenderung menyendiri. Ketika masih di SMU, peringkat aku di kelas hanya belasan saja sehingga aku tahu diri tidak memilih jurusan atau perguruan tinggi yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berotak encer.

Ada tiga jurusan yang bisa dipilih di perguruan tinggi yang sama atau berbeda, tetapi aku hanya memilih dua jurusan saja. Seperti yang diduga, aku tidak dapat masuk Jurusan Ekonomi Universitas Pajajaran yang dipilih, tetapi IKIP Bandung rela menerimaku sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa Jepang yang masih belum banyak peminatnya. Kukira semangat pantang kalah dan berusaha habis-habisan di atas koridor kerendahan hati banyak membantuku menapaki perjalanan hidup selama perkuliahan, sekarang, dan juga masa yang akan datang.

Sebetulnya, sebelum menunggangi kapal di Padang, bertekad aku bersumpah dalam hati bahwa tidak akan pernah aku menginjakkan kaki di Ranah Minang lagi seandainya tidak dapat masuk perguruan tinggi di tanah Jawa. Sumpah itu tertatah jelas di dinding Gunung Merapi, di dinding tepian tempat mandi di dusunku, dan di dinding kalbuku. Jadi, aku tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tanah kelahiran tanpa berstatus sebagai bekas mahasiswa dan begitu saja akan berkalang tanah di rantau orang. Dengan sendirinya, ada sesuatu yang menyesak dalam dada tatkala tanah kelahiran kian menjauh ditinggalkan kapal dan bagai terisak menerawang kuberbisik, "Selamat tinggal kampungku, abadi."

Sesudah diterima sebagai mahasiswa di perguruan tinggi, aku memberi tahu orang tua bahwa aku tidak akan pulang kampung sebelum diwisuda. Ini juga merupakan tekad yang diucapkan kepada diri sendiri sebelumnya dengan perasaan yang alot. Tidak tahu aku bagaimana perasaan Bung Hatta tatkala bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka.

Setentangan dengan Bung Hatta ini, baru kukenal betul sepak terjangnya yang mendunia sesudah terlepas diriku dari lingkungan Indonesia yang sarat dengan keparat dan bermukim di Jepang. Ketegasan sikapnya dan juga kerelaan menerima mati yang sudah pasti di mana saja dan kapan saja bisa tercermin dalam goresan penanya yang muncul dalam surat kabar Daulat Rakyat edisi 20 Januari 1934 yang berbunyi, "Ke mana kita di bawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tandah dalam Indonesia, itulah juga tanah air kita. ..."

Kendati sudah tamat perguruan tinggi, aku tidak hendak menampakkan muka ke kampung dan mencari pekerjaan dulu di Jakarta. Beberapa bulan bekerja di sana, program studi tur mengantarkan aku ke Jepang selama dua minggu. Beberapa bulan kemudian, kantor mengirimku mengikuti simposium tentang pendidikan Jepang yang dilangsungkan di Ranah Minang dan ini merupakan kesempatan emas untuk melihat tanah kelahiran kembali sesudah 6 tahun berlalu.

Zaman baru melahirkan manusia Minang jenis baru dengan segala sifatnya yang berbeda benar dengan generasi sebelumnya. Masih banyak yang merantau, tetapi beberapa bulan di sana sudah pulang kampung membawa kecengengannya. Meski tidak bisa dielakkan hegemoni zaman baru lambat laun menggerogoti tradisi lama, memudarnya jiwa merantau habis-habisan sangatlah disayangkan.

e
http://rantau.freeyellow.com/


RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 =============================================== Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe, anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini.

Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: 
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3
===============================================

Kirim email ke