[Urang Sunda] Fw: keur Rachel Corrie --Re: Kanggo gambaran wae

2010-06-08 Terurut Topik Waluya
Salah sahiji kapal nu nyoba norobos blokade Israel di Gaza teh aranna Rachel 
Corrie, nyutat aran saurang aktivis kamanusaan Amerika nu maot kulantaran 
digeleng buldozer Israel. Nyanggakeun tulisan GM perkara Rachel Corrie, wanoja 
ngora Amerika, nu ngorbankeun nyawana keur ngabelaan urang Palestina un 
dikakaya ku Israel. Cik ideologi atawa kayakinan naon nu ngadorong Rachel 
Corrie tepi ka wani bebeakan kitu? 

Tempo, 07 JUNI 2010

Untuk Rachel Corrie

Salah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menembus blokade Israel di 
Gaza itu, dan diserang marinir Israel hingga sekitar sembilan korban tewas, 
diberi nama Rachel Corrie.

Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan mereka, orang-orang 
asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang mati untuk rakyat Palestina.

Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu 
kembali ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain dalam umur 
23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan 
di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.

Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat dalam kehidupan 
orang Palestina, orang-orang yang tahu benar, dengan ujung saraf di tungkai 
kaki mereka, apa artinya sementara.

Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hidup 140 ribu 
penghuni-yang 60 persennya pengungsi-juga pengungsi yang terusir berulang kali 
dari tempat ke tempat. Pekan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, 
ketika 150 laki-laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar 
permukiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara tank dan 
buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah mereka olah bertahun-tahun dan 
jadi sumber penghidupan 300 orang-orang-orang yang sejak dulu tak punya banyak 
pilihan.

Tentara itu mencari teroris, katanya, dan orang-orang kampung itu mencoba 
melawan, mungkin untuk melindungi satu-dua gerilyawan, mungkin untuk 
mempertahankan rumah dan tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada 
lagi tempat untuk pergi.

Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia, seorang 
perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur laut Amerika Serikat, 
memilih nasibnya di antara orang-orang di Rafah itu: mereka yang terancam, 
tergusur, tergusur lagi, dan tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser 
tentara Israel menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancurkan. 
Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba menghalangi.

Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebabkan serdadu di 
mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di belakang setir itu juga tak 
mengacuhkan orang-orang yang berteriak-teriak lewat megafon, mencoba 
menyetopnya. Buldoser itu terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya 
bayangkan Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit Najar.

Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban dan kematian di hari ini 
menjadikan kita sebaya rasanya. Kau terbunuh di sebuah masa ketika tragedi 
dibentuk oleh berita pagi, dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang 
dan pergi dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di seantero 
Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh suara protes yang mengikuti 
jenazahmu?

Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang menyebabkan sikap 
acuh tak acuh setelah kematianmu di hari itu. Bayangkanlah betapa akan 
sengitnya amarah orang dari Seattle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave 
sampai dengan Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika, 
tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu.

Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada di pihak yang 
keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan beberapa orang di negerimu ketika 
mereka menulis surat ke The New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau 
datang, bersama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadikan tubuhmu 
sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina yang menghadapi kekuatan besar 
pasukan Israel di kampung halaman mereka.

Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya kau datang dari 
Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian Washington, bergabung dengan 
International Solidarity Movement, untuk mengatakan: Ini harus berhenti.

Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk e-mail bertanggal 27 
Februari 2003 yang kemudian diterbitkan di surat kabar The Guardian, kau 
menulis, Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan 
menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut Kini kupertanyakan keyakinanku 
sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus berhenti.

Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan ia agak sedih. Ia dalam umur 
yang sebenarnya masih pingin pergi dansa, punya pacar, dan menggambar komik 
lagi untuk teman-teman sekerjanya. Tapi di sini, di Rafah, ada yang ingin ia 
stop; bersalahkah dia? Beberapa kalimat dalam surat 

Re: [Urang Sunda] Fw: keur Rachel Corrie --Re: Kanggo gambaran wae

2010-06-08 Terurut Topik Surtiwa
Cik Jihader ti Indonesia aya kapikiran anu bade nurutan neng Rachel
Corrie atawa O'Kefee ? tapi diditu di israel atawa Gaza ulah di
Indonesia...karunya Pulis Urang ...

On 6/8/10, Waluya waluya2...@yahoo.co.id wrote:
 Salah sahiji kapal nu nyoba norobos blokade Israel di Gaza teh aranna
 Rachel Corrie, nyutat aran saurang aktivis kamanusaan Amerika nu maot
 kulantaran digeleng buldozer Israel. Nyanggakeun tulisan GM perkara Rachel
 Corrie, wanoja ngora Amerika, nu ngorbankeun nyawana keur ngabelaan urang
 Palestina un dikakaya ku Israel. Cik ideologi atawa kayakinan naon nu
 ngadorong Rachel Corrie tepi ka wani bebeakan kitu?

 Tempo, 07 JUNI 2010

 Untuk Rachel Corrie

 Salah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menembus blokade Israel di
 Gaza itu, dan diserang marinir Israel hingga sekitar sembilan korban tewas,
 diberi nama Rachel Corrie.

 Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan mereka, orang-orang
 asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang mati untuk rakyat Palestina.

 Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu
 kembali ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain dalam
 umur 23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap
 diabaikan di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.

 Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat dalam
 kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar, dengan ujung saraf
 di tungkai kaki mereka, apa artinya sementara.

 Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hidup 140 ribu
 penghuni-yang 60 persennya pengungsi-juga pengungsi yang terusir berulang
 kali dari tempat ke tempat. Pekan itu tentara Israel datang, seperti pekan
 lalu, ketika 150 laki-laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar
 permukiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara tank dan
 buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah mereka olah bertahun-tahun
 dan jadi sumber penghidupan 300 orang-orang-orang yang sejak dulu tak punya
 banyak pilihan.

 Tentara itu mencari teroris, katanya, dan orang-orang kampung itu mencoba
 melawan, mungkin untuk melindungi satu-dua gerilyawan, mungkin untuk
 mempertahankan rumah dan tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak
 ada lagi tempat untuk pergi.

 Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia, seorang
 perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur laut Amerika Serikat,
 memilih nasibnya di antara orang-orang di Rafah itu: mereka yang terancam,
 tergusur, tergusur lagi, dan tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser
 tentara Israel menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancurkan.
 Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba menghalangi.

 Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebabkan serdadu di
 mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di belakang setir itu juga tak
 mengacuhkan orang-orang yang berteriak-teriak lewat megafon, mencoba
 menyetopnya. Buldoser itu terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak.
 Saya bayangkan Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah
 Sakit Najar.

 Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban dan kematian di hari
 ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau terbunuh di sebuah masa ketika
 tragedi dibentuk oleh berita pagi, dan makna kematian disusun oleh liputan
 yang datang dan pergi dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau,
 di seantero Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh suara protes
 yang mengikuti jenazahmu?

 Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang menyebabkan sikap
 acuh tak acuh setelah kematianmu di hari itu. Bayangkanlah betapa akan
 sengitnya amarah orang dari Seattle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave
 sampai dengan Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika,
 tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu.

 Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada di pihak yang
 keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan beberapa orang di negerimu
 ketika mereka menulis surat ke The New York Times. Mereka menyalahkanmu.
 Sebab kau datang, bersama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk
 menjadikan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina yang
 menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung halaman mereka.

 Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya kau datang dari
 Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian Washington, bergabung dengan
 International Solidarity Movement, untuk mengatakan: Ini harus berhenti.

 Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk e-mail bertanggal
 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan di surat kabar The Guardian, kau
 menulis, Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan
 menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut Kini kupertanyakan
 keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus
 berhenti.

 Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan