Bls: [R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa

2014-10-03 Terurut Topik Sjamsir Sjarif
Terlepas dari cerita muvie, salah satu Cerita Duka untuk Rumah Makan Minang 
adalah "Budaya Baru" TUSUK GIGI yang disediakan di meja makan.

Saya lihat kejijikan kebiasaan baru ini, selesai makan, makanan masih 
terhidang, orang enak2 mencungkil taik giginya sambil maota galak2 batul2 
bersamburan taik giginya ke berbagai piring makanan yang masih terhidang 
bertebaran.

Malah tambahan komentar duka orang kalau makan di RM Minang adalah nasabahnya 
dikasih "makanan sisa" yang bolak balik diambil dan dikembalikan ke panci dan 
dihidangkan kembali.
Nah dengan kebiasaan baru cungkil gigi di meja makan ini, resep sisa makanan 
yang dihidangkan itu pun akan bertambah...

Yaaak. Kok diagak-agaki iyo duga awak maagak-i  

--Makngah
Sjamsir Sjarif

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


Bls: [R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa

2014-09-30 Terurut Topik 'amir hamzah' via RantauNet
Uda Akmal,,,
Ambo alun sempat manonton TR. Tapi ambo alah baniek segera,, hehehe

Maliek suasana sepi di bioskop ambo yo miris juo,,,
Mudah2an ulasan Da Akmal,,, bisa manggugaah awak2 di salingka Nusantara lai 
manyumbang tiket dg datang ka bioskop. Indak manunggu versi DVD-nyo,,, Bia film 
bermutu Indonesia,,, lai bisa diharagoi dek bangsanya sendiri.


Amir Hamzah, 41, Bks



Pada Selasa, 30 September 2014 12:09, Akmal Nasery Basral  
menulis:
 


Amir Hamzah:
"... sambia mananti ulasan Uda Akmal, pengamat film kito)"


Sanak Amir, 
status 'pengamat film' itu berlaku dulu saat ambo, pado satu waktu, mamacik 
desk budaya di satu majalah berita. Kini hanya sebagai penonton biaso sajo.
Cuma untuk film Indonesia (nan cukuik bagus) ambo memang selalu mengajak istri 
dan anak-anak nonton basamo di bioskop, bukan beli DVD bajakan. Beli bajakan 
hanyo untuak film asing.

Sabtu lalu (27/9), ambo sakaluarga balimo urang sampek manonton Tabula Rasa 
(TR) ko. Meski baru diputar, penonton sepi sekali. Hanyo ado 12 urang (sakali 
lai, ambo sakaluarga balimo. Lalu keluarga lain barampek. Lalu ado sepasang 
anak mudo, dan surang lelaki. Nan pasangan anak mudo kalua di tengah film, jadi 
sampai akhia hanyo 10 urang nan manonton).

Untuk menonton TR perlu "toleransi" tinggi. Urang Minang yang "sumbu pendek" 
mungkin langsung indak nyaman maliek adegan pambuko kutiko sekelompok anak-anak 
Papua di sebuah panti, sedang menunggu makan, dan ketika makanan terhidang, 
mereka berdoa secara Kristen dengan lafal yang jelas dan cukup panjang. Tetapi, 
adegan ini sebetulnya kontekstual, dan logis, karena kejadian berlangsung di 
Serui. 

Baru setelah itu cerita bergulir, di mana Hans, salah seorang anak panti 
tersebut, ketika remaja menemukan bakat sebagai pemain sepak bola dan diminta 
oleh seorang pelatih dari Jakarta untuk hijrah ke ibukota. Kepergian Hans 
dilepas dengan suka cita karena semua menganggap Hans akan sukses di Jakarta. 
Yang terjadi sebaliknya, hidup Hans terlunta-lunta sampai dia ditemukan Amak 
(Dewi Irawan) sedang sekarat di atas jembatan penyeberangan yang melintas di 
atas rel kereta api. Meski Nasir anak Mak (diperankan Ozzol Ramlan, foto di 
bawah) tidak setuju menolong orang asing itu, Mak berkukuh agar Hans ditolong 
dan dibawa pulang ke rumah mereka, yang bagian depannya adalah warung makan 
"Takana Juo". Di "Takana Juo" ada seorang lelaki lagi bernama Parmanto (juru 
masak) yang memanggil Mak sebagai "Uni". (Awalnya, ambo kira Parmanto itu adik 
si Mak, tetapi uniknya, si Nasir anak Mak ternyata  memanggil Parmanto dengan 
"Uda").  Parmanto sejak awal tak setuju dengan
 sikap Mak yang menolong Hans.

Nanti setelah hubungan di dalam "Takana Juo" itu memanas dan berlanjut dengan 
hengkangnya Parmanto menjadi koki rumah makan Padang lain yang lebih mewah, mau 
tak mau Mak meminta Hans untuk membantunya di dapur, memasak. (Agak unik juga 
mengapa Mak tidak meminta anaknya Nasir yang membantu memasak, dan paling tidak 
sudah familiar dengan bumbu-bumbu masakan Minang. Mengapa Mak meminta bantuan 
seorang Papua yang bukan ahli masak, namun sambil membuat rendang, Mak 
mengajarkan pepatah-petitih Minang. Nasir dibiarkan Mak tetap sebagai "front 
office", menerima tamu (yang jarang datang), sekaligus memegang kotak 
uang/kasir. Apakah ini sebetulnya refleksi sosiologis dari ketidakpercayaan 
orang Minang dalam mempercayakan urusan keuangan kepada orang non-Minang di 
dalam sebuah usaha, sehingga lebih aman jika Hans ditempatkan di dapur yang 
masih memakai kayu bakar dalam memasak, tanpa kompor gas sama sekali). 

Lalu pada puncak dramatik film ini, Mak yang marah karena "pengkhianatan" 
Parmanto yang pindah ke restoran lain (lengkap dengan "mencuri" resep 
andalannya), akhirnya jatuh sakit, persis ketika "Takana Juo" yang mulai 
mendapat banyak pelanggan sedang menerima order pesanan cukup banyak untuk 
sebuah pesta pernikahan. Nasir harus menemani Maknya ke rumah sakit, 
meninggalkan Hans sebagai koki utama. 

Akhir cerita tentu tak bisa diungkap karena bisa membuat gangguan bagi yang 
belum menonton (spoiler).

Jika TR ditonton dengan keinginan menikmati sebuah cerita film yang berbeda 
dari kebanyakan yang ada, maka film ini cukup berhasil menghibur. Dominasi 
dialog bahasa Minang dalam film ini cukup meyakinkan, dengan sesekali 
intersepsi dialog dan akses (serta "mop", guyon ala Papua). Tetapi jika TR 
ditonton dengan kejelian seorang "kritikus" yang mempertanyakan setiap detil, 
"mengapa begini", "mengapa bisa begitu", kisah TR lumayan menyisakan banyak 
lubang pertanyaan. 

Tetapi sebagai sebuah ikhtiar yang diniatkan produsernya untuk menggali potensi 
cerita Indonesia modern dengan menjalin tali temali elemen budaya Nusantara, 
film ini sebuah tontonan keluarga yang menyenangkan. 

Jika publik lebih memilih menunggu versi bajakan DVD film ini keluar ketimbang 
menontonnya di bioskop, maka bisa dipastikan produser-(produser) tak akan 
tertarik membuat lagi selanjutnya karena merugi. Dan mereka akan me

Re: [R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa

2014-09-29 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
Amir Hamzah:
"... sambia mananti ulasan Uda Akmal, pengamat film kito)"


Sanak Amir,
status 'pengamat film' itu berlaku dulu saat ambo, pado satu waktu, mamacik
desk budaya di satu majalah berita. Kini hanya sebagai penonton biaso sajo.
Cuma untuk film Indonesia (nan cukuik bagus) ambo memang selalu mengajak
istri dan anak-anak nonton basamo di bioskop, bukan beli DVD bajakan. Beli
bajakan hanyo untuak film asing.

Sabtu lalu (27/9), ambo sakaluarga balimo urang sampek manonton *Tabula
Rasa* (TR) ko. Meski baru diputar, penonton sepi sekali. Hanyo ado 12 urang
(sakali lai, ambo sakaluarga balimo. Lalu keluarga lain barampek. Lalu ado
sepasang anak mudo, dan surang lelaki. Nan pasangan anak mudo kalua di
tengah film, jadi sampai akhia hanyo 10 urang nan manonton).

Untuk menonton TR perlu "toleransi" tinggi. Urang Minang yang "sumbu
pendek" mungkin langsung indak nyaman maliek adegan pambuko kutiko
sekelompok anak-anak Papua di sebuah panti, sedang menunggu makan, dan
ketika makanan terhidang, mereka berdoa secara Kristen dengan lafal yang
jelas dan cukup panjang. Tetapi, adegan ini sebetulnya kontekstual, dan
logis, karena kejadian berlangsung di Serui.

Baru setelah itu cerita bergulir, di mana Hans, salah seorang anak panti
tersebut, ketika remaja menemukan bakat sebagai pemain sepak bola dan
diminta oleh seorang pelatih dari Jakarta untuk hijrah ke ibukota.
Kepergian Hans dilepas dengan suka cita karena semua menganggap Hans akan
sukses di Jakarta. Yang terjadi sebaliknya, hidup Hans terlunta-lunta
sampai dia ditemukan Amak (Dewi Irawan) sedang sekarat di atas jembatan
penyeberangan yang melintas di atas rel kereta api. Meski Nasir anak Mak
(diperankan Ozzol Ramlan, foto di bawah) tidak setuju menolong orang asing
itu, Mak berkukuh agar Hans ditolong dan dibawa pulang ke rumah mereka,
yang bagian depannya adalah warung makan "Takana Juo". Di "Takana Juo" ada
seorang lelaki lagi bernama Parmanto (juru masak) yang memanggil Mak
sebagai "Uni". (Awalnya, ambo kira Parmanto itu adik si Mak, tetapi
uniknya, si Nasir anak Mak ternyata  memanggil Parmanto dengan "Uda").
Parmanto sejak awal tak setuju dengan sikap Mak yang menolong Hans.

Nanti setelah hubungan di dalam "Takana Juo" itu memanas dan berlanjut
dengan hengkangnya Parmanto menjadi koki rumah makan Padang lain yang lebih
mewah, mau tak mau Mak meminta Hans untuk membantunya di dapur, memasak.
(Agak unik juga mengapa Mak tidak meminta anaknya Nasir yang membantu
memasak, dan paling tidak sudah familiar dengan bumbu-bumbu masakan Minang.
Mengapa Mak meminta bantuan seorang Papua yang bukan ahli masak, namun
sambil membuat rendang, Mak mengajarkan pepatah-petitih Minang. Nasir
dibiarkan Mak tetap sebagai "front office", menerima tamu (yang jarang
datang), sekaligus memegang kotak uang/kasir. Apakah ini sebetulnya
refleksi sosiologis dari ketidakpercayaan orang Minang dalam mempercayakan
urusan keuangan kepada orang non-Minang di dalam sebuah usaha, sehingga
lebih aman jika Hans ditempatkan di dapur yang masih memakai kayu bakar
dalam memasak, tanpa kompor gas sama sekali).

Lalu pada puncak dramatik film ini, Mak yang marah karena "pengkhianatan"
Parmanto yang pindah ke restoran lain (lengkap dengan "mencuri" resep
andalannya), akhirnya jatuh sakit, persis ketika "Takana Juo" yang mulai
mendapat banyak pelanggan sedang menerima order pesanan cukup banyak untuk
sebuah pesta pernikahan. Nasir harus menemani Maknya ke rumah sakit,
meninggalkan Hans sebagai koki utama.

Akhir cerita tentu tak bisa diungkap karena bisa membuat gangguan bagi yang
belum menonton (*spoiler)*.

Jika TR ditonton dengan keinginan menikmati sebuah cerita film yang berbeda
dari kebanyakan yang ada, maka film ini cukup berhasil menghibur. Dominasi
dialog bahasa Minang dalam film ini cukup meyakinkan, dengan sesekali
intersepsi dialog dan akses (serta "mop", guyon ala Papua). Tetapi jika TR
ditonton dengan kejelian seorang "kritikus" yang mempertanyakan setiap
detil, "mengapa begini", "mengapa bisa begitu", kisah TR lumayan menyisakan
banyak lubang pertanyaan.

Tetapi sebagai sebuah ikhtiar yang diniatkan produsernya untuk menggali
potensi cerita Indonesia modern dengan menjalin tali temali elemen budaya
Nusantara, film ini sebuah tontonan keluarga yang menyenangkan.

Jika publik lebih memilih menunggu versi bajakan DVD film ini keluar
ketimbang menontonnya di bioskop, maka bisa dipastikan produser-(produser)
tak akan tertarik membuat lagi selanjutnya karena merugi. Dan mereka akan
memilih membuat film-film banal yang rendah biaya produksi dan tak jelas
konsep ceritanya seperti kebanyakan sinetron.

Karena itu kalau sudah ada film (yang skenarionya ditulis seorang Batak)
dengan mengangkat kuliner Minang sedemikian bersemangat, tetapi rakyat
badarai Minang di seluruh pojok Nusantara ini (yang kota tempat tinggal
mereka memiliki bioskop) tetap hanap-hanap saja untuk menonton langsung,
mungkin film seperti ini baru akan diproduksi 25-50 tahun lagi.  [?]

Wass,

ANB



Pada 24 September 

[R@ntau-Net] Suka Duka RM Minang di Film Tabula Rasa

2014-09-23 Terurut Topik 'amir hamzah' via RantauNet
Film Tabula Rasa

Dunsanak RantauNet nan ambo hormati.

Ciek lai film nasional berlatar cerita budaya Minang. Fokus film labiah ka 
perjuangan hidup dalam usaho rumah makan Minang.
Dari trailler film nan ambo caliak di Youtube, nampak penggarapan nan rancak 
dengan angel gambar2 masakan nan manggugah salero makan. Randang itam, gulai 
ikan ala piaman, dendeang batokok, dll.


Labiah hebatnyo, salah satu pamain, Ozzol Ramdan (si uda di suami2 takut istri) 
asli Sunda, namun samakin santiang logat Minangnyo. 

Hebat! (rancak caliak trailler-nyo di Youtube) sambia mananti ulasan Uda Akmal, 
pengamat film kito)


Wasalam
Amir Hamzah, 41, Bks

Posted By:  Eko Satrio WibowoPengalamannya memerankan orang minang di film 
Suami-Suami Takut Istri: The Movie (2008) membuat seorang Ozzol Ramdan tak 
begitu kesulitan mendapatkan peran di film terbaru berjudul Tabula Rasa. Di 
film yang mengangkat tema kekayaan kuliner Indonesia ini, terutama 
masakan Padang, Ozzol Ramlan kembali dipercaya memerankan orang Minang. 
Padahal, ia sendiri bukanlah orang asli Minang, melainkan orang Sunda.

Ozzol sendiri mengaku sangat antusias ketika mendapatkan tawaran dalam film 
ini. Baginya, film Tabula Rasa ini memiliki cerita yang tidak biasa. "Film ini 
termasuk jarang ya. Film drama, tapi mengangkat tema soal makanan. Ceritanya 
pun orisinil, bukan cerita adaptasi," katanya.  

Walaupun
 pernah berperan sebagai orang Minang, Ozzol mengakui masih mengalami 
kesulitan dan tetap harus kembali belajar bersama pemain lain agar 
penampilan mereka maksimal. Bahkan, menurut aktor yang berperan sebagai 
Natsir di film Tabula Rasa ini, agar para pemain bisa 
menghayati dan mempelajari bahasa Padang dengan baik, sang produser 
Sheila Timothy menyediakan penasehat bahasa. 

"Kesulitannya tentu saja bahasa Padang ya, karena saya aslinya orang Sunda. 
Ibarat mengajarkan bahasa lalat ke jangkrik," canda Ozzol. Ia pun melanjutkan: 
"Untungnya mba Lala (Sheila Timothy) selaku produser memberikan kita penasehat 
bahasa, yaitu Tom Ibnur. Selama dua bulan kita belajar bahasa Padang," ujarnya 
di sela-sela konferensi pers filmTabula Rasa di kawasan Kuningan Jakarta 
Selatan, Kamis (18/9) siang.  

Ozzol
 juga mengungkapkan bahwa ia sangat takjub dengan tokoh Natsir yang ia 
perankan. Menurutnnya, sifat yang dimiliki Natsir idealnya juga dimiliki
 semua orang. "Memerankan Natsir itu menakjubkan. Sifatnya yang suka melayani 
mengajarkan kita bahwa sifat tersebut seharusnya dimiliki 
setiap orang. Entah itu melayani Tuhan, ibu kita, dan sebagainya," ungkapnya. 

Selain Ozzol Ramdan, film ini juga dibintangi oleh Jimmy Kobogau, Dewi Irawan, 
dan Yayu Unru. Film Tabula Rasa bisa Anda saksikan di Cinema XXI kesayangan 
Anda mulai tanggal 25 September 2014.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.