Kenangan Bersama Amak
Keluarga kami termasuk keluarga biasa-biasasaja. Sama dengan kebanyakan
keluarga orang di kampuang. Tidak kaya tidak pulamiskin. Kami hidup sederhana.
Makan cukup, walau tidak selalu dengan lauk-paukyang enak. Tinggal di rumah
kayu, berkamar tiga. Paslah bagi lima bersaudara.Tiga perempuan dan dua lelaki.
Pangan dan papan no problem. Kalau sandang? Ya, begitulah. Kami dapatbaju
sekali setahun, pas lebaran saja. Baju lebaran kami dibuatkan seragam.Kalau
merah, semuanya merah. Demikian pula celama serta sandal. Di luar bajusekolah
tentunya. Baju sekolah juga tidak banyak. Paling tiga stel. Dua stelputih-biru
dan satu stel pakaian pramuka. Celana pramuka saya pernah bolongdibelakangnya,
dan ditambal dengan kain yang beda warnanya. Celana itu robekkarena saya
pergunakan main seluncuran, di bukit di kampung saya, yang kaminamakan gunuang.
Soal celana bolong ini sempat membuat sayamalu. Waktu menerima raport di SMP,
para juara kelas dipanggil ke ataspanggung. Saya kebetulan menjadi salah
seorang juara di kelas saya, maka naikpanggung, dengan baju pramuka yang
dikeluarkan, untuk menutupi tambalan dicelana. Kawan-kawan lain pakaiannya
sangat rapi. Ayah kami seorang pegawai negeri golongandua. Pernah beristri
empat, namun terakhir dua saja. Yang dua sudah diceraikan.Semua anaknya 12
belas. Kini yang hidup, sembilan orang. Tiga sudah berpulang.Sebagai orang yang
beristri dua, banyak keinginan ayah yang tidak tercapaikarena keaadaan. Mau
beli pesawat televisi, misalnya, gak jadi-jadi. Sebab,harus beli dua. Satu
untuk isteri pertama dan satu untuk isteri kedua. Kami beruntung punya ibu yang
punya jiwadagang. Jadi untuk kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh ayah
kami, ibuyang menangani. Kami punya beberapa petak sawah. Itu antara lain
menjadi sumberkeuangan tambahan keluarga kami. Sebenarnya, sawah warisan kami
cukup banyak.Bahkan mungkin tergolong keluarga terkaya di kampung. Cuma
sawah-sawah itu,jadi sawah “tunjuk” saja. Maksudnya kami hanya bisa menyebutkan
saja bahwa itusawah kami. Kami yang punya, tapi orang yang mengelolanya.
Sawah-sawah itudigadaikan para leluhur kami, yang malas-malas bekerja. Kami
juga punya ladangdiperbukitan beberapa buah. Cuma tidak produktif.Untuk
menambah penghasilan keluarga, ibusaya kadang pergi bekerja ke sawah orang.
Bahkan sampai ke Negeri Malalo, didekat Danau Singkarak. Mereke ke sana
berombongan dari kampong kami. Di Malalomereka diupah lebih tinggi.Ibu saya
juga membuat periuk, atau dikenaldengan belango. Antara lain berupa kuali
tanah, pemasak nasi, dan juga pembuatsayur. Periuk itu dibuat dengan tangan.
Diolah dari tanah mentah yang diadukdengan pasir, kemudian adonan itu dibentuk
bingkai serta dipukul-pukul untukmembentuk jenis keramik yang diharapkan.
Setelah proses pengeringan lalukemudian dibakar.Setelah terbentuk jadi periuk,
maka tugasselanjutnya adalah menjualnya. Semua itu dilakukan ibu saya.
Mengingat semuaitu sekarang, saya merasakan betapa kerasnya kerja ibu saya
untuk biasmembiayai keluarganya untuk bisa hidup layak. Dan sebuah kejadian
yang saya sesalkan sekarang iniadalah ketiga saya mengijak-ijak periuk yang
masih dalam proses pembuatan. Sayamengijak-ijak periuk mentah itu, karena kesal
tidak menemukan nasi di rumahsepulang sekolah.Rupanya ibu saya dan kakak-kakak
perempuansaya membawa makanan hari itu ke sawah tempat mereka bekerja dan
memesankanagar saya sepulang sekolah ke sawahsekalian makan di sana. Cuma,
masalahnya pesan itu tidak ada yang menyampaikanke saya. Ibu, yang saya panggil
amak, tidak marah dengan kejadian ini. Dia kemudian memperbaiki keramik yang
saya ijak tadiuntuk kembali dijadikan periuk. Amak mempunyai tempramen keras.
Dia sudahmenjadi anak piatu sejak kecil. Dua bersaudara dengan adik lelakinya.
Ayah merekayang menjadi gantungan hidup, banyak pula bininya. Jadi dapat
dirasakanberatnya hidup mereka waktu kecil.Walau pemarah, amak sayang sama
kami,anak-anaknya. Amak melarang kami makan di rumah orang. Dan untuk itu
Amakselalu berusaha menyediakan kami makanan yang cukup. Pernah Amak sedih
ketikamusim durian, kami tidak bisa makan durian karena tidak ada uang
untukmembelinya. Beberapa waktu kemudian Amak memborong semobil durian yang
dibarterdengan periuk di daerah Anduriang, Sicincin.Kami anak-anaknya disuruh
makansepuas-puasnya dan memilih durian kesukaan kami. Sisanya lalu dijual. Di
sana saya merasakan betapa luar biasanyaAmak. Bukan sisa jualan yang diberikan
ke kami, tapi sisa kami yang dijual.Saya, pernah beberapa kali berdagang
periukdengan Amak saya. Salah satu pasar tempat berdagang periuk adalah di
Pitalah. Untuk menuju Pitalah, sebenarnya bisa melewati bukit, karena letaknya
bersebelahan dengan kampung. Tapi karena membawa saya, capek dan susah naik dan
mendaki bukit, kamiterlebih dahulu jalan kaki menuju Batu Taba yang berada di
pinggir Danau Singkarak. Kami jalan kaki melalui kampong Turawan dan Padang
Luar. Dari Batu Taba