[Urang Sunda] Fw: keur Rachel Corrie --Re: Kanggo gambaran wae
Salah sahiji kapal nu nyoba norobos blokade Israel di Gaza teh aranna Rachel Corrie, nyutat aran saurang aktivis kamanusaan Amerika nu maot kulantaran digeleng buldozer Israel. Nyanggakeun tulisan GM perkara Rachel Corrie, wanoja ngora Amerika, nu ngorbankeun nyawana keur ngabelaan urang Palestina un dikakaya ku Israel. Cik ideologi atawa kayakinan naon nu ngadorong Rachel Corrie tepi ka wani bebeakan kitu? Tempo, 07 JUNI 2010 Untuk Rachel Corrie Salah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menembus blokade Israel di Gaza itu, dan diserang marinir Israel hingga sekitar sembilan korban tewas, diberi nama Rachel Corrie. Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan mereka, orang-orang asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang mati untuk rakyat Palestina. Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu kembali ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian. Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat dalam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar, dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya sementara. Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hidup 140 ribu penghuni-yang 60 persennya pengungsi-juga pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pekan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permukiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah mereka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300 orang-orang-orang yang sejak dulu tak punya banyak pilihan. Tentara itu mencari teroris, katanya, dan orang-orang kampung itu mencoba melawan, mungkin untuk melindungi satu-dua gerilyawan, mungkin untuk mempertahankan rumah dan tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tempat untuk pergi. Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia, seorang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancurkan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba menghalangi. Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebabkan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang berteriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit Najar. Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau terbunuh di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi, dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di seantero Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh suara protes yang mengikuti jenazahmu? Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Seattle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave sampai dengan Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika, tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu. Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada di pihak yang keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan beberapa orang di negerimu ketika mereka menulis surat ke The New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau datang, bersama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadikan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina yang menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung halaman mereka. Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya kau datang dari Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian Washington, bergabung dengan International Solidarity Movement, untuk mengatakan: Ini harus berhenti. Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk e-mail bertanggal 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan di surat kabar The Guardian, kau menulis, Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus berhenti. Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan ia agak sedih. Ia dalam umur yang sebenarnya masih pingin pergi dansa, punya pacar, dan menggambar komik lagi untuk teman-teman sekerjanya. Tapi di sini, di Rafah, ada yang ingin ia stop; bersalahkah dia? Beberapa kalimat dalam surat
Re: [Urang Sunda] Fw: keur Rachel Corrie --Re: Kanggo gambaran wae
Cik Jihader ti Indonesia aya kapikiran anu bade nurutan neng Rachel Corrie atawa O'Kefee ? tapi diditu di israel atawa Gaza ulah di Indonesia...karunya Pulis Urang ... On 6/8/10, Waluya waluya2...@yahoo.co.id wrote: Salah sahiji kapal nu nyoba norobos blokade Israel di Gaza teh aranna Rachel Corrie, nyutat aran saurang aktivis kamanusaan Amerika nu maot kulantaran digeleng buldozer Israel. Nyanggakeun tulisan GM perkara Rachel Corrie, wanoja ngora Amerika, nu ngorbankeun nyawana keur ngabelaan urang Palestina un dikakaya ku Israel. Cik ideologi atawa kayakinan naon nu ngadorong Rachel Corrie tepi ka wani bebeakan kitu? Tempo, 07 JUNI 2010 Untuk Rachel Corrie Salah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menembus blokade Israel di Gaza itu, dan diserang marinir Israel hingga sekitar sembilan korban tewas, diberi nama Rachel Corrie. Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan mereka, orang-orang asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang mati untuk rakyat Palestina. Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu kembali ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian. Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat dalam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar, dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya sementara. Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hidup 140 ribu penghuni-yang 60 persennya pengungsi-juga pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pekan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permukiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah mereka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300 orang-orang-orang yang sejak dulu tak punya banyak pilihan. Tentara itu mencari teroris, katanya, dan orang-orang kampung itu mencoba melawan, mungkin untuk melindungi satu-dua gerilyawan, mungkin untuk mempertahankan rumah dan tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tempat untuk pergi. Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia, seorang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancurkan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba menghalangi. Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebabkan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang berteriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit Najar. Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau terbunuh di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi, dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di seantero Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh suara protes yang mengikuti jenazahmu? Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Seattle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave sampai dengan Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika, tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu. Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada di pihak yang keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan beberapa orang di negerimu ketika mereka menulis surat ke The New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau datang, bersama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadikan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina yang menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung halaman mereka. Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya kau datang dari Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian Washington, bergabung dengan International Solidarity Movement, untuk mengatakan: Ini harus berhenti. Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk e-mail bertanggal 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan di surat kabar The Guardian, kau menulis, Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus berhenti. Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan