Bls: [R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa
Terlepas dari cerita muvie, salah satu Cerita Duka untuk Rumah Makan Minang adalah "Budaya Baru" TUSUK GIGI yang disediakan di meja makan. Saya lihat kejijikan kebiasaan baru ini, selesai makan, makanan masih terhidang, orang enak2 mencungkil taik giginya sambil maota galak2 batul2 bersamburan taik giginya ke berbagai piring makanan yang masih terhidang bertebaran. Malah tambahan komentar duka orang kalau makan di RM Minang adalah nasabahnya dikasih "makanan sisa" yang bolak balik diambil dan dikembalikan ke panci dan dihidangkan kembali. Nah dengan kebiasaan baru cungkil gigi di meja makan ini, resep sisa makanan yang dihidangkan itu pun akan bertambah... Yaaak. Kok diagak-agaki iyo duga awak maagak-i --Makngah Sjamsir Sjarif -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
Bls: [R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa
Uda Akmal,,, Ambo alun sempat manonton TR. Tapi ambo alah baniek segera,, hehehe Maliek suasana sepi di bioskop ambo yo miris juo,,, Mudah2an ulasan Da Akmal,,, bisa manggugaah awak2 di salingka Nusantara lai manyumbang tiket dg datang ka bioskop. Indak manunggu versi DVD-nyo,,, Bia film bermutu Indonesia,,, lai bisa diharagoi dek bangsanya sendiri. Amir Hamzah, 41, Bks Pada Selasa, 30 September 2014 12:09, Akmal Nasery Basral menulis: Amir Hamzah: "... sambia mananti ulasan Uda Akmal, pengamat film kito)" Sanak Amir, status 'pengamat film' itu berlaku dulu saat ambo, pado satu waktu, mamacik desk budaya di satu majalah berita. Kini hanya sebagai penonton biaso sajo. Cuma untuk film Indonesia (nan cukuik bagus) ambo memang selalu mengajak istri dan anak-anak nonton basamo di bioskop, bukan beli DVD bajakan. Beli bajakan hanyo untuak film asing. Sabtu lalu (27/9), ambo sakaluarga balimo urang sampek manonton Tabula Rasa (TR) ko. Meski baru diputar, penonton sepi sekali. Hanyo ado 12 urang (sakali lai, ambo sakaluarga balimo. Lalu keluarga lain barampek. Lalu ado sepasang anak mudo, dan surang lelaki. Nan pasangan anak mudo kalua di tengah film, jadi sampai akhia hanyo 10 urang nan manonton). Untuk menonton TR perlu "toleransi" tinggi. Urang Minang yang "sumbu pendek" mungkin langsung indak nyaman maliek adegan pambuko kutiko sekelompok anak-anak Papua di sebuah panti, sedang menunggu makan, dan ketika makanan terhidang, mereka berdoa secara Kristen dengan lafal yang jelas dan cukup panjang. Tetapi, adegan ini sebetulnya kontekstual, dan logis, karena kejadian berlangsung di Serui. Baru setelah itu cerita bergulir, di mana Hans, salah seorang anak panti tersebut, ketika remaja menemukan bakat sebagai pemain sepak bola dan diminta oleh seorang pelatih dari Jakarta untuk hijrah ke ibukota. Kepergian Hans dilepas dengan suka cita karena semua menganggap Hans akan sukses di Jakarta. Yang terjadi sebaliknya, hidup Hans terlunta-lunta sampai dia ditemukan Amak (Dewi Irawan) sedang sekarat di atas jembatan penyeberangan yang melintas di atas rel kereta api. Meski Nasir anak Mak (diperankan Ozzol Ramlan, foto di bawah) tidak setuju menolong orang asing itu, Mak berkukuh agar Hans ditolong dan dibawa pulang ke rumah mereka, yang bagian depannya adalah warung makan "Takana Juo". Di "Takana Juo" ada seorang lelaki lagi bernama Parmanto (juru masak) yang memanggil Mak sebagai "Uni". (Awalnya, ambo kira Parmanto itu adik si Mak, tetapi uniknya, si Nasir anak Mak ternyata memanggil Parmanto dengan "Uda"). Parmanto sejak awal tak setuju dengan sikap Mak yang menolong Hans. Nanti setelah hubungan di dalam "Takana Juo" itu memanas dan berlanjut dengan hengkangnya Parmanto menjadi koki rumah makan Padang lain yang lebih mewah, mau tak mau Mak meminta Hans untuk membantunya di dapur, memasak. (Agak unik juga mengapa Mak tidak meminta anaknya Nasir yang membantu memasak, dan paling tidak sudah familiar dengan bumbu-bumbu masakan Minang. Mengapa Mak meminta bantuan seorang Papua yang bukan ahli masak, namun sambil membuat rendang, Mak mengajarkan pepatah-petitih Minang. Nasir dibiarkan Mak tetap sebagai "front office", menerima tamu (yang jarang datang), sekaligus memegang kotak uang/kasir. Apakah ini sebetulnya refleksi sosiologis dari ketidakpercayaan orang Minang dalam mempercayakan urusan keuangan kepada orang non-Minang di dalam sebuah usaha, sehingga lebih aman jika Hans ditempatkan di dapur yang masih memakai kayu bakar dalam memasak, tanpa kompor gas sama sekali). Lalu pada puncak dramatik film ini, Mak yang marah karena "pengkhianatan" Parmanto yang pindah ke restoran lain (lengkap dengan "mencuri" resep andalannya), akhirnya jatuh sakit, persis ketika "Takana Juo" yang mulai mendapat banyak pelanggan sedang menerima order pesanan cukup banyak untuk sebuah pesta pernikahan. Nasir harus menemani Maknya ke rumah sakit, meninggalkan Hans sebagai koki utama. Akhir cerita tentu tak bisa diungkap karena bisa membuat gangguan bagi yang belum menonton (spoiler). Jika TR ditonton dengan keinginan menikmati sebuah cerita film yang berbeda dari kebanyakan yang ada, maka film ini cukup berhasil menghibur. Dominasi dialog bahasa Minang dalam film ini cukup meyakinkan, dengan sesekali intersepsi dialog dan akses (serta "mop", guyon ala Papua). Tetapi jika TR ditonton dengan kejelian seorang "kritikus" yang mempertanyakan setiap detil, "mengapa begini", "mengapa bisa begitu", kisah TR lumayan menyisakan banyak lubang pertanyaan. Tetapi sebagai sebuah ikhtiar yang diniatkan produsernya untuk menggali potensi cerita Indonesia modern dengan menjalin tali temali elemen budaya Nusantara, film ini sebuah tontonan keluarga yang menyenangkan. Jika publik lebih memilih menunggu versi bajakan DVD film ini keluar ketimbang menontonnya di bioskop, maka bisa dipastikan produser-(produser) tak akan tertarik membuat lagi selanjutnya karena merugi. Dan mereka akan me
Re: [R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa
Amir Hamzah: "... sambia mananti ulasan Uda Akmal, pengamat film kito)" Sanak Amir, status 'pengamat film' itu berlaku dulu saat ambo, pado satu waktu, mamacik desk budaya di satu majalah berita. Kini hanya sebagai penonton biaso sajo. Cuma untuk film Indonesia (nan cukuik bagus) ambo memang selalu mengajak istri dan anak-anak nonton basamo di bioskop, bukan beli DVD bajakan. Beli bajakan hanyo untuak film asing. Sabtu lalu (27/9), ambo sakaluarga balimo urang sampek manonton *Tabula Rasa* (TR) ko. Meski baru diputar, penonton sepi sekali. Hanyo ado 12 urang (sakali lai, ambo sakaluarga balimo. Lalu keluarga lain barampek. Lalu ado sepasang anak mudo, dan surang lelaki. Nan pasangan anak mudo kalua di tengah film, jadi sampai akhia hanyo 10 urang nan manonton). Untuk menonton TR perlu "toleransi" tinggi. Urang Minang yang "sumbu pendek" mungkin langsung indak nyaman maliek adegan pambuko kutiko sekelompok anak-anak Papua di sebuah panti, sedang menunggu makan, dan ketika makanan terhidang, mereka berdoa secara Kristen dengan lafal yang jelas dan cukup panjang. Tetapi, adegan ini sebetulnya kontekstual, dan logis, karena kejadian berlangsung di Serui. Baru setelah itu cerita bergulir, di mana Hans, salah seorang anak panti tersebut, ketika remaja menemukan bakat sebagai pemain sepak bola dan diminta oleh seorang pelatih dari Jakarta untuk hijrah ke ibukota. Kepergian Hans dilepas dengan suka cita karena semua menganggap Hans akan sukses di Jakarta. Yang terjadi sebaliknya, hidup Hans terlunta-lunta sampai dia ditemukan Amak (Dewi Irawan) sedang sekarat di atas jembatan penyeberangan yang melintas di atas rel kereta api. Meski Nasir anak Mak (diperankan Ozzol Ramlan, foto di bawah) tidak setuju menolong orang asing itu, Mak berkukuh agar Hans ditolong dan dibawa pulang ke rumah mereka, yang bagian depannya adalah warung makan "Takana Juo". Di "Takana Juo" ada seorang lelaki lagi bernama Parmanto (juru masak) yang memanggil Mak sebagai "Uni". (Awalnya, ambo kira Parmanto itu adik si Mak, tetapi uniknya, si Nasir anak Mak ternyata memanggil Parmanto dengan "Uda"). Parmanto sejak awal tak setuju dengan sikap Mak yang menolong Hans. Nanti setelah hubungan di dalam "Takana Juo" itu memanas dan berlanjut dengan hengkangnya Parmanto menjadi koki rumah makan Padang lain yang lebih mewah, mau tak mau Mak meminta Hans untuk membantunya di dapur, memasak. (Agak unik juga mengapa Mak tidak meminta anaknya Nasir yang membantu memasak, dan paling tidak sudah familiar dengan bumbu-bumbu masakan Minang. Mengapa Mak meminta bantuan seorang Papua yang bukan ahli masak, namun sambil membuat rendang, Mak mengajarkan pepatah-petitih Minang. Nasir dibiarkan Mak tetap sebagai "front office", menerima tamu (yang jarang datang), sekaligus memegang kotak uang/kasir. Apakah ini sebetulnya refleksi sosiologis dari ketidakpercayaan orang Minang dalam mempercayakan urusan keuangan kepada orang non-Minang di dalam sebuah usaha, sehingga lebih aman jika Hans ditempatkan di dapur yang masih memakai kayu bakar dalam memasak, tanpa kompor gas sama sekali). Lalu pada puncak dramatik film ini, Mak yang marah karena "pengkhianatan" Parmanto yang pindah ke restoran lain (lengkap dengan "mencuri" resep andalannya), akhirnya jatuh sakit, persis ketika "Takana Juo" yang mulai mendapat banyak pelanggan sedang menerima order pesanan cukup banyak untuk sebuah pesta pernikahan. Nasir harus menemani Maknya ke rumah sakit, meninggalkan Hans sebagai koki utama. Akhir cerita tentu tak bisa diungkap karena bisa membuat gangguan bagi yang belum menonton (*spoiler)*. Jika TR ditonton dengan keinginan menikmati sebuah cerita film yang berbeda dari kebanyakan yang ada, maka film ini cukup berhasil menghibur. Dominasi dialog bahasa Minang dalam film ini cukup meyakinkan, dengan sesekali intersepsi dialog dan akses (serta "mop", guyon ala Papua). Tetapi jika TR ditonton dengan kejelian seorang "kritikus" yang mempertanyakan setiap detil, "mengapa begini", "mengapa bisa begitu", kisah TR lumayan menyisakan banyak lubang pertanyaan. Tetapi sebagai sebuah ikhtiar yang diniatkan produsernya untuk menggali potensi cerita Indonesia modern dengan menjalin tali temali elemen budaya Nusantara, film ini sebuah tontonan keluarga yang menyenangkan. Jika publik lebih memilih menunggu versi bajakan DVD film ini keluar ketimbang menontonnya di bioskop, maka bisa dipastikan produser-(produser) tak akan tertarik membuat lagi selanjutnya karena merugi. Dan mereka akan memilih membuat film-film banal yang rendah biaya produksi dan tak jelas konsep ceritanya seperti kebanyakan sinetron. Karena itu kalau sudah ada film (yang skenarionya ditulis seorang Batak) dengan mengangkat kuliner Minang sedemikian bersemangat, tetapi rakyat badarai Minang di seluruh pojok Nusantara ini (yang kota tempat tinggal mereka memiliki bioskop) tetap hanap-hanap saja untuk menonton langsung, mungkin film seperti ini baru akan diproduksi 25-50 tahun lagi. [?] Wass, ANB Pada 24 September
[R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa
Film Tabula Rasa Dunsanak RantauNet nan ambo hormati. Ciek lai film nasional berlatar cerita budaya Minang. Fokus film labiah ka perjuangan hidup dalam usaho rumah makan Minang. Dari trailler film nan ambo caliak di Youtube, nampak penggarapan nan rancak dengan angel gambar2 masakan nan manggugah salero makan. Randang itam, gulai ikan ala piaman, dendeang batokok, dll. Labiah hebatnyo, salah satu pamain, Ozzol Ramdan (si uda di suami2 takut istri) asli Sunda, namun samakin santiang logat Minangnyo. Hebat! (rancak caliak trailler-nyo di Youtube) sambia mananti ulasan Uda Akmal, pengamat film kito) Wasalam Amir Hamzah, 41, Bks Posted By: Eko Satrio WibowoPengalamannya memerankan orang minang di film Suami-Suami Takut Istri: The Movie (2008) membuat seorang Ozzol Ramdan tak begitu kesulitan mendapatkan peran di film terbaru berjudul Tabula Rasa. Di film yang mengangkat tema kekayaan kuliner Indonesia ini, terutama masakan Padang, Ozzol Ramlan kembali dipercaya memerankan orang Minang. Padahal, ia sendiri bukanlah orang asli Minang, melainkan orang Sunda. Ozzol sendiri mengaku sangat antusias ketika mendapatkan tawaran dalam film ini. Baginya, film Tabula Rasa ini memiliki cerita yang tidak biasa. "Film ini termasuk jarang ya. Film drama, tapi mengangkat tema soal makanan. Ceritanya pun orisinil, bukan cerita adaptasi," katanya. Walaupun pernah berperan sebagai orang Minang, Ozzol mengakui masih mengalami kesulitan dan tetap harus kembali belajar bersama pemain lain agar penampilan mereka maksimal. Bahkan, menurut aktor yang berperan sebagai Natsir di film Tabula Rasa ini, agar para pemain bisa menghayati dan mempelajari bahasa Padang dengan baik, sang produser Sheila Timothy menyediakan penasehat bahasa. "Kesulitannya tentu saja bahasa Padang ya, karena saya aslinya orang Sunda. Ibarat mengajarkan bahasa lalat ke jangkrik," canda Ozzol. Ia pun melanjutkan: "Untungnya mba Lala (Sheila Timothy) selaku produser memberikan kita penasehat bahasa, yaitu Tom Ibnur. Selama dua bulan kita belajar bahasa Padang," ujarnya di sela-sela konferensi pers filmTabula Rasa di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, Kamis (18/9) siang. Ozzol juga mengungkapkan bahwa ia sangat takjub dengan tokoh Natsir yang ia perankan. Menurutnnya, sifat yang dimiliki Natsir idealnya juga dimiliki semua orang. "Memerankan Natsir itu menakjubkan. Sifatnya yang suka melayani mengajarkan kita bahwa sifat tersebut seharusnya dimiliki setiap orang. Entah itu melayani Tuhan, ibu kita, dan sebagainya," ungkapnya. Selain Ozzol Ramdan, film ini juga dibintangi oleh Jimmy Kobogau, Dewi Irawan, dan Yayu Unru. Film Tabula Rasa bisa Anda saksikan di Cinema XXI kesayangan Anda mulai tanggal 25 September 2014. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.