http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=85640&Itemid=71

Wednesday, 06 May 2009 09:00 WIB 

     
      Curhat menyengat Kalla 

      R FERDIAN ANDI R


      M. Jusuf Kalla 'curhat'. Dari curahan hatinya itulah, terungkap, 
hubungannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin pemerintahan, 
tidaklah selalu mulus. Kadang, ada juga saat dimana Kalla merasa dirinya jadi 
bumper.

      Slogan 'bersama kita bisa' serta sebutan dwitunggal terhadap pasangan 
SBY-JK sepertinya hanya menjadi catatan sejarah bagi keduanya saja. Pernyatan 
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar perihal peran 
dirinya dan Partai Golkar menjadi bumper pemerintah seperti membuka tabir 
misteri relasi SBY-JK selama ini.

      "Dalam hal kenaikan BBM dan impor beras, banyak teman-teman yang tidak 
berani muncul di depan media massa. Terpaksa saya lagi untuk tampil di depan 
untuk menjelaskan. Saya bilang, kalau memang mau demo, ya demolah. Akan tetapi 
jika tidak mau naik (BBM), akibatnya begini-begini," katanya. Menurutnya, 
sebagai pemimpin, dia harus berani mengambil risiko.

      Memang jika menilik beberapa peristiwa penting di pemerintahan, JK tak 
jarang muncul ke publik di saat-saat sulit. Dialah yang berhadapan dengan 
publik ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), menjelaskan 
program konversi minyah tanah ke gas, program bantuan langsung tunai (BLT). 
Program-program tersebut jelas bukan kebijakan yang populis.

      Ironisnya, setelah program-program tersebut berjalan dengan lancar, 
banyak pihak yang mengklaim sebagai kisah suksesnya. Bahkan, mereka 
mengeksploitasi secara massif dan menjadi salah satu penentu kesuksesan.

      Jelas pernyataan JK memancing reaksi beragam: ada yang mengamini, ada 
pula yang menyangkal. SBY sendiri menyikapi pernyataan JK cukup diplomatis. 
Menurut dia, dirinya dan JK telah bersepakat untuk tidak saling menyerang dalam 
kontestasi pilpres.

      Partai Demokrat bersuara sama. Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarif Hasan 
juga mengklarifikasi tuduhan JK. Ia juga menyebut, Partai Golkar dan Partai 
Demokrat di parlemen selama ini membangun kebersamaan. Namun, sambung Syarif, 
tak jarang pula terdapat perbedaan kebijakan dalam mendukung keputusan 
pemerintah.

      "Misalnya hak angket, PD nggak setuju, tapi ternyata ada anggota dari 
Fraksi Golkar yang ikut tanda tangan hak angket tersebut," katanya memberi 
contoh. Hak angket yang dimaksud Syarif yaitu tentang kenaikan harga BBM. Satu 
anggota FPG, Yuddy Chrisnandi setuju hak angket, sedangkan anggota FPG lainnya 
tidak setuju.

      Pernyataan JK hakikatnya tak hanya ditujukan ke Partai Demokrat dan SBY. 
Namun ke seluruh peserta koalisi pemerintahan SBY-JK. Peserta koalisi lainnya 
seperti PKS, PAN, PKB, PBB, harusnya tersengat dengan pernyataan JK. Toh, 
nyatanya partai pendukung pemerintah tak kalah galak dengan partai oposisi di 
parlemen.

      Sepertinya, format koalisi SBY-JK 2004-2009 bakal terulang lagi dalam 
format koalisi yang kini tengah dirancang oleh beberapa partai politik. Menurut 
pengamat politik UI Arbi Sanit, koalisi pilpres yang dibangun saat ini rapuh. 
"Karena jangka pendek hanya untuk kepentingan pilpres dan parlemen dan 
menafikan ideologi," katanya.
      (amr/inilah)
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke