Pesan Terakhir : In memoriam Ayah Suara mesin tram di kesunyian pagi, setiap hari tanpa henti, melaju di alas rel tram seperti sel jaringan dalam tubuh, dirasakannya tergerak maju,
Ada yang tak bisa diketahui sebelumnya, untuk mengetahui kebahagiaan di masa lalu, bukan kebencian yang di perbuat dalam beberapa dekade, tak ada cinta kasih yang bisa ditemukan pada peristiwa itu. Aah...cinta tak bersalah, kadang kehilangan, bila ada ketegangan aliran listrik, terus mengalir tanpa resah. Rasa takut berkesinambungan, diciptakan oleh imajinasi, dalam gairah untuk menumpuk debu. Luka lama tak bisa terbakar mentari, sampai pada akhir musim hujan di gubuk kampung halaman, terlihat para monyet berceloteh di pohon-pohon, Ketika kepergiannya dinanti, kelancaran waktu berganti hari, namun tak kunjung tiba, di setiap perjalanan ingatan ditemukan kembali, lalu disusun daur ulang sebagai kenangan suci. Lahir ke mati tak bisa dibatalkan, kehidupan membuat ruang di hati, bagaikan perjalanan tram listrik memercik api, terperangkap di antara jalur rel dan aspal, selama dalam prosesnya tak mungkin menghilangkan makna hidup. Rasa terbawa langkah kaki menjejak harapan baru, seperti bayangan wayang kulit di balik tirai kain kafan, yang menyelimuti gumpalan seperti anggota tubuh, terlukis dalam sosok gambar berbingkai di perantauan, tanpa kehilangan daya ingatan, meninggalkan pesan terakhir Mentari terbit Kegelapan memudar Bunga merekah Cahaya berkilauan Terdengar kicau burung MiRa - Amsterdam, 13 Maret 2010 Bunga Wijaya Kusuma - Amsterdam 1986 Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://sastrapembebasan.wordpress.com/ [Non-text portions of this message have been removed]