-kirim ulang sangkan ngeunah dibacana

----------

Gempa dan Rumah Tradisional Sunda

Oleh JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH

Gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter pada 2 September 2009 yang berpusat di 
laut selatan Tasikmalaya membuat Pulau Jawa bergetar. Akibat khas dari gempa 
besar ini adalah banyaknya rumah yang hancur karena dinding dan atap runtuh 
atau gentengnya lepas dari reng, terutama di daerah yang dekat dengan 
episentrum.

Kebanyakan bangunan yang rusak tersebut adalah rumah tembok dengan atap 
genteng. Sementara rumah yang dibangun dengan cara dan material tradisional 
relatif aman, seperti di Kampung Dukuh, Cikelet, Garut (Kompas, 14/9/2009).

Rumah-rumah tradisional Sunda, baik yang terdapat di dalam kampung adat, 
seperti Kampung Kuta, Ciamis; Kampung Naga, Tasikmalaya; Cikondang, Bandung; 
serta Desa Kenekes, Lebak; maupun di luar kampung adat umumnya berbentuk 
panggung. Bangunan tidak seluruhnya menempel pada tanah, tetapi dihubungkan 
dengan tiang yang disangga batu tatapakan yang berfungsi sebagai kaki.
Dengan demikian, ketika terjadi lini (gempa), getarannya diredam oleh batu 
tatapakan sehingga meskipun bangunan turut oyag (bergetar), rumah relatif dapat 
bertahan menerima beban getar gempa bumi sampai kekuatan tertentu.

Model rumah panggung dalam masyarakat Sunda tradisional terus dipertahankan. 
Salah satunya dasarnya adalah karena merupakan adaptasi dari kosmologi Sunda 
yang membagi jagat raya ke dalam tiga tingkatan: buana nyungcung, tempat para 
dewa atau Tuhan; buana panca tengah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya; 
dan buana larang, tempat orang yang telah meninggal, yaitu tanah.

Rumah dibuat berbentuk panggung agar buana panca tengah yang direpresentasikan 
oleh rumah (imah dan bumi) tidak langsung berada di atas tanah, tetapi harus 
diberi jarak. Bahan rumah tidak boleh menggunakan material berbahan baku tanah, 
seperti genteng dan bata, karena tanah tempat untuk orang meninggal. Dengan 
material bahan tanah, artinya manusia yang masih hidup telah dikubur.

Desain
Teori yang secara langsung dapat dianggap mendasari konsep desain rumah 
tradisional diungkapkan Karl Popper dan EH Gombrich berupa teori deterministik 
yang disebutnya logika situasi, yaitu bahwa manusia dibatasi oleh waktu, 
tempat, dan kondisi, yang meskipun demikian masih memiliki derajat kebebasan 
untuk mencapai tujuan alternatif. Umumnya, faktor alam, seperti iklim dan 
geografi-termasuk adanya gempa bumi-sangat relevan dalam pengembangan desain 
bangunan (John A Walker: 1989).

James Fitch dan Daniel Branch mengutarakan teorinya bahwa penentu desain dalam 
masyarakat primitif (tradisional) adalah lingkungan, seperti Eskimo dan Indian, 
Amerika Utara, bergantung pada material alam khas yang ada di lingkungannya. 
Salju bagi orang Eskimo dan kulit binatang dan ranting kayu bagi orang Indian 
adalah material yang dipakai untuk hunian mereka.

Agar dapat bertahan, mereka harus membangun hunian dengan material yang cocok 
dengan kondisi alam dan iklim lokal. Selain faktor alam, faktor pola hidup juga 
memberi bentuk terhadap cara manusia membangun model hunian. Masyarakat 
peladang berpindah akan berbeda dengan masyarakat petani sawah dan apalagi 
masyarakat industri dalam caranya mengembangkan hunian.

Masyarakat dengan lingkungan yang sering terjadi peperangan akan membangun 
benteng pertahanan. Belanda membangun rumah model mereka di Indonesia dengan 
bukaan lebar dan plafon tinggi untuk mengurangi hawa panas. Masyarakat dengan 
tanah yang sering gempa akan membangun rumah yang dapat bertahan dari getaran 
gempa. Rumah tradisional merupakan hasil dari kearifan pragmatis yang telah 
berlangsung berabad-abad.

Menurut Victor Papanek (1995), arsitektur vernakular-dalam hal ini bangunan 
tradisional-didasarkan atas pengetahuan praktis dan teknik tradisional, yang 
menunjukkan kualitas pertukangan tertinggi yang dimiliki. Struktur desain rumah 
tradisional cenderung mudah dipelajari dan dipahami secara teknis. Material 
yang dipakai sebagian besar diambil dari lingkungan sekitar.

Dari segi bentuk dan penggunaan material, bangunan tradisional merupakan solusi 
yang tepat dipandang dari segi ekologi dalam arti cocok dengan iklim, 
lingkungan-termasuk kemungkinan terjadinya gempa yang didasarkan pada 
pengalaman-dan cara hidup masyarakatnya. Rumah tradisional tidak bersifat 
menonjolkan diri, tetapi menyelaraskan diri dengan karakteristik alam sekitar.

Pembuatan rumah tradisional merupakan gabungan dari material, alat, dan proses. 
Dalam konteks desain tradisional Sunda, tampak bahwa setiap material yang 
dipakai memiliki karakteristik khas sehingga memerlukan alat khusus yang juga 
khas untuk mengolahnya melalui pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan 
sifat material dan kemampuan alat. Sifat material dan jenis bambu, misalnya, 
disesuaikan dengan sifat khas bambu tersebut. Bambu bersifat lentur sehingga 
dapat bertahan terhadap pengaruh getaran gempa bumi. 

Perubahan
Bangunan tradisional dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat, terutama 
dalam tata cara mendirikan bangunan dan perhitungan atau aturan mendirikan 
bangunan berdasarkan budaya dan kepercayaan setempat, seperti perhitungan waktu 
yang tepat, arah hadap bangunan, lokasi, fengshui, dan berbagai upacara yang 
menyertai berbagai tahapan pembangunan.

Meskipun rumah tradisonal berakar pada nilai-nilai tradisional, menyimbolkan 
kontinuitas di dalam masyarakat, pada bagian tertentu tampak adanya sejumlah 
perubahan. Contohnya adalah rumah-rumah di Kampung Kuta, Ciamis. Material baru 
hasil industri seperti kaca, seng, dan kayu lapis secara terbatas telah 
dipakai, sementara model rumah panggung terus dipertahankan. Selain alasan 
adat, warga Kampung Kuta juga punya alasan teknis, yaitu karena tanah di 
kawasan itu labil dan solusi terbaik untuk kondisi alam tersebut adalah tetap 
dengan model rumah panggung.

Sekarang kita menyaksikan pengaruh pembangunan dan modernisme yang menempatkan 
model rumah tradisional sebagai sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman 
sehingga perubahan model rumah tidak terelakan, khususnya di luar kampung adat.

Rumah panggung berganti dengan model rumah langsung di atas tanah, yang 
menyebabkan perubahan berantai: lantai papan berubah keramik, dinding bilik 
anyaman bambu diganti dengan bata, dan tembok dengan sistem fondasi dan 
konstruksi sebagian kurang memadai untuk dapat menahan gempa bumi.
Agar dapat bertahan dari goyangan gempa bumi, selain fondasi yang baik, dinding 
bata minimal memerlukan beton bertulang di sekeliling dinding bata sebagai 
pengikat struktur, berupa sloof, ringbalk, dan kolom praktis.

Sayangnya, rumah-rumah tembok di pedesaan jarang sekali yang menggunakan 
konstruksi demikian.

JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH 
Dosen Desain Itenas

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/11201185/.gempa.dan.rumah.tradisional.sunda
dimuat Kompas Jawa Barat Rabu 30 Septmber 2009


Kirim email ke