Maaf dunsanak, indak ado hubungannyo jo Minangkabau doh, tapi kalau di 
hubuang-hubuangkan juo, iko dek darah manggaleh babelok nan turun dari kaki 
gunuang marapi mangko tajadi. Mohon maaf kalau tagaduah, delet sajo kalau 
indak katuju. Sekedar sharing curito palangkahan sajo.


Salam hormat


andiko sutan mancayo

*
*

*
*

*Catatan Harian di Oxford : Memintas pagi Ke Shipping Campden*

* *

*Andiko St. Mancayo*

 

Oxford pagi baru saja mengetuk pintu. Tanggalan berlari ke angka tiga puluh 
Juni dan aku harus mengejar kereta ke sebuah desa kecil  yang indah bernama 
Sipphing Campden. Kota ini menggeliat malas melemparkan selimut malam yang 
dihantarkan matahari yang teramat lambat turun ke peraduan. Waktu demikian 
panjang di musim panas. 

 

Sepanjang jalan lurus dari Roseehill ke Oxford City Center, pintu demi 
pintu tak juga terbuka. Angin dingin yang berangkat dari kutub seolah 
irisan halus, tapi menggigit dan mengkuliti sekujur tubuh. Agaknya si 
Giovanotto-Manifattura Italiana, jubah kulit Italy-ku tak cukup ilmu 
membungkus seorang pria dari Katulistiwa yang hidup di gelimangan sinar 
mentari, dari terkaman angin pagi. 

 

Seketika sarung hand made, tenunan para mama-mama dari pedalaman 
Lanrantuka-Flores yang teramat setia menemaniku mengukur jalanan dari hutan 
ke desa, dari kota ke titik episentrum negara-negara, dari Asia ke Eropa, 
hingga ke tanah para Indian dan kali ini “janjian” membawa singgah di tanah 
para ksatria emporium teramat besar dan tua, itulah tanah Inggris, dan 
sarung itu kemudian membebat erat leherku.

 

Tak lama kemudian, seorang pria dari balik box kemudi dengan sebuah senyum 
termanis pertamanya pagi ini mengucapkan Thank You Sir, ketika aku selesai 
menempelkan tiket elektronik merahku pada mesin pemindai disisi kirinya dan 
kakiku melangkah mencari sebuah bangku kosong dekat pemanas disisi kanan 
bangku-bangku yang dikhususkan untuk kaum difabel. Beberapa penumpang larut 
dengan rencana paginya.

 

Di kota ini, Kapitalisme tumbuh dengan standar kesopanan dingin para 
aristokrat. Dimana hampir semua orang memiliki senyum yang berlebih dan 
dengan ucapan terima kasih yang melimpah ruah dan kadang terasa tak biasa 
mendengar seorang sopir bus mengucapkan terima kasih setelah kita menumpang 
di busnya yang nyaman, hangat, wangi dan tentu saja anti copet. Seharusnya 
kita yang berterima kasih, tetapi lelaki itu yang lebih dulu, seolah tak 
ingin kehilangan kesempatan beramal, karena senyum saja sudah ibadah, 
apalagi kalau diiringi dengan ucapan terima kasih dengan aksen British yang 
sangat Fluend sekali.

 

Tetapi pada sisi mata uang yang berbeda, sesopan itu pula harga-harga 
dipatok, dingin tampa daya tawar, anda suka, maka anda bayar. Secangkir 
kopi dipatok antara satu setengah hingga dua pounsterling, kopi seperti itu 
yang sanggup anak sekolah beli, jika tidak juga, maka disarankan anda 
mengaduk kopi sendiri dan menentengnya sepanjang hari.

 

Namun demikian, ibarat lampu temaram di teras rumah, sejak Afred the Great 
memancang kota ini, selayaknya anai-anai, kota ini telah berubah menjadi 
cahaya yang mengundang anai-anai merubung, hingga gemerlapnya berakhir pada 
masa ketika sayapnya telah berguguran. Itulah para siswa yang menghadirkan 
dunia kecil yang plural, antara kaum samurai yang mengantar matahari 
mendaki, hingga ke Magribi, tempat mentari pulang diantar dinasti Shalih 
bin Mansur.

 

Tak jauh dari Oxford City Center, dimana Bus Nomor 3 berakhir, sebentuk 
jalan menurun dan landai berakhir di Oxford Railway Station. Angin dingin 
masih saja menyapa di stasiun tua ini. Pada titik dimana jalanan berakhir 
disebuah pelataran parkir Oxford Bus Company, anak tangga bersusun rapi 
mengantar para pelintas pada pintu utama otomatik, disitu sejak lama banyak 
cerita tercecer, terserak sampai di pelataran peron dimana deretan cafe 
menyapa dengan harum hangat kopi pagi dan sepotong sanwich, jauh sejak 
pertama kali Great Western Railway pada 12 Juni 1844 membangun tempat, 
dimana segala emosi tumpah pada setiap keberangkatan dan perpisahan yang 
dihadirkan oleh peluit kereta. Rasa yang memalangi sepanjang jalur antara 
London dan Edimburg.

 

Sebatang Dji Samsoe malu-malu terbakar dan melentik, sebab tak mudah 
baginya mengekspresikan diri pada banyak tempat di kota ini dan hidupnya 
akan berakhir dengan mengenaskan pada kotak kecil, asbak resmi yang 
dilegalisasi oleh Oxford City Council. Ada banyak mata elektronik 
menggantung, mengawasi dengan stiker yang melekat strategis yang berbunyi 
“Disini Ada CC TV yang Bekerja”, kira-kira begitulah ancaman yang dibungkus 
dengan sempurna.

 

Di sisi kanan, berderet rapih tiga box dengan antrian nyaris seperti 
terakota, para petugas dengan mikrophon kecil berbicara kepada pengantri 
tiket. Kereta yang penuh setiap akhir minggu, akan menguras manusia seisi 
kota dan menyebarkannya pada stasiun-stasiun kecil dipedesaan dan kota-kota 
kecil, dimana itulah masa ketika seorang anak beserta cucu mengunjungi 
nenek dan kakeknya diakhir pekan dan dimana para bujangan menyebar seperti 
kupu-kupu yang terhambur dari kepompongnya, memintasi tanah Inggris 
membunuhi waktu. Kota ini akan lengang semati kuburan tua yang tersebar 
hampir disemua gereja uzur di kota ini.

 

Di sisi kiri, pada deretan meja-meja dengan kopi yang mengepul para 
pelintas tampak bergerombol. Wangi jerangan kopi pada cofee maker, cafe 
kecil ini menguap, kemudian merambat pada deretan koran, buku-buku, serta 
permen dan kue-kue, deretan botol demi botol Wine yang hampir saja 
mengembun seperti tersentak, terjaga dari barisan rapih di rak toko 
kelontong kecil itu, pada akhirnya wangi kopi pagi terjerambab di meja 
bundar ditengah-tengah peron stasiun kereta itu. 

 

Dan disitu, diantara perbincangan pagi hari para perempuan tua, sebuah 
cahaya hangat, tetapi pedang menembus, menyapa dari kedalaman dua mata biru 
seseorang yang mewarisi dengan sempurna keindahan pegunungan Alpen 
Switzerlan. Segala perumpamaan Melayu tentang seorang perawan yang akan 
menjadi pintu segala dinasti, runtuh sudah !. “Where do you want to go, 
sir........?”, ah mati sudah.....

 

Pada sebaris kalimat pertama, suara lembut seperti dentingan harpa yang 
dipetik oleh para dewi dalam mitologi Yunani berdenting, menghamparkan 
sebuah negeri kecil namun kaya diantara kepungan Jerman, Itali dan Austria, 
yaitu Switzerlan. Mungkin saja ia berdarah Aria pada garis geneologis 
aristokrat Jerman dan Austria, tetapi romantisme Italiano telah mengakhiri 
keindahan kecil di pagi itu pada adi karya terhebat seorang maestro. 
Mungkin saja ia adalah sintesis antara Monalisa dengan Cleopatra-Queen of 
Egypt, ataukah ia adalah reinkarnasi antara Zenobia-Queen of Palmyra dengan 
Hellen of Troy. Akan tetapi kata Sir dengan sedikit aksen penuh tekanan 
diakhir kalimat itu telah mengubahnya menjadi Joan of Arc lengkap dengan 
Zirah dan pedang terhunus, seperti menghadiahkan cermin kepada seorang 
pemuda yang mengirimkannya surat cinta kepadanya. Indah sekaligus tragis !.

 

Aku akan ke sebuah tempat yang dicantumkan Kitab Domesday di penghujung 
1086, dimana ladang-ladang gandum sedang tumbuh dan padang rumput dimana 
kuda-kuda terbaik berlari. Desa kecil dimana Baptist Hicks (1551 - 1629) 
membawa dukanya dari London yang rusuh dan berkubur bersamanya di St James 
Curch, gereja berpagar pusara-pusara masa lalu didesa itu.

 

Tahukah kau bangaimana matahari musim panas perlahan merambat turun hampir 
di ujung puncak waktu dan berhenti pada secangkir English Tea di Bantam 
Cafe yang berdindingkan deretan bebatuan berderet rapi sejak 1693, setiap 
seginya adalah sejarah yang terhampar sebatas pandang pada pasar tua 
diseberang jalan. Disitu Market Hall dengan lengkungan yang menakjubkan, 
berdiri tegak menaungi pedagang wol sejak 1627.

 

Sepertinya didesa ini, di Shipping Campden aku temukan jawaban kenapa 
Emporium Britania Raya begitu perkasa mengirim seorang Sir Thomas Stamford 
Bingley Raffles memintasi bayang-bayang matahari tropis, membiduki 
Singkarak, memancang The Union Jack di ketinggian puncak Simawang, dan 
berdiri termangu di Pagarruyung menyaksikan puing-puing sebuah dinasti 
aristokrati pula. 

 

Aku tahu, mereka dibesarkan dengan memahat gunung batu dan merekalah para 
penyihir peradaban yang jejaknya berbaris di desa ini.

 

Chipping Campden, Gloucestershire, Cotswold countryside-United Kingdom.

30 Juni 2012

 


-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke