http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=332518&kat_id=319
Minggu, 04 Mei 2008

Hidup Penuh Shalat 
Oleh: Anwar Holid 


Boleh jadi kaum Muslim tak perlu lagi dinasihati perihal shalat. Sebagai tiang 
agama dan kewajiban pertama setelah seseorang bersyahadat, shalat merupakan 
ibadah luar biasa yang tiada bandingannya. Bahkan shalat wajib haram 
ditinggalkan oleh seorang Muslim dalam keadaan apa pun sebelum dirinya 
meninggal dunia. Wajar bila kita mudah menemukan stiker berbunyi begini: 
Dirikanlah shalat, sebelum kamu dishalatkan. 
Bila sesama Muslim bertemu, salah satu pertanyaan yang terucap dalam obrolan 
ialah, "Kamu sudah shalat belum?" Bahkan saking khas Islam, sebagian kaum 
Muslim menolak memadankan shalat dengan istilah "sembahyang."
Lepas bahwa shalat merupakan bagian utama Islam, ternyata khazanahnya lebih 
kaya dari yang saya sangka. Ini terbukti dari Kamus Shalat karya Dr Muhsin 
Labib MA (Arifa, 2008). Dalam kamus tersebut ragam shalat begitu banyak, bahkan 
boleh jadi sebagian besar di antaranya merupakan sesuatu yang baru dan 
mengayakan umat Islam. Penulis menghimpun 200 macam shalat, mulai dari shalat 
wajib dan sunah yang tentu saja sudah dihayati kaum Muslim, hingga shalat untuk 
berbagai keperluan khusus (misal shalat ketika sakit atau di kendaraan), juga 
yang dilakukan oleh para imam Ahlul Bayt. Khazanah sumber yang digunakan pun 
komprehensif, mengambil kekayaan lima mazhab, ditambah berbagai kitab dan 
catatan rujukan. 
Fikih Ja'fari mendapat perhatian besar di kamus ini, misal dengan menekankan 
bahwa shalat jenis tertentu hanya ada dalam fikih tersebut. Misal shalat 
Isti'jar, yang dilakukan untuk menunaikan shalat wajib yang ditinggalkan 
seseorang ketika dia masih hidup. Shalat ini dilakukan berdasar perjanjian 
antara pelaku shalat yang disewa dengan orang yang memberi wewenang kepadanya 
(hlm 83). Sebaliknya, fikih Ja'fari tak memberlakukan shalat Muharamah, yakni 
waktu yang diharamkan melakukan shalat, antara lain sesudah Subuh, sesudah 
Ashar sampai terbenam matahari sampai waktu Magrib (hlm 179).
Dari kamus ini kaum Muslim akan tahu betapa ajaran Islam tampak 
sebentar-sebentar memaklumkan shalat untuk segala macam kesempatan. Ada shalat 
mengharapkan kebebasan dari penjara, memohon jodoh, bahkan shalat lapar. Jelas 
ini menunjukkan betapa shalat mendapat keistimewaan sebagai pilihan cara 
beribadah. Ia lebih dari sekadar ritual dan rutinitas, dan juga mengandung 
hikmah yang boleh jadi berkembang terus sesuai kecenderungan zaman. Shalat 
bukan sekadar gerakan tertentu dengan khasiat tertentu. Ia merupakan wasiat 
terakhir Nabi Muhammad SAW bagi umat manusia yang memiliki banyak aspek.
Barangkali demi fokus mengeksplorasi pada jenis shalat, Kamus Shalat kurang 
menggali aspek seputar shalat, misal pra-shalat, adzan, rukun shalat, sujud 
sahwi, doa qunut, termasuk bersuci (thaharah). Padahal, aspek tersebut 
merupakan sesuatu yang menyatu dalam ibadah shalat. Boleh jadi penulis 
beranggapan hal-hal seperti itu sudah diketahui Muslim sejak awal, jadi 
diabaikan. 
Saya pernah dapat spam yang mengibaratkan shalat itu merupakan jadwal 
keberangkatan pesawat. Bila terlambat satu menit saja, pesawat sudah terbang 
meninggalkan kita. Tiada maaf bagi orang meski ia punya tiket terbang, dan 
tiket itu akhirnya usang, tak bisa diuangkan, sementara pemegangnya diam di 
tempat. Mereka malas menunggu orang yang barangkali terlambat karena menolong 
nenek-nenek keserempet motor ugal-ugalan. Toleransinya nol. Kesalahan ada di 
pihak yang terlambat. Karena itu tunaikanlah shalat tepat waktu, siapa tahu 
kita terlambat mengerjakan sedetik saja gara-gara didahului kedatangan malaikat 
Izrail. Kalau sudah begitu fatal, kita kalah selangkah mengerjakan amal baik.
Saya juga pernah menerima kiriman tentang Imam Ja`far Ash-Shaddiq yang berkata, 
"Bila terdapat sungai kecil di rumah seseorang di antara kalian yang dipakai 
untuk mandi lima kali dalam satu hari, apakah badannya akan tetap terkena 
kotoran? Sesungguhnya permisalan shalat adalah sama dengan permisalan sungai 
kecil tersebut. Orang yang mendirikan shalat wajib akan menanggalkan 
dosa-dosanya, selain dosa yang mengeluarkan dia dari keimanan yang dia 
percayai" (Biharal-Anwar, jilid 82, hlm 236).
Kalau begitu ceritanya, habis alasan untuk menghindari Dia: Dalam keadaan sulit 
atau lega, seorang Muslim harus tetap bertemu Tuhan. Mau dalam keadaan babak 
belur atau jengkel, difitnah, dijelek-jelekkan, kalah, apalagi berdosa... 
Muslim harus kembali menunaikan shalat. Muslim diharamkan cari alasan 
menghindari shalat. Meninggalkan shalat itu toleransinya nol. 
Membolak-balik Kamus Shalat, saya bukan lagi mendapat satu-dua spam tentang 
keutamaan shalat, melainkan khazanah yang amat luas perihal shalat dari 
berbagai sumber Islam. Keluasan ilmu penulisnya sungguh merupakan kekayaan yang 
patut dihargai sepantas mungkin.
Dengan mendirikan shalat wajib saja, mestinya setiap Muslim bisa menebar 
kebaikan dan mencegah perbuatan keji dan munkar. Apalagi bila mendirikan 
berbagai shalat yang ada dalam kamus ini untuk berbagai aspek kehidupan. 
Terbayang betapa shalat jelas merupakan batas pembeda antara seorang Muslim dan 
kafir. 


      
____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and 
know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.  
http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke