[Urang Sunda] Hey Urang Sunda ;)

2007-07-02 Terurut Topik Yaya Rukayadi



http://www.hi5.com/register/78beG?inviteId=A_1c33c81_p5.b4gX4Bdu0

Yaya


[Urang Sunda] hey..!!! Urang Sunda Hudang...!!!

2005-04-08 Terurut Topik nana sutrisna



 
 
Strategi Kebudayaan untuk Ki SundaOleh STEVANUS SUBAGIJO 
SEMOGA saja Ki Sunda tidak menelan mentah-mentah artikel Solatun, Mempertanyakan Jati Diri Ki Sunda ("PR", 5/6). Bukan karena ukuran kepemimpinan Sunda yang diajukan Solatun kurang, sebaliknya bahkan sangat ideal. Bayangkan enam R (cageur, bageur, bener, jujur, pinter, singer) dan jati diri kepemimpinan Rasulullah saw. (siddiq, amanah, tabligh, fathanah). Tidak ada yang menyangsikan bahwa karakteristik ini semua merupakan keniscayaan utama bagi kepemimpinan Sunda. 
Namun pertanyaannya, kenapa bukan Ki Sunda yang dilengkapi dengan ideal kepemimpinan itu semua, mengapa harus (masih bisa) orang lain yang non-Sunda. Solatun seperti hendak mengatakan agar Ki Sunda nrimo saja, sekalipun pemimpin etnik Sunda tidak muncul, asal ukuran ideal kepemimpinan di atas bisa dijalankan, oleh non-Sunda sekalipun, pastilah baik bagi etnik Sunda. 
Solatun mungkin kesal dengan acara lempar batu di ITB atau Pascasarjana Unpad yang cuma seorang saja yang teriak "Aduh sirah aing nyeri euy". Gemas melihat pola asuh "anak emak" yang menihilkan jiwa merantau Ki Sunda ke pengeboran, pelayaran, eksploitasi hutan. Masak dari seratus orang yang berbisnis di Bandung Raya cuma delapan yang Sunda? 
Identik dengan Solatun, sobat Y. Herman Ibrahim dalam tulisannya, Identitas Sunda dalam Pusaran Kampanye Capres ("PR", 4/6) seperti kehilangan fakta-fakta potensial kepemimpinan Sunda. Sehingga muncul otosugesti kepada diri Ki Sunda bahwa masyarakat Sunda pada umumnya tidak memiliki kerinduan apa pun terhadap pemimpin nasional dari kalangan mereka, justru karena mereka tidak pernah memilikinya.
Ada lingkaran self helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari) dan saling lempar-sebab ihwal tiadanya kepemimpinan Sunda. Bagaimana pemimpin Sunda bisa lahir lha wong tidak ada contoh pemimpin Sunda. Sebaliknya bagaimana pemimpin Sunda bisa dijadikan contoh lha wong tidak ada yang melahirkan. Pertanyaannya, mengapa untuk melahirkan kepemimpinan Sunda, harus ada contoh Ki Sunda yang sudah memimpin terlebih dahulu? 
Jika budaya Sunda "menghukum" urang Sunda sehingga tidak ada yang menjadi pemimpin, bukankah setiap budaya, termasuk Sunda mempunyai dinamikanya sendiri lewat akulturasi budaya dengan non-Sunda. Dan memungkinkan untuk transformasi budaya yang lebih bisa menjawab persoalan kepemimpinan lokal di Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya dengan lahirnya Ki Sunda, pemimpin dengan 6 R dan karakteristik kepemimpinan Rasulullah saw.?
Y. Herman Ibrahim sendiri mengatakan bahwa di Bandung sebagai pusat Sunda, nilai-nilai kesundaan mulai pudar. Jika yang pudar kesundaan yang positif tentu sangat disayangkan. Tetapi jika yang pudar adalah nilai-nilai kesundaan yang menjadi penyebab mandulnya kepemimpinan Sunda, bisa jadi dinamika budaya Sunda lewat akulturasi budaya non-Sunda membuka peluang lahirnya pemimpin Sunda. Nilai-nilai budaya Barat misalnya yang lebih menghargai prestasi individu, melugaskan Ki Sunda untuk tampil dengan tanpa ada kekangan kultural yang selama ini disinyalir mengebiri kepemimpinan Sunda.
Di akhir tulisannya Solatun seperti ingin lari dari pertanyaan yang mengejar terus yakni mengapa bukan Ki Sunda yang memimpin. Solatun menghibur diri bahwa yang penting bukan soal pemimpin etnik Sunda atau bukan. Yang penting mendefinisikan ulang, siapakah diri kita sejatinya (sebagai bagian dari masyarakat Sunda), apa misinya, hendak ke mana manusia Sunda, bagaimana cara membawanya dst. Padahal semuanya ini tidak menjadi excuse penyelamat. 
Siapakah diri kita yang sejatinya, akan dikejar pertanyaan, bahwa kesejatian Ki Sunda mestinya tidak menafikan faktor kepemimpinan yang sifatnya netral bagi semua etnik. Apa misi hidup kita sebagai bagian dari entitas budaya Sunda, sama juga, mengapa tidak ada misi budaya yang melahirkan pemimpin Sunda. Hendak dibawa ke mana manusia Sunda, mestinya pertanyaan ini mudah dijawab jika ada pemimpin Sunda yang mengerti Sunda. Bagaimana cara membawa perjalanan budaya masyarakat Sunda, mestinya juga berpikir, termasuk bagaimana membidani lahirnya figur pemimpin Sunda. 
**
SEHARUSNYA kita tidak lari dari polemik awal Atip Tartiana dan Muradi, mengapa pemimpin etnik Sunda sedikit atau tidak ada? Baik dengan otosugesti bahwa kemungkinan itu memang produk budaya atau mencari generalisasi bahwa yang penting karakter pemimpin bukan keetnikkannya, yang penting maslahat bagi masyarakat Sunda, meski ia bukan Sunda pituin. 
Tidak ada sebuah suku pun di dunia ini yang ditakdirkan mandul pemimpin. Kepemimpinan bukan masalah takdir etnik, pemimpin bisa dilahirkan dari semua etnik, termasuk Sunda. Mengapa Sunda mengalami krisis kepemimpinan, mustinya kita tidak berhenti hanya memaklumi sejarah yang mungkin menyebabkannya. Kita harus berani membuat strategi kebudayaan yang subur bagi kelahiran Ki Sunda pemimpin itu. 
Merekayasa budaya dan membuat peluang cikal bakal kepemimpinan Sunda. Identik dengannya ialah mengapa tidak ada atau jarang orang Tionghoa menjadi pe