Pada saat Amrozy dkk, para terpidana mati Bom Bali mulai menghitung hari untuk menjalani eksekusi di depan regu tembak, Catatan Pinggir GM, Majalah Tempo Edisi. 37/VII/07 - 13 April 2008: "Fitna" sangat pantas untuk disimak kembali. Seperti kita ketahui Fitna adalah sebuah film dokumenter singkat yang dibuat Geert Wilders, politikus ultra-kanan Belanda untuk melampiaskan kebenciannya kepada Islam, dan apapun yang berhubungan dengan Islam, yang membuat dirinya "berkibar."
"Benci memang bersifat substraktif. Benci membuat pelbagai hal jadi ringkasdan membuat sang pembenci tegas, jelas, menonjol. Benci adalah advertensi," antara lain tulis GM di Capingnya itu. Tetapi kita tahu kebencian atau sejenis bukan begitu saja turun dari langit. "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" pekik Imam Samudra sambil meninju-ninju udara, bangga dan gagah serta merasa telah melakukan jihad fi sabilillah, tatkala hakim menjatuhkan hukuman mati atas perbuatannya menghilangkan nyawa sekitar 200 jiwa, dan beberapa di antaranya yang jadi korban itu ada yang beragama Islam. Dan ketika wartawan menanyakan hal itu kepadanya, dengan enteng dan ringkas dia menjawab, "Mereka itu mati syahid,". Tetapi bagaimana dengan orang-orang orang-orang non-muslim, termasuk orang-orang Bali yang beragama Hindu, yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepadanya dan kepada Islam agama yang dianutnya, dan seperti yang dia pikirkan, agama yang sedang dia "perjuangkan", tanpa terpikir sedikitpun terpikir olehnya, bahwa orang-orang Bali, orang-orang Australi, Amerika dan lain tidak pernah memesan untuk dilahirkan sebagai orang Bali, orang Australi dan Amerika. Bahkan mereka tidak pernah memesan untuk lahir sebagai non-muslim. Semuanya itu kehendah Allah SWT, Sang Maha Pencipta, yang seperti Firman-Nya sendiri, tidak satupun yang Ia ciptakan, sesuatu yang bersifat sia-sia. Tetapi seperti dicatat sejarah, kebencian tidak pernah mencapai hasil seperti yang diinginkan para penyebarnya. Penulis resensi "Fitna" dalam Het Parool---seperti dikutip GM dalam kolomnya---konon menyatakan, setelah membandingkan film itu dengan Quran secara keseluruhan, "Saya lebih suka bukunya (Quran, pen) ." Sang penulis resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilders hanya memilih ayat-ayat Quran yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Quran tak hanya deretan pendek petilan itu. Dan tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri. "Tapi Wilders tak hanya sesat di situ," lanjut GM. "Ia juga salah di tempat yang lebih dasar: ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam dengan mulut yang penuh apimereka itulah yang mengkonstruksikan Quran hingga jadi sehimpun kata yang berbisa. Ajaran tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak jarang membentuk ajaran." "Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum "Islamis" juga yakin, ajaranlah yang mampu membentuk manusia. Dan seperti Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk agenda kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka tak mengacuhkan konteks sejarah ketika sebuah ayat lahir," Lanjut GM. Dari uraian GM, tersebut kita lebih dapat memahami perbuatan keji yang dilakukan Amrozy dkk, yang mempunuh orang-orang yang tidak bersalah seperti membunuh cacing saja. Dan betepa substraktif dan---sekaligus---dungunya, menisbatkan perilaku Amrozy dan Amrozy- Amrozy lainnya kepada lebih dari semiliar penghuni bumi yang hidup tenteram dan damai dengan keyakinan mereka. Wassalam, Darwin Fitna Kita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi advertensi. Jika tuan teriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar tuan kepada sekelompok manusiadengan teriakan yang cukup kerastuan akan menarik perhatian orang ramai. Tuan bahkan akan dapat dukungan. Geert Wilders tahu betul hal itu. Dalam umur 44, politikus Belanda ini adalah sosok yang cocok bagi zaman yang celaka sekarang. Tiap kali ia mencaci maki orang imigranpara "non-pribumi" muslim yang hidup di Negeri Belandaia dengan segera tampak mumbul seperti balon jingga di langit Den Haag. Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengahan Februari 2007, inilah yang dikatakannya: "Jika orang muslim ingin hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan membuang setengah dari isi Quran." Katanya pula: "Jika Muhammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstremis, lalu diusir ." Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat Wilders sebagai "politician of the year". Para wartawan surat kabar yang meliput parlemen memuji kemampuannya mendominasi diskusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan ringkasnya yang pas waktu. Ucapan dengan abab yang panas dan bau tentu. Demikianlah Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk tangan karena benci memperoleh tempat yang strategis. Pada awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh digorok dan ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Islam, Mohammad Bouyeri, yang menganggap korbannya layak dibinasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah penyebar kebencian yang dibalas dengan kebencian. Tak ayal, dukungan melimpah ke partai yang dipimpin Wilders. Sebuah jajak pendapat mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa memperoleh 29 dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlangsung setelah pembunuhan yang mengerikan itu. Kini bisa diperkirakan film Fitna yang dibuatnya akan membuat Wilders lebih berkibar-kibarterutama jika benci yang ditiup-tiupkannya disambut, jika orang-orang Islam meledak, mengancam, atau berusaha membunuhnya. Wilders bahkan memperoleh sesuatu yang lebih: bila kekerasanlah yang terjadi, Fitna, yang ingin menunjukkan betapa brutalnya ajaran Islam, akan dikukuhkan. Saya menonton film ini di Internet. Saya tak menikmatinya. Isinya repetitif. Apa maunya sudah dapat pula diperkirakan. Dimulai dengan karikatur terkenal dari Denmark, karya Kurt Westergaard itugambar seorang berpipi tambun dengan bom di kepala sebagai sorban hitam, yang dikesankan sebagai "potret" Nabi Muhammadfilm ini adalah kombinasi antara petilan teks Quran dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih membacakan ayat yang dimaksud, dan klip video tentang kekerasan atau kata-kata benci yang berkobar-kobar. Ayat 60 dari Surat Al-Anfal yang ditampilkan pada awal Fitna, misalnyaperintah Allah agar umat Islam menghimpun kekuatan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuhdiikuti oleh potongan film dokumenter ketika pesawat terbang itu ditabrakkan ke World Trade Center New York, 11 September 2001. Kemudian tampak pengeboman di kereta api di Madrid. Setelah itu: seorang imam yang tak disebutkan namanya bangkit dari asap, menyatakan: "Allah berbahagia bila orang yang bukan-muslim terbunuh". Pendek kata, dalam Fitna, Quran adalah buku yang mengajarkan khotbah kebencian yang memekik-mekik dan tindak biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De Volkskrant: Quran, baginya, adalah "buku fasis" yang harus dilarang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein Kampf Hitler. "Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan." Salahkah Wilders? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool konon menyatakan, setelah membandingkan film itu dengan Quran secara keseluruhan, "Saya lebih suka bukunya." Sang penulis resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilders hanya memilih ayat-ayat Quran yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Quran tak hanya deretan pendek petilan itu. Dan tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri. Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat yang lebih dasar: ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam dengan mulut yang penuh apimereka itulah yang mengkonstruksikan Quran hingga jadi sehimpun kata yang berbisa. Ajaran tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak jarang membentuk ajaran. Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum "Islamis" juga yakin, ajaranlah yang mampu membentuk manusia. Dan seperti Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk agenda kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka tak mengacuhkan konteks sejarah ketika sebuah ayat lahir. Benci memang bersifat substraktif. Benci membuat pelbagai hal jadi ringkasdan membuat sang pembenci tegas, jelas, menonjol. Benci adalah advertensi Wilders dan iklan para imam dengan demagogi "Islam". Itulah sebabnya Wilders salah tapi dibenarkan. Ia salah, bila ia hendak menunjukkan hubungan antara Surat Al-Anfal ayat 39 dan pemenggalan leher wartawan Eugene Armstrong menjelang akhir film. Tapi bukankah para algojo itu melakukannya karena merasa mengikuti firman Tuhan? Apa mau dikata: inilah zaman ketika firman berkelindan dengan fitnah, ketika yang sakral bertaut dengan yang brutal. Kita hidup pada masa ketika Jonathan Swift, satiris penulis Gulliver's Travels dari abad ke-17 itu, terdengar kembali arif dan sekaligus menusuk: "Kita punya agama yang cukup untuk membuat kita membenci, tapi tak cukup untuk membuat kita mencintai ." ~Majalah Tempo Edisi. 37/VII/07 - 13 April 2008~