Ceunah mah kitu...
hi hi ..
keun we tong di emutan kang, bilih teu damang.
-Jay-
--- In urangsunda@yahoogroups.com, Narayana Adipranata
narayana_t...@... wrote:
ari ceuk sakaol mah cenah iring-iringan dyah pitaloka teh dibantai
di lapangan bubat.geuning na carita eta mah euweuh??? malah hayam
wuruk jadi kawin ka dyah pitalokanaha mana nu bener???
Dari: Jay jay_tukangkom...@...
Kepada: urangsunda@yahoogroups.com
Terkirim: Kamis, 1 Januari, 2009 15:17:47
Topik: [Urang Sunda] Bubat
Hingga fajar menyingsing, Wirayuda belum bisa memicingkan matanya.
Entah mengapa, hatinya tiba-tiba terbelit gelisah. Sesekali
wajahnya
menengadah, menatap atap kamar yang temaram. Kilatan cahaya obor
yang tertancap ditembok batu terpantul di bola matanya yang redup.
Tarikan nafasnya begitu dalam. Walaupun lirih, tapi terdengar
menggemuruh didalam dadanya. seperti karang yang diterjang ombak
di
Pantai Selatan Jawa. Hari ini, adalah hari yang istimewa sepanjang
sejarah. Perjalanan panjang rombongan Kerajaan Sunda ke Tanah
Majapahit akan membuat cerita indah, cerita untuk dikisahkan lagi
kepada anak cucunya kelak, dituliskan oleh para pujangga pada
kitab-kitab dan dilantunkan dalam kawih.
Masih terbayang rentetan kejadian kemarin ...
Rombongan dari Kerajaan Sunda disambut hangat oleh rombongan
penjemput di Tegal Bubat. Satu demi satu, rangkaian upacara
berjalan
dengan lancar. Upacara penjemputan dipimpin langsung oleh
Gajahmada
secara hidmat. Patih Kerajaan Majapahit yang berbadan tinggi
besar,
gempal dan wajahnya kelam. Senyumnya bahkan tak kentara, namun
kharismanya sungguh terasa. Siapa nyana, hari itu semuanya bisa
melihat wajah Sang Mahapatih yang terkenal diseluruh Nusantara.
Namanya telah menggetarkan seluruh kerajaan-kerajaan bahkan sampai
Tiongkok dengan sumpah amukti Palapanya.
Tiga pengasuh duduk bersimpuh dibelakang Dyah Ayu Pitaloka yang
berbalut kebaya berwarna putih, berkain coklat lereng dan rambut
yang
hitam legam mengkilat disanggul dengan hiasan untaian bunga
melati.
Sebuah Patrem, berwarna kuning keemasan pemberian sang paman
Mahapatih Bunisora Suradipati ditancapkan pada sanggulnya. Indah.
Wajahnya berseri-seri walaupun semalaman hampir tidak tertidur.
Kegelisahan diwajahnya tak lagi nampak pada wajahnya yang cantik
bercahaya. Dan semua orang yang melihatnya terpesona.
Sejenak, Mahapatih Gajahmada menatap wajah ayu Dyah Pitaloka.
Wajah yang pernah ia lihat pada lukisan yang dibuat oleh utusan
kerajaan Majapahit beberapa masa silam, hingga akhirnya Prabu
Hayam
Wuruk memutuskan untuk meminangnya menjadi pendampingnya. Wajah
inilah yang menjadi impian Raja-nya, tapi sekaligus menghentikan
impiannya untuk menaklukan kerajaan Sunda. Sumpah Amukti Palapanya
belum terlaksana dengan sempurna.
Pandangannya kemudian beralih pada Prabu Linggabuana. Raja
Kerajaan
Sunda, yang bila dirunut dari sejarah, masih ada kaitan
kekeluargaan
dengan rajanya sendiri. Tapi pengabdian dan kecintaan kepada Raja-
nya
masih mengalahkan ambisinya untuk menguasai Kerajaan Sunda.
Gajahmada
cuma bisa mengeluh dalam hati.
Sesaat, Patih Gajah Mada dan Prabu Linggabuana beradu pandang.
Namun
Gajahmada segera memalingkan tatapannya ke arah para prajurit yang
tengah mempersiapkan keberangkatan rombongan menuju Keraton
Majapahit.
Dengan gemulai, Dyah Ayu Pitaloka menaiki satu demi satu tangga
kereta kencana. Ditemani oleh tiga orang pengasuhnya, Dyah
Pitaloka
lalu duduk diatas bantal empuk bertilam sutra warna merah, beralas
permadani tebal dan wangi melati yang merebak segar. Selepas itu,
Kereta kencana bersepuh emas yang ditarik oleh enam ekor kuda
berwarna putih itu berjalan dengan perlahan. Rodanya berderak
melindas batu-batu jalanan. Didepan kereta kencana, dua baris
pasukan
berkuda membuka jalan. Beberapa prajurit berjalan disamping
pasukan
berkuda, mengusung bendera kerajaan yang berkibar-kibar diterpa
angin.
Diikuti dibelakangnya, kereta yang ditumpangi Maha Prabu
Linggabuana,
diiring para prajurit Belamati kerajaan Sunda dan para prajurit
dari
Kerajaan Majapahit.
Sepanjang perjalanan, di sebelah kiri dan kanan jalan, rakyat
Majapahit berjejer. Tua muda, laki-laki dan perempuan berdiri
sembari
melambaikan tangan tak henti-hentinya ke arah iring-iringan.
Sebagian
ikut berjalan, semuanya turut bergembira menyambut kedatangan
calon
permaisuri kerajaan mereka.
Matahari semakin tinggi ketika memasuki Trowulan, kotaraja
Majapahit.
Arak-arakan semakin panjang. Sepanjang harapan mereka meretas masa
depan. Orang-orang yang menonton tidak hanya berdiri dipinggir
jalan,
tapi turut mengiringi sampai alun-alun kerajaan.
Diatas kudanya, kegelisahan Wirayuda luruh. Tugasnya mengiringi
Maha
Prabu Linggabuana dan putrinya Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi ke
kerajaan Majapahit untuk dipersunting oleh Maharaja Hayam Wuruk
hampir selesai. Semua petunjuk dari