Potret
 Kuda Lumping dari Gunung Manglayang

27/11/2004 17:43 — Selain tersohor dengan benjang, Desa Ciwaru yang terletak di kaki Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, Jabar, ini terkenal pula dengan kesenian kuda lumping yang memeriahkan berbagai hajatan seperti khitanan.


Kuda lumping dari Gunung Manglayang
>>>


Kuda lumping dari Gunung Manglayang
>>>


Download RealPlayer
Liputan6.com, Bandung: Suatu hari di kaki Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari kejauhan tampak dua lelaki menuntun seekor kuda hitam menyusuri jalan tanah menuju Desa Ciwaru, Kecamatan Cilengkrang. Setelah mendekat, dua laki-laki itu sepintas seperti pria dusun pada umumnya. Hanya saja, seorang yang berperawakan kecil agak berbeda. Pancaran kharisma tampak dari lelaki separuh baya yang bernama Memed Dadang.

Dadang ternyata sangat disegani di kampungnya, Desa Ciwaru. Maklumlah, ia adalah tokoh benjang, gulat tradisional khas daerah sekitar gunung di sebelah Timur Kota Bandung, Jabar [baca: Benjang, Gulat Tradisional Sunda]. Dadang juga ketua kelompok kesenian kuda lumping di Desa Ciwaru. Kecintaannya pada kuda lumping diwujudkan pula dengan kegemarannya memelihara kuda.

Dalam keseharian, Dadang memang lebih banyak menghabiskan waktu senggangnya dengan memelihara kuda milik satu-satunya itu. Dengan menunggangi hewan kesayangannya, ia kerap mengelilingi pedesaan. Saking sayangnya, Dadang sering memijat kudanya itu. Cara memijatnya lain dari yang lain: Dadang menginjak-injak punggung sang kuda.

Kegemaran Dadang pada kuda sudah berlangsung secara turun-temurun. Dadang pun menularkan kesukaan terhadap kuda pada keluarga kecilnya yang menempati sebuah kediaman nan asri. Tak mengherankan, bila segala kegiatan yang berhubungan dengan kuda lumping maupun kuda renggong berpusat di rumahnya.

Begitu pula pada pagi itu. Seluruh anggota keluarganya tampak repot ketimbang hari-hari biasanya. Seluruh peralatan yang biasa digunakan untuk atraksi kuda lumping dibersihkan. Bukan apa-apa, soalnya esok hari Dadang beserta kelompoknya diundang bermain kuda lumping. Lokasi tak jauh, yakni di depan rumah salah satu warga Desa Ciwaru. Di sana digelar hajatan khitanan.

Desa Ciwaru yang biasanya hening, pagi ini diramaikan dengan bunyi-bunyian terompet dan gendang. Ini menandakan ada suatu keramaian. Memang, hari ini hampir seluruh penduduk desa di kaki gunung setinggi 1.611 meter dari permukaan laut itu tumpah ruah di depan rumah milik seorang warga yang akan menggelar acara sunatan.

Sejak puluhan tahun silam atau mungkin lewat, khitanan di desa ini memang tak pernah lepas dari sebuah tradisi. Yakni, upacara memandikan dan mengarak pengantin sunat atau anak yang akan dikhitan. Tradisi ini diawali dengan pembacaan mantra penolak bala oleh salah seorang tetua desa. Agar prosesi khitanan berjalan lancar dan sang anak terhindar dari berbagai gangguan dari Batara Kala.

Sudah menjadi tradisi turun-menurun pula seorang bocah lelaki yang akan dikhitan diberi pendamping anak perempuan seusianya, layaknya sepasang calon mempelai. Kedua anak yang juga sering disebut pengantin sunat ini lantas dimandikan dengan air suci yang bersumber dari pegunungan di Parahyangan Timur. Upacara ini dilakukan agar fisik dan batin si anak menjadi bersih, seputih beras yang dijadikan simbol.

Usai dimandikan, pasangan pengantin sunat ini diarak dengan jempana, yaitu kursi tandu yang dipanggul empat orang dewasa. Mereka memutari desa dengan diiringi musik bamplang untuk mengabarkan ke seluruh desa bahwa esok hari si anak akan menjalani salah satu ritual yang dianjurkan agama Islam, yakni khitanan.

Dan sepanjang jalan yang dilalui, musik tak henti-hentinya ditabuh. Hajatan bertambah meriah manakala kesenian tradisional kuda lumping turut memeriahkan.

Antusiasme penonton yang sebagian besar warga Desa Ciwaru pun meningkat. Wajarlah, kesenian kuda lumping yang dipertontonkan sanggar kuda lumping asuhan Pak Dadang diwarnai berbagai atraksi magis. Unjuk kebolehan itu semuanya dalam pengawasan Dadang yang berlaku sebagai pawang.

Penduduk Desa Ciwaru mempercayai Pak Dadang memiliki kemampuan supranatural tinggi. Apalagi pemimpin sanggar kuda lumping itu cukup lama melatih anak-anak asuhnya untuk bermain kuda lumping dengan berbagai atraksi menakjubkan.

Keramaian kuda lumping mencapai puncak ketika para pemain tampak kesurupan. Dalam keadaan tanpa sadar, mereka melakukan hal-hal yang tak wajar. Semisal memakan ayam hidup-hidup.

Cuma Pak Dadang-lah yang dapat menghentikan segala atraksi tersebut, seperti ia memulainya. Para pemain kuda lumping dituntun untuk berbaring di atas tikar. Selanjutnya, Dadang menyelimuti seluruh tubuh mereka dengan selembar kain. Setelah membacakan mantra, para pemain kuda lumping itu kembali sadar sediakala dan seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Senyum Pak Dadang pun mengembang. Dia gembira. Ia pun bersyukur, terutama karena masih bisa melestarikan kesenian yang terbilang cukup tua di Tanah Air.(ANS/Binsar Rahardian dan Bambang Triono)


Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke