Haturan
Kang Durahman, Kang Lukman sareng nu palay maos tina imel.
Mung
sakieu geuning tina download gratis teh.
Baktos,
Lies
===
Judul : Semangat Baru :
Kolonialisme, Budaya, Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad
Ke-19
Penulis :
Mikihiro Moriyama
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Bab
1
MENCIPTAKAN BAHASA DAN
KESUSASTRAAN
Menemukan
Bahasa yang Mandiri
Peta
Bahasa yang membingungkan
Etnisitas
(ethinicity), yang dalam bahasa Sunda
disebut kabangsaan atau een volk dalam Bahasa Belanda,
ditentukan oleh bahasa. Pendapat ini umum diterima di Hindia Belanda pada awal
abad ke-20, termasuk oleh seorang sarjana Sunda terkemuka, Memed
Sastrahadiprawira, yang merumuskan kaitan keduanya pada 1920-an sebagai
berikut:
Bahasa
membentuk norma: simbol (pengertian) yang paling mencakup untuk membedakan satu
kelompok etnis dengan kelompok lainnya. Jika ciri khas suatu bahasa hilang, maka
unsur-unsur pembeda suatu etnis juga menjadi kabur. Jika etnisitas tidak lagi
ada, maka bahasa kelompok etnis tersebut lama kelamaan juga akan
lenyap.
Basa teh
anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda
noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepe-roepa basa tea leungit,
bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana soewoeng,
basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit (Sastrahadiprawira 1929a:
99).
Namun ada
juga pemikiran lain tentang kaitan bahasa dan etnisitas yang cukup berpengaruh
di kalangan sarjana Sunda. Pandangan ini melibatkan unsur ketiga, yakni budaya:
bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan; dan kebudayaan
menentukan serta mendukung etnisitas. Pemikiran ini berasal dari kaum Romantik
yang sangat mempercayai keunggulan bahasa. Suatu kelompok etnis dikenali
berdasarkan bahasa yang berbeda, dan bahasa itu dianggap sebagai media pengusung
kebudayaan. Debat yang sengit dan bersemangat tentang hakikat hubungan ketiga
unsur itu tak pernah sungguh-sungguh terjadi, baik di Belanda maupun di Hindia
Belanda. Tampaknya kaitan erat antara bahasa, kebudayaan, identitas, dan
etnisitas dianggap sudah terbukti dengan sendirinya, dan telah memainkan peranan
penting dalam berbagai kebijakan pemerintah kolonial di bidang
kebudayaan.
Masyarakat
di wilayah penutur bahasa Sunda di Jawa disadarkan bahwa mereka punya budaya dan
identitas Sunda yang khas, dan kesadaran ini diperteguh dengan adanya
batas-batas administratif yang dipatok Belanda di tanah Jawa. Sebelum orang
Eropa menjejakkan kaki di tanah Sunda, tidak diragukan bahwa orang-orang Sunda
warga Kerajaan Sunda sebenarnya telah mempunyai kesadaran bahwa mereka berbeda
dari orang Jawa, rakyat Kerajaan Majapahit.
Cerita
dari Bubat, misalnya, merupakan contoh bagus yang mencerminkan kesadaran akan
perbedaan itu. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa Citraresmi (atau Dyah Pitaloka)
adalah seorang putri dari Kerajaan Sunda yang dahulu kala sangat berkuasa --
sumber-sumber Eropa mengatakan bahwa bagian barat Pulau Jawa diduga sedikit
banyak telah bersatu di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda pada 1333-1579
(Poerbatjaraka dan Hadidjaja 1952). Atas anjuran Gajah Mada patihnya, Hayam
Wuruk, raja Majapahit yang sangat berkuasa, melamar sang putri. Pihak istana
Sunda di Pakuan Pajajaran menerima pinangan Sri Baginda itu dan kemudian
diantarlah sang putri ke Bubat, Jawa Timur. Namun di sana ternyata Citraresmi
diterima bukan sebagai calon permaisuri raja, tapi hanya sebagai salah seorang
selir. Akhirnya Citraresmi memilih bunuh diri daripada hidup menderita dalam
kehinaan.
Kebanyakan
orang Sunda tahu cerita itu, dan mereka mengingat peristiwa itu dengan perasaan
marah bercampur geram. Cerita itu jelas mengesankan sentimen anti-Jawa dan, yang
lebih penting lagi, adanya kesadaran bahwa mereka (orang Sunda) meang berbeda
dari orang Jawa. Kesadaran yang sama juga dapat ditemukan dalam sejumlah
manuskrip, misalnya dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dari
abad ke-16. Pengarang dalam manuskrip ini menceritakan bahwa seseorang harus
berbicara dalam bahasa Jawa ketika pergi ke bagian Pulau Jawa yang masyarakatnya
berbahasa Jawa, tapi keharusan itu tidak bisa diberlakukan kalau seseorang
kembali ke Sunda (Danasasmita dkk. 1987: 87,111).
Kedatangan
Belanda menjadikan penduduk Jawa Barat lebih sadar, dibanding yang sudah-sudah,
bahwa baik bahasa Jawa maupun bahasa Melayu pada hakikatnya bukanlah bahasa
mereka. Mereka juga sadar bahwa kedua bahasa itu membawa kebudayaan, identitas,
nilai dan gagasan yang bukan dari masyarakat Jawa Barat, yaitu orang Sunda.
Administrator kolonial dan para sarjana Belanda mendorong orang Sunda untuk
membedakan diri mereka dari orang Jawa dan Melayu.
Proses
pembatasan dan pembedaan itu terangkum dalam kata-kata Michael Bakhtin: "Orang
bisa mengenali bahasanya sendiri, bentuk-bentuk internalnya, keunikan pandangan
dunianya, dan sifat-