Salam Komunitas Utan Kayu mengundang anda dalam diskusi bulan Pebruari yang akan membedah buku "al-Tsabit wal Mutahawwil" karya penyair kelahiran Syria: Adonis (Ali Ahmad Said). Adonis lebih dikenal sebagai penyair, yang konon struktur bahasa dan makna dari puisi-puisinya ingin menyaingi Al-Quran. Adonis juga dituding murtad, berikut saya terjemahkan satu puisi Adonis yang sangat terkenal dan menjadi biang pemurtadan.
Adonis Bahasa Dosa (Lughatul Khati'ah) Aku bakar seluruh warisanku kukatakan: bumiku masih perawan, tak ada makam di masa mudaku aku melintas di atas Allah dan setan jalurku lebih jauh dari jalur tuhan dan setan ... Aku menyebrang melalui kitabku beriringan dengan badai yang terang benderang beriringan dengan badai yang hijau kemilau Aku berseru: tak ada lagi Sorga, tak ada Kejatuhan setelahku kuhapus bahasa dosa Terjemahan: Mohamad Guntur Romli Silakan hadir dan nikmati diskusi ini http://utankayu.org/in/index.cfm?action=detail&cat=event&id=130 Kamis, 21 Februari 2008, 19:00 WIB Diskusi Buku PERTARUNGAN KEMAPANAN DAN PERUBAHAN DALAM BUDAYA ARAB-ISLAM Narasumber: St. Sunardi. Diskusi Buku PERTARUNGAN KEMAPANAN DAN PERUBAHAN DALAM BUDAYA ARAB-ISLAM Adonis (Ali Ahmad Said), sastrawan Arab termasyhur saat ini, memiliki sebuah karya ilmiah yang monumental: al-Tsawâbit wal Mutahawwil (Yang Tetap dan yang Berubah). Dalam buku yang terdiri dari empat jilid iniLKiS Yogyakarta baru menerbitkan dua jilid pertama dengan judul Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-IslamAdonis menyajikan pembacaan yang sangat luas tentang pertarungan dua kubu di medan sastra, pemikiran, politik, dan budaya Arab-Islam. Kubu pertama adalah mereka yang ingin menguatkan kemapanan dengan berlindung di balik kekudusan dan kekuasaan teks agama untuk memaksakan satu versi tafsir yang sahih. Kubu kedua bergairah melakukan perubahan dengan menjadikan teks agama sebagai khazanah tafsir yang terus mengalami pembaruan dan penyesuaian, atau tak lagi menganggap teks agama sebagai sumber pengetahuan karena telah menggunakan akal sebagai landasan. Kubu pertama menggunakan kekuasaan politik (khilâfah) dan agama (sunnah, fiqh) untuk menihilkan capaian-capaian kreativitas (ibdâ), dengan menjadikan sastra sebagai perkakas bagi kekuasaan dan agama. Teks adalah tuan, sedangkan akal jadi pelayan; dan kedudukan sastra hanya sebagai hamba bagi agama, bukan agen kebebasan untuk mencipta. Sepanjang sejarah Islam, kubu kemapanan merupakan golongan mayoritas yang menindas kubu perubahan. Sebagai pembaca yang berpihak, sekaligus sastrawan yang mengidamkan capaian daya cipta, Adonis melakukan perlawanan dan pembongkaran terhadap kubu kemapanan. Walhasil, buku yang semula merupakan disertasi Adonis di Universitas St Joseph Beirut, Lebanon, ini kerap dituding sebagai karya seorang atheis khas Timurbukan tidak mengakui adanya Tuhan seperti di Barat, tapi tidak meyakini nabi dan agama. Diskusi ini akan menghadirkan narasumber St. Sunardi, Ketua Program Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang meraih gelar doktor dengan disertasi tentang novel-novel Naguib Mahfouz. Diskusi ini dilaksanakan di Teater Utan Kayu (TUK), Jl Utan Kayu No 68H Jakarta, dan tidak dipungut biaya sedikit pun. =============== Catatan Pinggir Adonis Seorang eksil adalah seorang yang ditundung. Ia hidup di luar negerinya sendiri, terusir, seperti puluhan orang Indonesia yang tak bisa pulang setelah 1965 karena paspor mereka dicabut tanpa dipastikan apa alasannya. Seorang tundungan pada dasarnya hidup dalam perpindahan yang belum sampai ke mana pun juga: di dalam dirinya tersemat sebuah negeri yang tak terlupakan namun harus ditinggalkan, sementara itu ia menemukan sebuah negeri lain yang kini jadi alamat tinggal namun bukan sebuah tempat pulang. Tak mengherankan bila ada yang retak di situ. Seperti ditulis dalam puisi Adonis, yang mengambil kiasan tokoh epos Yunani kuno, Odiseus, pendekar perang yang pulang dari Troya dan menempuh wilayah-wilayah yang ganjil dan mengancam: Namaku Odiseus datang dari negeri tanpa batas dipanggul orang ramai. Aku sesat di sini, sesat di sana dengan sajakku Dan kini aku di sini, cemas dan jadi alum tak tahu bagaimana tinggal tak tahu bagaimana pulang Adonis adalah Ali Ahmad Said, sastrawan yang lahir pada tahun 1930 di Al-Qassabin, dekat kota Lakasia, Suriah. Meskipun ia baru bersekolah ketika berumur 12, anak seorang petani yang juga imam masjid ini sudah belajar menulis dan membaca dari seorang guru desa. Pada 1944 ia masuk sebuah sekolah Prancis di kota Tartus dan lulus pada 1950. Di masa muda itu kegelisahannya sudah kelihatan: ia menerbitkan kumpulan sajak pertamanya dan ia dipenjara karena pandangan politiknya. Pada 1956 ia meninggalkan tanahairnya dan pindah ke Lebanon bersama istrinya. Sampai lebih 20 tahun ia tinggal dan jadi warga negara di tanah jiran itu, sampai perang saudara pecah dan tentara Israel memasuki Lebanon di tahun 1980-an. Di tahun 1986 Adonis pindah ke Paris. Saya akui bila saya dengar kata perbatasan, saya rasakan ia berubah jadi rantai yang berdencing dalam diri saya. Bila saya bayangkan ia dalam citra perang, dalam citra pagar kawat berduri, dan saya lihat bagaimana ia mulur memanjang ke dalam diri dan pikiran orang banyak sebagaimana ia meregang di atas tanah, rasa ngeri mencengkam saya dari segala penjuru. Itu kata-katanya di tahun 2001. Pada saat itu ia sudah mengatasi rasa ngeri-nya. Sebab ia menemukan dalam kata perbatasan sesuatu yang lain: bukan sebuah tembok atau ujung, melainkan sebuah jendela dan sebuah awal dari jalan lain, pengetahuan lain, pencarian lain, dan ikatan lain . Tundungan itu telah berubah jadi tampungan, bahkan kesempatan. Adonis punya argumen untuk itu, sesuatu yang menurut pendapatnya sudah tercantum dalam karya puisi lama Arab, yang menaruh pengertian tanahair bukan dalam kerangka geografis, melainkan dalam kaitannya dengan hakikat kemanusiaan: sebuah tanahair adalah tempat menumbuhkan kehormatan, seperti kata al-Mutanabi. Adonis bahkan mengutip kearifan Kalif keempat, Ali bin Abu Thalib: Tak ada negeri yang lebih patut bagimu ketimbang negeri lain. Tanah utama adalah yang melahirkan kamu dengan baik. Kutipan itu agak kurang pada tempatnya. Sebab tanah yang melahirkan dengan baik tak sepenuhnya dapat dengan pas ditemukan. Adonis sendiri mengatakan, dalam imajinasi orang Arab ada sebuah wilayah yang tak bisa diketahui; ia ada bahkan dalam negeri yang diketahui dan dihuni. Seakan-akan ada dua bagian, yang satu tampak dan yang lain tidak. Yang pertama diperintah oleh institusi, yang kedua oleh imajinasi. Yang terakhir ini kita kenal melalui mimpi, intuisi, imajinasi dan pengharapan, sedemikian rupa hingga ia seolah-olah penuh sesak dengan manusia yang tersembunyi, dalam bentuk jin, malaikat, penenung, pencinta, orang gila, dan petualang seperti Sinbad yang semua mencari yang baharu dan tak lazim. Identitas kota yang tak tampak dan terletak di lapis bawah ini seakan-akan berasal bukan dari awal atau akar, melainkan dari apa yang akan datangdari sebuah masa depan yang dicitakannya. Inilah kota yang mewujudkan pintu keluar yang dinamis, eksit dari diri sendiri ke pertemuan dengan sesuatu atau seseorang lain. Tampak bahwa sang penyairsudah tentu ia bagian dari penghuni kota di bawah, bersama pencinta, orang gila dan petualangmerayakan eksit, bukan esensi. Esensi berkait-an dengan apa yang disangka sebagai akar dan awal, masa lalu. Saya kira Adonis termasuk yang menampik esensialisme: ia tak percaya bahwa ada sifat Arab (atau sifat Timur, sifat Barat) yang hakiki, tak berubah, dan dapat dirumuskan. Ia lebih percaya kepada apa yang tak menetap, dan baginya, penderitaan Odiseuskalaupun terdengar sebagai sesuatu yang pedihjustru sesuatu yang heroik dan dipujikan: Meski kau pulang, ah, Odiseus meski kau terbendung ruang, dan pemandumu punah terbakar di parasmu yang kehilangan atau rasa ngerimu yang akrab kau akan tetap sebuah cerita kelana kau akan tetap di negeri yang tak berjanji kau akan tetap di negeri yang tak kembali Tapi bisakah kita hidup, juga sebagai orang tundungan, dalam eksit terus-menerus? Saya kira bisa. Namun saya merasa, dalam keadaan retakantara asal yang telah jadi nostalgia dan negeri yang tak berjanjiseorang tundungan justru bahkan tak dapat mengklaim seperti yang dinyatakan Adonis: membuat frontieryang sebenarnya memang berarti wilayah depanbukan lagi tapal batas. Ia sendiri pernah menulis: ke sebuah rumah yang tanahnya kubawa sepanjang kembara, kutundukkan kepalaku. Tiap wilayah depan selalu mengandung wilayah belakang, tiap pantai selalu punya pedalaman. Ketegangan antara keduanya bukanlah sesuatu yang mengasyikkan. Itulah sebabnya tundungan adalah peristiwa yang mengandung luka. Tiap eksit mengandung trauma. Adonis agak mengabaikan luka itu pada akhirnya. Tapi ia memang dapat memberi inspirasi bagi kegairahan di dunia para orang gila dan penenung dan Sinbad, tempat yang baharu dan tak lazim senantiasa dicari. Hidup akan mati berkali-kali hanya dengan institusi. Goenawan Mohamad TEMPO, Edisi. 47/XXXV/15 - 21 Januari 2007 --------------------------------- Never miss a thing. Make Yahoo your homepage. [Non-text portions of this message have been removed]