[silatindonesia] Re: Berita Duka dari Bondowoso

2008-08-24 Terurut Topik dedyhbw
Turut berduka cita atas wafatnya ibunda Kang Oong.
Semoga almarhumah dilimpahkan tempat mulia di sisi-Nya, dan yang
ditinggal dikaruniakan kesabaran.

Aaamiin.

Dedy

--- In silatindonesia@yahoogroups.com, Ezra purnama
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Sabahat Silar,
> 
> "Innalillahi Waina ilaihi Rojiun..."
> 
> Telah meninggal dunia pada hari ini Sabtu, 23-Agustus-2008.
> Ibunda tercinta dari Sahabat, Ayah, dan Teman main kita Mr. Oong
Maryono (Sang Penulis Buku Pencak Silat In The Arcipelago), di Bondowoso.
> 
> Semoga almarhum mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT dan
amaliah beliau selama hidup di terima Allah SWT pula, bagi keluarga
yang di tinggalkan semoga diberikan  ketabahan dan keikhlasan. amien
> 
> Hormat Saya
> Masezra
> 081572770409
> 
> 
> 
>   
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>




[silatindonesia] "Mami" Enny Rukmini

2008-05-05 Terurut Topik dedyhbw
FW-an dari Jawa Pos

http://jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=10418


Senin, 05 Mei 2008,
"Mami" Enny Rukmini, Usia Hampir Seabad Pimpinan Para Jawara
Banten

Ompong Sejak Umur 40 Tahun, Mampu Buat Orang Kelenger
Usianya hampir mencapai seabad. Namun, semangat dan fisik Enny Rukmini
tak ikut terkikis habis. Walaupun tidak seaktif saat muda, dia masih
rutin melatih para jawara dari berbagai daerah.

DIAN WAHYUDI - Garut

GURAT kecantikan di usia muda masih tampak di raut muka Enny Rukmini,
93, yang telah berkeriput di sana-sini. Kulit putih dan hidungnya yang
mancung, bahkan akan membuat orang yang pertama bertemu mengira dirinya
memiliki darah blasteran. Padahal, perempuan kelahiran Bandung pada 1915
itu asli Indonesia. Ayahnya, (alm) Abah Aleh, asli keturunan Banten dan
ibunya, (alm) Ma Uki, asli Garut. "Kamu bukan yang pertama. Sudah banyak
yang bilang saya keturunan Belanda," ujar Enny Rukmini, kepada Jawa Pos
Selasa (29/4).

Saat pertama bertemu perempuan yang akrab disapa "Mami" itu, kesan dan
persepsi umum masyarakat terhadap orang yang berusia lanjut langsung
terhapus. Langkah dan gerak tubuhnya masih ringan. Bicaranya pun lantang
serta tetap terdengar jelas.

"Ya, sekarang ini kan masih genit-genitnya. Maklum, masih berumur tiga
puluh sembilan tahun (kebalikan 93 tahun, Red)," katanya, lantas tertawa
sehingga tampak seluruh giginya yang sudah tanggal.

Menurut Mami, seluruh giginya itu rontok secara serentak pada suatu
malam Jumat saat umurnya masih sekitar 40 tahun. Sebelumnya dia merasa
giginya memanjang dan terasa linu. "Tapi, jangan mikir yang aneh-aneh.
Hanya kebetulan atau juga mungkin karena penyakit," pesannya.

Enny tinggal di Desa Sumur, Sukowening, Garut. Rumah sederhananya
terletak di tengah perkampungan penduduk di kaki Gunung Sadakening. Di
kompleks perguruan Enny, ada dua bangunan. Satu untuk tempat tinggal
keluarga dan satu untuk kegiatan melatih murid-muridnya. Di gedung
berbentuk seperti aula berukuran 10 x 30 meter persegi yang dipenuhi
foto dan simbol perguruan itu setiap minggu Mami Enny melatih sekitar
120 muridnya.

Perguruan Silat Panglipur yang didirikan ayah Mami Enny sejak 1909 itu
berkembang hingga sekarang. Ratusan cabang Perguruan Silat Panglipur
telah tersebar di mana-mana. Bahkan, ada cabang di luar negeri, seperti
di Malaysia, Belanda, Prancis, dan Arab Saudi. Murid-murid dari
mancanegara itu tertarik menjadi murid Mami Enny karena terpesona dengan
kelincahannya saat beraksi pada acara kebudayaan yang diadakan
perwakilan Indonesia di luar negeri

Mami Enny sendiri memimpin perguruan silat warisan keluarga itu sejak
1950. Ayahnya yang meminta dirinya menggantikan posisi terhormat di
kalangan para jawara itu. "Saya tidak tahu alasan Abah, kenapa kok saya
yang ditunjuk," ujarnya.

Meski sejak kecil sudah akrab, silat bukanlah satu-satunya keterampilan
nenek energik ini. Mami Enny juga pernah belajar yoga, menjahit, bahkan
belajar dansa ala pemuda-pemudi Belanda saat itu. "Tapi yang utama,
mungkin karena silat inilah. Alhamdulillah badan saya masih bugar sampai
sekarang," ujar nenek beranak satu dan 12 cucu, yang beberapa juga sudah
beranak-pinak itu.

Menurut Mami Enny, kesehatan dan kebugaran dirinya sebenarnya tidak
semata kekuatan fisik. Namun, lebih pada kekuatan mata hati. Kondisi
itu, menurut dia, tidak akan ikut tergerus oleh makin bertambahnya usia.
"Percuma kekuatan tangan (fisik), kalau tidak dibarengi keselarasan mata
dan hati," ujarnya.

Kebugaran tubuh Mami Enny tersebut dibuktikan sendiri oleh Jawa Pos.
Setelah berdiri di hadapannya, dia mendorong bahu wartawan koran ini
dengan kedua tangan. Pada dorongan pertama itu posisi bahu hanya
bergoyang sedikit. "Ini kalau tidak pakai hati. Tubuh setua ini
kekuatannya juga tidak akan seberapa," ujarnya lantas tersenyum.

Namun, dorongan kedua yang dilakukan Mami Enny membuat wartawan koran
ini sampai terjengkang beberapa langkah. Padahal, entakan tangan yang
sudah renta itu sebenarnya terasa hampir sama dengan dorongan pertama.
"Kalau dilakukan sungguh-sungguh, bahkan bisa buat orang tidak bisa
bangun," katanya. Dia lalu tersenyum lebih lebar.

Penguasaan Mami Enny terhadap seni beladiri tradisional Indonesia itu
juga sempat dimanfaatkan untuk melawan penjajah. Tepatnya pada 1947, dia
bergabung dengan Letkol Abimanyu dan Mayor U. Rukman untuk ikut
bergerilya sampai hijrah ke Jogjakarta. Ketika itu dia sudah berpangkat
kapten.

Pada 1950 Mami Enny mengakhiri pengembaraan di hutan belantara. Ditandai
dengan turunnya para pengungsi ke Bandung, dia pun kembali menjadi
masyarakat biasa. "Kalau dulu berjuang dengan senjata, sekarang berjuang
melestarikan pencak silat," katanya.

Aktivitas sebagai pemimpin perguruan silat cukup tua di Indonesia itu
sebenarnya tidak lagi dijalani seperti saat usia Mami Enny masih muda.
Pada latihan rutin yang berlangsung tiap Sabtu malam dan sepanjang
Minggu, dia hanya mengawasi. "Sekarang saya hanya mengajar para guru
yang memimpin