[wanita-muslimah] Puasa of the day : Kisah-Lebaran di Negeri Laskar Pelangi
Lebaran di Negeri Laskar Pelangi KOMPAS-Senin, 14 September 2009 | 03:20 WIB Oleh ANDREA HIRATA - Novelis Menjelang Lebaran seperti sekarang ini, aku selalu ingat kepada guru mengajiku dulu di kampungku yang jauh, udik, dan terpencil, Gantong, nun di tepi timur Pulau Belitong sana di titik paling ujung peradaban Melayu. Namanya Haji Fadillah Fairuz, yang tak pernah marah meski kami, anak-anak didiknya, selalu nakal. Makin nakal kami, makin sabar ia, dan makin sayang kami kepadanya. Ramadhan menjadi begitu menyenangkan bersamanya. Jika usai berbuka puasa, kami segera menyerbu masjid karena Haji Fairuz akan mengajar kami azan berbagai gaya, mulai dari gaya orang Mesir sampai gaya umat muslim Tionghoa di daratan China. Unik dan lucu. Sepanjang shalat tarawih, Haji Fairuz bergabung di saf paling belakang bersama kami yang sering ribut. Seusai tarawih, ia akan menceritakan kisah dari jazirah yang membuat kami tertawa sampai berguling-guling. Ia memimpin kami pawai likur pada hari ke-17 puasa. Ia pun membuat lomba membaca puisi berbahasa Arab dan pentas sandiwara Abu Nawas. Lalu, yang paling istimewa, suatu ketika Haji Fadillah Fairuz menyarankan, tak ada salahnya mengantar hidangan lebaran kepada warga Tionghoa di kampung kami. Dan, tibalah Lebaran. Pagi-pagi sebelum salat Idul Fitri, aku merepotkan ibuku agar mengisi rantang dengan ketupat dan masakan lebaran. Lalu, aku bergegas ke rumah Nyim Kiun, wanita Tionghoa renta yang hidup sendiri. Ia tertegun menatapku. Aku mesti berkali-kali menjelaskan kepadanya bahwa aku datang sesuai dengan saran Haji Fairuz. Nyim Kiun masih tak mampu berkata-kata waktu menerima rantang itu. Matanya berkaca-kaca. Itulah Lebaran terindah dalam hidupku. Betapa lembut Islam di tangan Haji Fairuz. Ia pula yang menyadarkanku akan megahnya Lebaran bagi orang Melayu pedalaman seperti kami. Secara kultural, kami tak punya hari besar apa pun. Kami bahkan tak merayakan ulang tahun, jangan kata Valentine's Day. Jika belakangan banyak orang Melayu merayakan ulang tahun, itu karena mereka terlalu banyak mendengar lagu barat atau nonton TV. Maka, Idul Fitri menjadi yang terbesar dan teristimewa bagi kami. Orang rela berdesakan dalam kapal lawit, terkapar mabuk laut bertumpuk- tumpuk seperti pindang di geladak. Tetapi, semuanya gembira untuk Lebaran di kampung. Para penggunjing, jemaah tetap warung kopi dan berandalan pasar bergegas dengan baju-baju terbaiknya, bersepeda kalang kabut karena azan shalat Idul Fitri telah berkumandang. Mereka ingin shalat! Walaupun mungkin hanya sekali itu tahun ini. Anak-anak Melayu berbondong-bondong ke masjid, semuanya seragam lantaran bahan pakaiannya hanya dari jatah maskapai timah untuk kaum kuli. Walau baju mereka kerap sama dengan gorden dan taplak meja, mereka ingin menghadap Allah dengan baju lebaran paling bagus. Masih demikian banyak sisi indah dalam Islam yang bisa dinikmati, disyukuri, dibanggakan, dan dibela tanpa harus dengan menaikkan darah. Aku rindu kepada Haji Fairuz dan cantiknya Islam dalam pelukannya. Aku rindu menjadi Muslim yang lebih baik. Aku rindu pada kenakalan-kenakalan di masjid selama Ramadhan, pada keunikan orang Melayu jika Lebaran. Aku rindu pawai likur membawa obor keliling kampung. Aku rindu melihat wajah orang-orang Khek dan Hokian waktu mereka menerima rantang hidangan lebaran. -[lm-29] -- l.meilany 180909/28ramadhan1430h [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Puasa of the day : Maaf Memaafkan, Hormat Menghormati
Maaf Memaafkan, Hormat Menghormati Allah SWT memerintahkan setiap orang yang beriman agar berbuat baik (ihsan), kepada sesama manusia tanpa memandang suku, agama, status sosial. Terutamanya yang ada di sekitar kita [QS Al Baqarah; 2:83] Menghormati sesama adalah suatu sikap yang tidak meremehkan orang lain. Islam mengajarkan agar menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Barangsiapa tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak mengenal hak orang yang lebih tua diantara kamu, maka ia bukan golongan kami. [H.R. Muslim] Tetapi dalam pelaksanaan tindakan tersebut diatas kadangkala menimbulkan silang selisih, salah mengerti. Mawas diri adalah usaha meneliti perbuatan diri sendiri. Apakah ada kesalahan yang telah kita lakukan? Dengan demikian, insya Allah perilaku kita dari hari kehari semakin lebih baik. Dari Anas ra, bahwa Rasulullah telah bersabda Berbahagialah orang yang meneliti kesalahannya sendiri dari kesalahan orang lain. [H.R. Al Bazzar] Oleh sebab itu, Meminta maaf, memberi maaf dengan ikhlas membuat pikiran menjadi lebih tenang. Membebaskan diri kita dari beban ingatan dan emosi yang buruk. 'Jadilah engkau pemaaf' [QS Al A'raaf; 7:199] Melakukan pembalasan atas perbuatan seseorang memang bukan suatu kesalahan, namun berdamai, memaafkan adalah tindakan yang terpuji [QS Asy Syuuraa; 42:40]-[lm-27] [Dari berbagai sumber] -- l.meilany 180909/28ramadhan1430h --- Dengan ikhlas saya menyampaikan : Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1430 H Semoga Allah menerima amalan puasa kita Dan semoga kita termasuk orang yang kembali fitri dan beruntung Taqabbalallahu minna waminkum Minal 'aidin wal faizin Mohon dimaafkan segala kesalahan-kekhilafan lahir maupun batin. l.meilany Lebaran 2009 [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Puasa of the day : 2 Kisah Baju Lebaran
2 Kisah Baju Lebaran 1. Baju Seragam, Baju Lebaran Di sebuah tempat bernama Tanggeung di wilayah Cianjur Selatan; saya, istri dan 2 anak kami menikmati Lebaran yang indah dan mengharukan. Bermula dari pertanyaan anak saya yang heran melihat anak-anak kecil disana memakai baju seragam SD yang berwarna merah putih. Selidik punya selidik, kebiasaan di daerah ini membeli baju seragam sekolahnya adalah saat Lebaran, bukan saat pergantian tahun ajaran baru. Artinya, sang orangtua membelikan baju Lebaran anaknya berupa seragam SD sehingga orangtua mendapat 2 keuntungan, anaknya bisa ber-Lebaran dengan baju baru dan baju Lebarannya bisa dipakai sekolah. (Gilang Pambudhi - Delta FM) 2. Baju Bulan Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru, tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang, sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan. Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam? Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni baju buatan? Bulan mencopot bajunya yang keperakan, mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri rela telanjang dilangit: atap paling rindang bagi yang tak pernah berumah dan tak bisa pulang. -[lm-28] (Joko Pinurbo) - l.meilany 180909/28ramadhan1430h [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Adam di Kaskus
Adam adalah makhluk dari ruang angkasa Dalam banyak ayat, AlQur'an mengatakan bahwa tempat mula-mula Adam dan Hawa adalah disuatu tempat bernama Jannah, yang oleh kebanyakan ahli tafsir diterjemahkan sebagai surga, sebagaimana surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang beriman pada hari kemudian. Tetapi benarkah demikian? Tidakkah akan dijumpai beberapa kejanggalan dan menimbulkan masalah yang irrasional dan bertentangan dengan akal pikiran manusia, begitu memasuki pemahaman AlQur'an lebih jauh lagi? Ada pengertian lain yang lebih tepat untuk penafsiran kata Jannah ketimbang dari penafsiran surga, yaitu kebun yang subur. Dan memang Jannah dalam bahasa Arab dapat berarti kebun dan dapat juga diartikan sebagai surga. Hai Adam ! tinggallah engkau dan istrimu di Jannah serta makanlah oleh kamu berdua apa-apa yang disukai, tetapi janganlah kamu mendekati Syajaratu, karena kamu akan termasuk golongan mereka yang zhalim. (QS. 7:19) Iblis jelas sudah ingkar sejak dulu diperintahkan Tuhan untuk sujud pada Adam, tapi kenapa masih ada dalam surga yang suci? Buktinya dia masih bisa merayu Adam dan istrinya untuk mendekati Syajarah yang dalam terjemahan Indonesia, biasanya ditafsirkan sebagai pohon terlarang dalam surga Tapi benarkah didalam Jannah atau kebun itu terdapat sebuah pohon yang terlarang untuk dimakan buahnya oleh Adam dan istrinya? Mari kita tinjau dulu arti pohon terlarang ini dari ayat aslinya : Istilah yang dipakai oleh Qur'an untuk menyatakannya adalah dengan Syajaratu atau Syajarah yang selalu ditafsirkan oleh para penafsir Qur'an dengan kata pohon. Padahal tidak demikian adanya. Istilah Syajaratu memiliki pengertian Pertumbuhan, dan istilah Syajarah berarti Bertumbuh bukan = pohon. Adapun yang berarti pohon ialah Syajaruh, seperti yang tercantum pada ayat 16/68, 27/60, 36/80 dan 55/6. Dan dengan pengertian serta perbedaan kedua arti kata itu, maka sekarang bisa diartikan sebagai dilarangnya Adam oleh Tuhan untuk melakukan persetubuhan/pertumbuhan dengan Hawa didalam Jannah tersebut, meskipun waktu itu Hawa sudah menjadi istri dari Adam. Pertumbuhan itu adalah kata lain untuk pembuahan yang terjadi akibat hubungan suami istri Karena itulah ayat AlQur'an tidak melarang Adam 'Jangan memakan' atau 'Jangan mengambil buah pohon' tetapi yang dinyatakan kepada Adam adalah 'Jangan mendekati pertumbuhan'. AlQur'an memang melukiskan kejadian tersebut sedemikian rupanya melalui kalimat-kalimat yang halus dan baik sehingga menjadi sopan dan indah dengan perkataan Syajarah atau Syajaratu yang oleh para penafsir selama ini diartikan dengan pohon. Mereka dapat dibujuk oleh Iblis agar melakukan persetubuhan tersebut lalu keduanya terjebak dan terbuai akan kenikmatan tersebut sehingga ketika mereka sadar mereka mendapati bahwa tubuh mereka sudah tidak lagi terbungkus dengan pakaian karena pakaian mereka sudah terlempar kesana kemari. Dan ini bersesuaian dengan ayat 7:22 yang menyatakan bahwa setelah mereka merasakan buah dari pohon itu yang bisa diartikan hasil /buah/ dari perbuatan mereka tersebut, mereka tersentak karena menyadari telah dapat melihat aurat masing-masing. Dan mereka mulai menutupi aurat mereka dengan daun-daun yang ada dikebun tersebut secara refleks, sebab mereka tidak sempat lagi berpikir kemana pakaian mereka sebelumnya terlempar. Reaksi reflek ini dapat saja terjadi karena begitu sadar mereka telah melanggar ketentuan dari Tuhan, saking paniknya mengambil apa saja untuk menutupi keadaan diri masing-masing, untuk selanjutnya Adam meminta ampun kepada Allah atas pelanggarannya itu. Perbuatan Adam ini dinilai oleh Tuhan sebagai orang yang tidak memiliki kemauan yang kuat untuk memenuhi perintah Allah sebagaimana ayat 20:115, meskipun memang semuanya itu adalah kehendak dari Allah agar Adam turun kebumi dan menjadi khalifah disana. Dan ini menjadi semacam peringatan keras sekaligus pelajaran berharga bagi kita sebagai anak cucu Adam, bahwa betapa sukarnya untuk mengendalikan hawa nafsu, terutama kepada perempuan alias nafsu syahwat. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari Jannah itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:Turunlah! (QS: 2:36) Turunlah itu adalah kalimah perintah, dan dalam bahasa Qur'annya adalah ih bithu , dan arti sebenarnya adalah : Turun dari tempat yang tinggi., seperti dari gunung, dan juga dipakai dengan arti Pindah dari satu tempat kesatu tempat lain. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Qur'an pada turunnya Nabi Nuh dari kapal kedaratan, jatuhnya batu dari tempat tinggi dan lain sebagainya. Kita melihat bahwa AlQur'an disini juga tidak menjelaskan secara jelas, dimana Adam dan istrinya itu turun dan bertempat tinggal setelah diperintah oleh Allah keluar dari Jannah tersebut. Sehingga tetap akan selalu ada kemungkinan bahwa sebelum Adam berdiam di planet bumi kita ini, Adam dan istrinya telah
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA Berbagi Cerita - SELAMAT ULTAH (Ke-88) Untuk Mas SETIADI REKSOPRODJO
*IBRAHIM ISA Berbagi Cerita* *Jum'at, 18 September 2009* *---* *SELAMAT ULTAH (Ke-88)* *Untuk Mas SETIADI REKSOPRODJO* Pagi ini kubaca di Facebook, diberitakan oleh Witaryono: BAPAK SETIADI REKSOPRODJO hari ini, 18 September, berusia 88 th. Aku bilang kepada Murti, baik kita tilpun langsung saja Mas Setiadi. Beliau hari ini genap berusia 88 th dan masih sehat walafiat, fisik dan mental. Kira-kira jam 9.00 waktu Amsterdam, aku tilpun Mas Setiadi. 'Dari siapa?', tanya seorang wanita dari rumahnya Mas Setiadi, Jalan Sibayak No 4. Jakarta. 'Oh,bilang saja dari negeri Belanda. Dari Amsterdam'. 'Tunggu sebentar, ya Pak', kata wanita itu. Kedengaran di tilpun suara wanita itu kepada Mas Setiadi: Pak ada tilpun dari negeri Belanda. Mas Setiadi segera mengambil tilpun itu: 'Ya, halo', kata Mas Setiadi. 'Ya, siapa?' 'Saya, Ibrahim Isa, dari Amsterdam'. 'Oh, Isa?', kata Mas Setiadi. Langsung saja kami berdua menyanyikan lagu PANJANG UMURNYA, Panjang Umurnya, Panjang Umurnya Serta Muliyaaa! Hip, hip huraa'. Segera terdengar suara Mas Setiadi geli tertawa. Biasanya beliau hanya senyum saja. Jarang tertawa sampai terdengar. Kali ini beliau tertawa terkekeh-kekeh. 'Kok tau saja', kata Mas Setiadi sambil mengucapkan terima kasih. Aku bilang, aku tau dari Witaryono (puteranya Mas Setiadi) yang memberitakannya di Facebook. Tau enggak Facebook? Menurut pengelolanya, sekarang anggotanya sudah melebihi 300 juta. Kalau dipasang berita di situ, seluruh dunia tau. Wah, kata Mas Setiadi, saya sudah tidak mengikuti lagi perkembangan internet yang begitu cepat. * * * Kutanyakan bagaimana kesehatannya. Ya, baik-baik saja, katanya. Masih ke kantor, tanyaku lagi. Ya, masih, katanya. Tetapi tidak setiap hari, seperti dulu. Kalau diperlukan saja. Tidak reguler, katanya. Lalu Mas Setiadi cerita bahwa ia sekarang sedang menulis (buku), Ia cerita tentang apa yang ditulisnya. Biarkanlah Mas Setiadi sendiri nanti yang memberitahukannya kalau buku itu sudah selesai. Pokoknya, yang sedang ditulisnya ialah tema yang penting. Beliau juga cerita bahwa cukup sibuk di Jakarta, sehingga terkadang sulit cari waktu untuk menulis. Aku fikir manusia senior ini memang luar biasa. Sudah mencapai usia 88 th masih cukup kesibukan. Masih menulis buku. Luar biasa! Dua kali jadi meneri RI dua kali masuk penjara! Masih saja bersemangat dan militan! Aku bertanya: Mas, apa resepnya kok sampai sekarang Mas masih mantap saja, masih sehat dan melakukan kegiatan seperti yang muda-muda itu. Beliau tertawa mendengar pertanyaanku itu. Harus menemukan sendiri resepnya itu. OK-lah. Kapan jalan-jalan lagi ke Amsterdam, kataku. Kalau mau menulis buku datanglah ke sini. Di sini bisa dengan tenang menulis, di rumah kami. Pasti lancar. Mau berapa lama juga boleh. Mas Setiadi tertawa lagi. Yaah, katanya. INSYAALLAH! Ya, itulah, katanya. INSYAALLAH itulah salah satu resep tadi itu. Bagaimana maksudnya Mas?, tanyakau. Ditegaskannya, maksudnya yang penting JANGAN NGOYO! Tapi bukan alon-alon asal kelakon, toh mas?, tanyaku balik. 'Tentu, tidak boleh alon-alon asal kelakon' jawabnya tandas. Jadi dua hal tadi itu resepnya ya Mas? kataku. Satu: JANGAN NGOYO -- INSYA ALLAH. Tetapi jangan 'alon-alon asal kelakon'. Boleh ini saya sampaikan ke teman-teman Mas? Ya, saya tak tau apa itu rahasia, katanya lagi. Tetapi ia tak melarang aku meneruskannya kepada teman-teman. Lama kami bercakap-cakap. Percakapan lewat tilpun itu berlangsung lancar, gembira dan penuh antusiasme. Seakan-akan seperti pada tahun limapuluhan abad lalu, ketika kami bersama-sama melakukan kegiatan dalam gerakan perdamaian dunia. Mas Setiadi penah menjabat sebagai salah satu Ketua World Peace Council yang berpusat di Wina ketika itu. Beliau juga anggota Biro Dewan Perdamaian Dunia tsb. Kami juga sempat ngomong-ngomong tentang situasi politik Indonesia dewasa ini. Pengamatan dan analisa beliau, masih sama tajamnya seperti dulu. Mas Setiadi Reksoprodjo adalah manusia langka di Indonesia! Manusia teladan! Ulet, sabar dan oprimis! SELAMAT BERULTAH MAS! Sekalian SELAMAT HARI RAYA IDIL FITRI. IED MUBARAK, Mohon MAAF LAHIR BATHIN! * * * [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] My encounters with terrorist `Urwah' Budi Pranoto
http://www.thejakartapost.com/news/2009/09/18/my-encounters-with-terrorist-urwah039-budi-pranoto.html My encounters with terrorist `Urwah' Budi Pranoto Noor Huda Ismail , Jakarta | Fri, 09/18/2009 12:02 PM | Opinion Indonesia's Detachment 88 counterterrorism unit raided in a house in Mojosongo, Surakarta, Central Java, on Wednesday, killing four people, two of them reportedly Noordin M. Top and Bagus Urwah Budi Pranoto. I met Urwah for the first time in 2004 in Cipinang Penitentiary as a journalist. According to police, Urwah helped Noordin look for a place to stay, as well as provided logistical support and scouted for individuals to carry out further operations. It was through Urwah's wide circle of associates that Noordin met Iwan Rois Dharmawan Mutho, who carried out the Jakarta hotel bombings. For his involvement, Urwah was sentenced to three years in prison. I maintained contact with him after his release from prison in mid-2006 to his home in Surakarta, in the village of Padokan, Grogol, Sukoharjo. His daily activities included downloading jihad documentaries and films from the Internet and burning them onto VCDs for mass dissemination under the name of Muqowama Publications. He also produced in-house jihad documentaries in Indonesian, including titles such as Para Peminang Bidadari (The Fairy Proposals), Daulah Islamiyah Iraq (The Islamic State of Iraq) and The United States of Losers. Urwah also actively gave lectures around Surakarta and Yogyakarta. A good part of his audience was made up of youths and young adults, as well as housewives. From my interactions with him, I learned that after their release from prison, an ex-terrorist will always have a decision to make: to stay radical (or become even more radical than he used to be), or to become more moderate and try to reorganize his views on and understanding of jihad. However, if we look at the bonds between the terrorists while they were in prison, an ex-terrorist is more likely to stay radical than to become moderate or to reform. This was the teaching they received inside prison, and is again repeated when they rejoin their religious groups outside prison. It has proven very difficult for a convicted terrorist to let go of his old values and become a moderate Muslim. When I asked him about his time in jail, Urwah told me there were three types of JI members behind bars. First, there were those he referred to as JI hitam (Black JI), who became turncoats and collaborated with the police by leaking the group's secrets. Second, there were those in the gray zone. The third category is made up of individuals who stay committed to the radical cause. Urwah said, We need to visit those in the third category so they don't forget the cause. Urwah regularly visited these JI inmates, at least once a month. Urwah understood that a strong bond between the jihadists (terrorists), often established inside prison, made them even more prominent, both as individuals and groups. The interaction between them in groups is continuous, thus (ideologically) strengthening each other. An addition to this is the response and appreciation from fellow Muslims around them who consider convicted terrorists as defenders of Islam, i.e. heroes, and as a result place them in a higher social hierarchy in their group. This distinction causes many of their friends, relatives and admirers to visit them in prison as a form of solidarity among Muslims, or mujahids, to be exact. This kinds of support enables them to maintain their spirit of jihad on the same level, because they are still living within mujahid groups even when they are in prison. Furthermore, as mujahids, they always have to protect their image and their principles on their views on jihad. Once, Urwah said in a very chilling message that he was convinced it was extremely important for Muslims to support any Islamist group still committed to jihad. When he was invited by a group of JI members to speak at a mosque, he reiterated that jihad was fardhu a'in (a personal obligation), and therefore legitimate for any group or individual to carry out jihad based on their own initiatives and methods. He argued that there was no need to ask permission from the group's imam *leaders*. In response to this phenomenon, I believe the government on its own will not be able to successfully neutralize individuals or groups who flirt with violent groups or imbibe their ideology. Often such success is possible because ordinary citizens step forward to alert the authorities when they see something suspicious or amiss. Ultimately, therefore, terrorism will not be defeated by the government, but by the people. The average man on the street is the key component of the national community of vigilance, which can be the effective target of a country. The writer, the executive director of an international institute for peace building, earned a master's
[wanita-muslimah] Cebok Pantat: Air Versus Tisu WC
Silahkan simak : http://www.youtube.com/watch?v=mxiCKvURHbgfeature=channel [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Tionghoa Indonesia Miskin di Singkawang
Silahkan sima : http://www.youtube.com/watch?v=6mikubFSZaAfeature=related [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Gagalnya Pendidikan Kita
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009091606101755 Rabu, 16 September 2009 OPINI Gagalnya Pendidikan Kita Asarpin Peminat kajian humaniora, tinggal di Bandar Lampung Orang bijak pernah mengatakan, Jika kau ingin dapat pekerjaan yang secara ekonomi dan sosial menggiurkan, tak perlu sekolah tinggi. Cukup tamat SLTA dan cari pekerjaan. Untuk apa sekolah sampai S-2 dan S-3 karena kenyataannya tak membuat orang nambah pintar secara sosial, ekonomi, budaya, politik. Juga tidak menambah pintar secara intelektual, emosional dan spiritual. Lihatlah rekan-rekanmu yang master dan doktor, apa bedanya dengan kamu yang cuma tamat SLTA dan S-1. Bahkan, orang yang cuma tamatan SD banyak yang lebih pintar dari profesor. Pramoedya Ananta Toer itu cuma sekolah setingkat SLTP dan itu tidak lulus. Soejatmoko tidak selesai S-I. Isbedy Stiawan Z.S. hanya tamat SLTA. Banyak sekali penulis yang bergelar doktor tapi kualitas tulisannya jauh di bawah orang-orang yang tidak tamat S-1 itu. Apakah artinya ini? Pendidikan kita gagal? Bisa jadi karena ternyata pendidikan formal yang hebat-hebat hanya menghasilkan orang-orang yang sebenarnya tidak terdidik. Betapa panjang nama-nama yang menempuh pendidikan tinggi tapi tidak lebih pintar itu, maka makin pesimistis kita dengan yang namanya lembaga pendidikan di negeri ini. Belum lagi soal makin tinggi pendidikan makin hati-hati orang untuk menulis sehingga tidak kreatif dan tidak produktif. Mereka takut salah. Mereka takut harga diri mereka tercoreng. Tapi, ah, sudahlah. Terus terang, sejak lama saya sudah mengalami krisis terhadap pendidikan kita, terutama sejak saya bersentuhan secara teoritis dengan buku-buku Paulo Freire, Ivan Illich, Peter Drost, Soedjatmoko, buku-buku Romo Mangunwijaya dan buku-buku keluaran Insist. Ditambah pengalaman saya berkecimpung dengan sastra dan bergelut bersama kaum miskin kota di Jakarta dan di Bandar Lampung, yang ternyata tidak lebih bodoh dari burung beo seperti para sarjana kita. Saya yakin orang-orang yang sudah master dan doktor sadar akan beban gelar yang mereka emban. Saya yakin mereka sadar bahwa gelar tidak menjamin seseorang lebih pintar. Kalau saja karena tidak ada kepentingan untuk jadi dosen atau agar cepat diterima jadi pegawai negeri sipil, mungkin orang-orang itu tidak melanjutkan pendidikan sampai S-2 dan S-3. Tapi apa memang betul? Bukankah gelar juga prestise, bisa menambah gengsi sosial dalam pergaulan? Gelar master dan doktor hanya topeng yang menyembunyikan begitu banyak kerapuhan. Master dan doktor sudah begitu banyak di Indonesia saat ini, dan seharusnya Indonesia sudah jauh lebih hebat dari setengah abad yang lalu. Tapi apakah Indonesia lebih hebat, lebih baik, lebih sejahtera, lebih beradab? Kalau seorang master dan seorang doktor tidak lebih pintar dari orang yang hanya tamat SLTP atau SLTA, lalu apa artinya ini? Siapa yang salah jika para doktor dan profesor kita tidak lebih pintar dari orang yang tamat SLTA? Siapa yang mesti bertanggung jawab jika pendidikan negeri ini tambah bobrok? Izinkan saya menjawab: dunia pendidikan. Yang saya maksudkan dunia pendidikan di sini adalah sekolah, perguruan tinggi seperti universitas, institut, dan sekolah tinggi itu. Yang saya maksudkan dunia pendidikan adalah sekolah formal yang mencetak para sarjana yang memimpikan siap pakai tapi tak malu kalau dibilang sarjana bodoh. Selama ini setidaknya ada dua kesalahan yang selalu saya tuduhkan kepada negara soal pendidikan kita. Pertama, kebijakan negara hanya memberi peluang pada orang yang berijazah tanpa mengukur kemampuan orang yang tak punya ijazah. Kedua, disadari atau tidak, negara telah membuat prasangka yang rasis dengan menempatkan yang tidak berijazah sebagai bodoh dan yang berijazah sebagai orang pintar dan menutup akses bagi yang pertama. Sekolah saja tak pernah cukup, tuan, tulis Andrias Harefa. Perlu juga ditambahkan di sini: sekolah kita sudah lama mati. Pendidikan tinggi kita hanya melahirkan orang yang tidak terdidik. Betapa pun lembaga-lembaga pengajaran formal itu dibenahi dan direformasi, ia tak menjamin melahirkan manusia-manusia berkarakter, berjiwa, inovatif, dan kreatif. Pendidikan kita gagal membentuk mental. Pendidikan kita gagal melahirkan manusia Indonesia berkarakter. Pendidikan kita gagal melahirkan sarjana yang berjerih-berkeringat secara intelektual, emosional, dan spiritual, dan hanya berhasil menambah banyak manusia yang jadi pengemis dan pemulung. Pendidikan kita hanya sarang penyamun. Lembaga penjual gelar yang cuma melahirkan para pendidik yang pandai berslogan dan jual proposal. Tengoklah soal sertifikasi dan soal UN selama ini, betapa rendah karakter pendidikan kita! Pendidikan kita sudah begitu jauh berada di tempat-tempat salon dan tukang cetak piagam. Pendidikan kita begitu jauh meninggalkan
[wanita-muslimah] Indonesia: Terrorist threat remains
http://english.aljazeera.net/news/asia-pacific/2009/09/20099185178577467.html Friday, September 18, 2009 23:02 Mecca time, 20:02 GMT Indonesia: Terrorist threat remains Indonesia police say Noordin was killed in a raid on a Java house on Thursday [AFP] Indonesia's president has said that despite the killing one of Southeast Asia's most wanted men, others are still plotting attacks. Susilo Bambang Yudhoyono praised his counterterrorism forces for Thursday's killing of Noordin Mohammed Top, the suspected mastermind of suicide attacks on two luxury hotels in the Indonesian capital in July. With Noordin's death, he said, I believe that we could reduce the seriousness of terrorist threat to Indonesia. Yudhoyono made the comments just hours after Noordin was killed in a raid on a house in Java. He said it doesn't mean that the cells and organisations that work and move in Indonesia and in Southeast Asia have been crippled. 'Terrorism temptation' Yudhoyono said that in the future we have to save our country, our people, our community and our young generation from the temptation to involve themselves in terrorism and save everything from terrorism. Kevin Rudd, the Australian prime minister, congratulated Indonesian security forces for their success but echoed Yudhoyono's warning. In depth Profile Who is Noordin Mohammed Top? Timeline Indonesia bombings Focus Indonesia's war on Jemaah Islamiyah Video Witness to Jakarta bombing Jakarta blast caught on tape Indonesia's young people under threat It doesn't leave us in a position where we can feel complacent about the future. Jemaah Islamiyah is still alive and well. Al-Qaeda is still alive and well, he told the Australian Broadcasting Corporation on Friday. Yudhoyono said nations across the world needed to address injustice to eliminate acts of terror. There is a perception, a feeling; that the world looks unfair, that the rich are getting richer and the poor are getting poor ... the wars in the Middle East, in Afghanistan, Iraq, Palestine and many other global problems are seen as a result of global injustice, the Jakarta Post quoted him as saying. Pointing to poverty and underdevelopment along with radical and extremist beliefs as root issues, Yudhoyono said the solution is we have to build a just, peaceful and prosperous world. John Harrison, an expert on terrorism at the Institute of Defence and Strategic Studies in Singapore, told Al Jazeera that it may not be so easy to replace Noordin because there are very few individuals that combine the charisma, the organisational abilities plus the connections that he had. But he cautioned that Jemaah Islamiyah (JI), the group Noordin was linked to, is always able to replace individuals. 'Strategic discussion' Harrison explained that JI had been relatively quiet in the past few years partly because of reduced capacity due to many members being killed or arrested, and because it was in a strategic discussion to determine whether or not they can use violence and . how to do it without killing large numbers of Indonesians. In video But he cautioned that JI should not be underestimated - they are a militant group that wants to use violence. Until the ideology that is fusing and infusing this movement is addressed more comprehensively, they will be able to replace their losses that will happen from time to time. Many young males ... have been very angry, they've been frustrated, there have been a whole series of reasons that they have decided to be attracted to and perhaps engage in violent activity. And until the political aspects of that, that bring together these frustrated individuals, give them a reason for committing violence, and a justification for that, is addressed, we will continue to face these waves of violence and sometimes very extreme violence for years to come. There needs to be a much more comprehensive strategy for addressing those types of issues. Matching fingerprints Indonesia's national police chief said fingerprints taken from one of four bodies removed from the house following the raid matched those of Noordin's. The bodies were flown to Jakarta for autopsies and DNA tests. Police said fingerprints taken from one of the bodies on Thursday matched Noordin's [EPA] Counterterrorism troops sealed off the area near the house in a suburb of Solo city late on Wednesday, searching for suspects involved in the July 17 attacks on the Ritz-Carlton and JW Marriott hotels in Jakarta which left nine people dead and 53 wounded. Documents and laptop computers indicating that Noordin was al-Qaeda's leader in Southeast Asia and hundreds of kilograms of explosives, M-16 assault rifles, grenades and bombs were recovered from the house, police said. Noordin is believed to have headed a splinter group with
[wanita-muslimah] Video: Battle for Indonesia's teens
Friday, September 18, 2009 22:23 Mecca time, 19:23 GMT Video: Battle for Indonesia's teens Click : http://english.aljazeera.net/news/asia-pacific/2009/09/20099181914634253.html Despite the recent death of Noordin Mohammed Top, the alleged masterminded of bombings in Bali and the Indonesian capital, authorities are still battling underground organisations seeking to attract young people to their violent ideologies. One of the suicide bombers involved in the July attacks on two luxury hotels in Jakarta was Dani Dwee Per-mana, a 17-year-old boy, thought of by those who knew him as quiet, but friendly. Nine people died in the Jakarta attacks and another 50 were injured. Al-Jazeera's Step Vaessen went to visit the family of the boy who was persuaded to carry a bomb into the Marriott Hotel in Jakarta. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Noordin's Death Hailed as a Boon to Investor Confidence
http://thejakartaglobe.com/home/noordins-death-hailed-as-a-boon-to-investor-confidence/330744 September 18, 2009 Muhammad Al Azhari Yessar Rossendar Women sport traditional costumes at a festival in Sanur, Bali. The death of notorious terror suspect Noordin Top may help tourism, said an Indonesian chamber of commerce official on Friday. (Photo: J.P.Christo, JG) Noordin's Death Hailed as a Boon to Investor Confidence The business community on Friday praised the police operation in Solo, Central Java on Thursday that led to the death of Noordin M Top, Asia's most wanted terrorist, predicting that it would significantly boost the confidence of foreign investors doing business in the country. Malaysian-born Noordin, a former accountant, had been held responsible for a series of bombings in Indonesia in recent years that struck at the heart of the country's economic well-being. These included the July bombings of the JW Marriott and Ritz-Carlton hotels in Jakarta, the bombing of the same Marriott in 2003, the Australian Embassy in 2004 and the Bali bombings of 2005. It's been greeted with approval by the foreign business community here, said Ian L Betts, an adviser at risk-management consulting firm Hill and Associates. It was a job well-done. It came as a surprise, and it's being greeted with optimism. If you ask about confidence about doing business in Indonesia, I think it will boost it and I think it will assist Indonesia in creating a more conducive environment for foreign investment. Peter Fanning, chairman of the International Business Chamber, also praised the police operation, saying it reassured the business community. Security is actually not an issue for investment, but as regards personal security for investors, it definitely makes us more comfortable, Fanning said. I don't think it will necessarily bring more investment, but it will have a positive effect. However, Betts warned that the risk of terrorism remained, as the ideology that drove Noordin was still alive and others would no doubt follow in his footsteps. Ideally, the government should encourage Muslim organizations to be wary of the content of published materials, he said. Other governments have laws and regulations to prevent the incitement of hatred - all that should be regulated to preserve peace and stability. Betts said there was a lack of control over published materials in the country. If the government can monitor and possibly look into restricting materials containing very radical content, that might help, he said. It won't help to police the mosques, or to monitor what they say, but they must look at the media. Meanwhile, Sofyan Wanandi, chairman of the Indonesian Employers Association (Apindo), said political stability was essential for business stability. The raid means that more travel warnings will be lifted, he said. Foreign business people will also feel safer coming to Indonesia. After the recent bombings, I had to meet an overseas business partner in Singapore, as he was afraid to meet me in Jakarta. Bambang Soesatyo, deputy chairman of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin), said the tourism sector would also probably benefit from Noordin's death. Many countries issued travel warnings on Indonesia in the wake of the first Bali bombings in 2002, a large number of which have remained in effect ever since. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Marriage loan comes four years too late
http://www.arabnews.com/?page=13section=0article=126343d=18m=9y=2009 Saturday 12 September 2009 (22 Ramadan 1430) Marriage loan comes four years too late Khalaf Al-Harbi | Okaz, klfh...@gmail.com A reader said he had applied to the Saudi Credit Bank to obtain a marriage loan. He said the bank approved the loan but fixed the date of releasing the loan four years from the wedding date. The fact that the loan application after approval will only fructify after four years makes one wonder whether taking out such a loan is worth it. It also took me back to the years when marriage loans were marriage loans - given to fulfill one's aspiration. All that now looks like distant memories of good times. I even wonder if many people remember that such loans still exist. Though the bank has disbursed billions of riyals in marriage loans, it has not been able to fulfill the purpose for which it was established. It is not providing real help to the citizens about to get married as it used to do in the past when the process was easy and the disbursement timely. Nowadays the bank is not able to perform in the same way as it used to in the past despite the fact that the citizens now need more financial help than their fathers and ancestors. Though the current generation does not have a quarter of the privileges their fathers and ancestors had, they are accused by the elders of being defeatists and escapists. They urge them to face the challenges and not to succumb to hurdles. But what will the current generation do when these difficulties are insurmountable. Imagine when the loan does materialize, the groom might either have: . Got married, had two children and imported a housemaid. In this case, he would need the loan to pay the first installment of the big car which he has bought to replace the smaller car which he had bought while he was a bachelor. . Had differences with his wife and would need the loan to divorce her and get him a new wife. . Played the stock market, if the market has improved by this time and regained its past glory, with the groom using his loan to buy more shares. In this case he will make a lot of money and will be the first citizen in modern history to repay the bank before the due date. . Had died before the four years have passed. The irony is that the death of the loan taker will not affect the long line of others waiting to obtain marriage loans. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Battle won but war continues: Yudhoyono
http://www.smh.com.au/world/battle-won-but-war-continues-yudhoyono-20090918-fvdk.html Battle won but war continues: Yudhoyono TOM ALLARD September 19, 2009 INDONESIA'S President, Susilo Bambang Yudhoyono, has vowed to tackle the ''ignorance and poverty'' that underpins terrorism as he cautioned that the death of the terrorist leader Noordin Mohammed Top did not mean the scourge of violent extremism was finished. As militants on jihadist websites quickly declared Noordin and the three others who died alongside him martyrs, the vast majority of Indonesians were delighted by the demise of the man who has terrorised the country for seven years. Noordin's death occurred a day before Indonesians celebrated one of Islam's most important annual holidays, Idul Fitri, also known as the ''Day of Victory''. But Dr Yudhoyono was not declaring outright victory, even if the terrorist threat had been ''seriously reduced'' with Noordin's death. ''Paralysing [Noordin's cell] just means we have won a battle, but, by prevention, we will win the war against terrorism,'' he said. ''We have to save our country, our people, our community and our young generation from the temptation to involve themselves in terrorism.'' He said this was cause for an acceleration of spending on education, both formal and religious. Indonesian counterterrorism officials have said that the country is planning a campaign to stop radical Islamic preachers advocating a distorted view of Islam that says mass casualty attacks on civilians are a justified response to the perceived injustices faced by Muslims. The Ministry of Religion is working with Islamic scholars to develop a religious rebuttal of interpretations of verses in the Koran used to justify terrorism. Noordin was blamed for masterminding a string of attacks across Indonesia, including the bombings of the J.W. Marriott Hotel in 2003, the Australian embassy in 2004, in Bali in 2005 and July's twin hotel blasts in Jakarta. He also attended early planning meetings that led to the first Bali bombings in 2002. He had evaded capture on numerous occasions but police said on Thursday that fingerprint analysis showed he was one of the four men killed in a raid on a house near the Central Java city of Solo. More accurate DNA analysis is expected to be released today.. Ordinary Indonesians celebrated the demise of Noordin, who was born in Malaysia but came to Indonesia to wage his violent jihad. ''This is a sweet gift for Indonesia,'' said Denys Cahyadi, who runs a small business-card shop. ''Syukur Alhamdulillah [thanks and praise be to God], as the Muslims say it,'' said Nyoman Ayu. ''We, the Balinese, are relieved he's dead.'' But the radical website Muslim Daily News said the four dead militants would ''reach their glorious space with Allah as syuhada [martyrs] on this holy month''. A comment posted on the website inilah.com called for revenge. ''We will avenge them,'' it said. ''Jihad is not a game of chess, King is dead and game over. The Emir [Noordin] is dead. Jihad continues. Winning and losing will alternate.'' Tom Allard is the Herald's correspondent in Jakarta [Non-text portions of this message have been removed]