Salam...

Tulisan ini saya buat untuk merespon dan sekaligus menjawab kembali pertanyaan 
teman-teman dimilist parapemi...@yahoogroups.com , apakah sesungguhnya antara 
filsafat dan sains itu adalah dua hal yang berbeda, atau untuk yang lebih 
serius lagi apakah antara filsafat, sains dan agama itu adalah 3 hal yang 
berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali?

Mari kita lihat...
 
Kita mulai melilhat permasalahan ini dengan melihat situasi sains modren 
didunia barat. Didunia barat dewasa ini filsafat – khususnya metafisika - 
dianggap bukanlah sebagai sains. Sebagaimana yang dikatakan August Comte, bahwa 
filsafat dalam bentuk metafisika adalah fase kedua dalam perkembangan manusia, 
setelah agama yang disebut sebagai fase pertamanya.
 
Adapun yang disebut dengan fase ketiga atau fase yang paling modern dalam 
perkembangan manusia adalah sains yang bersifat positivistik ( yang dapat 
dilihat oleh indra lahir manusia ).
 
Dan karena sains merupakan perkembangan terakhir - fase ketiga- maka manusia 
modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya yang dianggap sudah kuno seperti 
fase agama –teologis- dan metafisika filosofis jika ingin tetap bisa dikatakan 
sebagai manusia modern.
 
Berbeda dengan apa yang terjadi dibarat, dalam tradisi ilmiah Islam filsafat 
tetap dipertahankan hingga kini dalam posisi ilmiahnya yang tinggi sebagai 
sumber atau basis bagi ilmu-ilmu umum yang biasa kita sebut sebagai sains, 
yakni cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan dunia empiris, dunia fisik..
 
Dalam tradisi Islam, Filsafat adalah induk dari semua ilmu yang menelaah ilmu 
rasional (aqliyyah) seperti metafisika, fisika dan matematika. Adapun ‘sains’ 
dalam tradisi ilmiah Islam adalah termasuk kedalam kelompok ilmu rasional 
dibawah ilmu-ilmu fisik, sehingga mau tidak mau sains harus tetap menginduk 
kepada filsafat, khususnya kepada metafisika filsafat. Alih-alih sains 
dikatakan terlepas dari filsafat sebagaimana yang disinyalir oleh 
August Comte, filsafat justru dipandang sebagai induk dari sains.
 
Para Filosof Muslim memandang bahwa terdapat sumber abadi dan sejati bagi 
segala apapun yang ada dijagad raya ini, yang pada gilirannnya akan dijadikan 
sebagai objek penelitian ilmiah. Sumber sejati ini penting dibicarakan untuk 
mengetahui asal usul dari objek apapun yang akhirnya kita pilih untuk diteliti, 
tak terkecuali objek-objek fisik. Tanpa sumber sejati seperti yang disebutkan 
diatas maka tidak mungkin ada apapun yang bisa kita jadikan sebagai objek 
penelitian kita.
 
Tuhan, itulah sumber sejati yang dimaksud, darimana segala sesuatu itu berasal. 
 
Dalam Islam, alam raya ( yang akan dijadikan objek penelitian oleh sains) 
disebut sebagai ayah/ayat  atau tanda-tanda Tuhan. Menurut Muhammad Iqbal, alam 
tak lain adalah medan kreativitas Tuhan. Oleh karena itu barang siapa saja yang 
meneliti dan mengadakan kajian terhadap alam semesta, maka sesungguhnya dia 
sedang melakukan penelitian terhadap cara Tuhan bekerja dalam penciptaan atau 
dalam bahasa yang lebih populer, maka sesungguhnya orang (sains) tersebut 
sedang melakukan penelitian tentang sunnatullah.
 
Dengan melihat apa yang dikatakan Muhammad Iqbal tersebut, maka seharusnya 
setiap orang yang mengadakan kajian dan penelitian terhadap alam maka 
seyogyanya makin bertambahlah kepercayaannya (imannya) kepada sang Pencipta 
(Tuhan) dan bukan malah sebaliknya seperti yang sering terjadi didunia barat 
dimana mereka malahan berusaha menyingkirkan Tuhan dari arena penelitiannya.
 
Selain sebagai basis metafisik ilmu (sains), filsafat juga bisa dijadikan 
sebagai basis moral bagi ilmu dengan alasan bahwa tujuan menuntut ilmu dari 
sudut aksiologis adalah untuk memperoleh kebahagiaan bagi siapa saja yang 
menuntutnya.
 
Filsafat, khususnya Metafisika adalah ilmu yang mempelajari sebab pertama atau 
Tuhan, yang menempati derajat tertinggi dari objek ilmu. Oleh karena itu sudah 
semestinyalah jika metafisika dijadikan basis etis peneletian ilmiah karena 
ilmu ini akan memberikan kebahagiaan kepada siapa saja yang mengkajinya.
 
Perlu kita ingat kembali, bahwa dalam tradisi ilmiah Islam, filsafat disebutkan 
sebagai sumber segala ilmu rasional (aqli) seperti matematika, fisika dan 
metafisika serta sub-devisi-sub-devisi mereka seperti :
 
Sub-devisi Matematika :
Aritmatika-Geometri-Aljabar-Musik-Astronomi dan Teknik.
Sub-devisi Fisika :
Minerologi-Botani-Zoologi-Anatomi-Kedokteran dan Psikologi
Sub-devisi Metafisika :
Ontologi-Teologi-Kosmologi-Antropologi-Eskatologi.
 
Maka dari itu, tidaklah mengherankan kalau filosof besar jaman dulu seperti 
Ibnu Sina dan Mulla Sadra menguasai bukan hanya metafisika filsafat tetapi juga 
seluruh cabang ilmu rasional dan sub-devisi-sub-devisinya. Tiba kepada kita 
sekarang ini, bagaimana mungkin kebanyakan dari mereka (orang barat) malah 
menyingkirkan induk ilmu (filsafat) itu dari sains yang jelas-jelas merupakan 
anak kandung dari filsafat iitu sendiri. 
 
 
 
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa telah terjadi hujatan dan 
penentangan yang begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan 
mengenai kehadiran filsafat ke dalam kajian/wilayah agama. Mereka mengatakan 
filsafat sangat bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
 
Apakah betul bahwa filsafat sangat bertentangan dengan agama?
 
Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama 
sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena 
pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, 
tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja 
yang menolak untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu 
adalah kafir, maka sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang 
sebenarnya kafir.
 
Diantara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan 
filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah 
karya khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan 
antara filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama 
sesungguhnya tidak ada pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru 
mewajibkan pemeluknya untuk belajar filsafat.
 
Jika filsafat mempelajari secara kritis tentang segala wujud yang ada dan 
merenungkannya sebagai petunjuk ‘dalil’ adanya sang pencipta dari satu sisi dan 
syari’ah pada sisi yang lain telah memerintahkan untuk merenungkan segala wujud 
yang ada, maka sesungguhnya antara apa yang dikaji oleh filsafat dan apa yang 
dianjurkan oleh syari’ah telah saling bertemu. Dengan kata lain bisa dikatakan 
bahwa mempelajari filsafat sesungguhnya telah diwajibkan oleh syari`ah.
 
Penekanan al’quran didalam surat 59 ayat 2 yang berbunyi : “Fa`tabiru ya uli al 
abshar” (Renungkanlah olehmu, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan 
(visi)) sesungguhya lebih kepada penekanan pentingnya untuk  menggunakan akal, 
atau gabungan antara penalaran intelektual (filsafat) dan penalaran hukum 
(syari’at).
 
Demikian juga surat 185 ayat 7 yang mengatakan :
 
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala 
sesuatu yang diciptakan Allah”
 
Juga adalah ayat yang menganjurkan supaya manusia menggunakan akal dan 
penalarannya untuk mempelajari totalitas wujud. Dengan demikian maka 
sesungguhnya syari`at telah mewajibkan kepada kita untuk menggali pengetahuan 
tentang alam semesta ini dengan penalaran. Namun demikian, untuk bisa melakukan 
penalaran yang benar maka disyaratkan seseorang itu harus mengetahui terlebih 
dahulu beberapa metode atau cara berpikiran yang logis dengan mempelajari ilmu 
logika supaya bisa melakukan pembuktian yang demonstratif.
 
Ibn Rusyd kemudian membandingkan kewajiban mempelajari ilmu logika sebagai alat 
untuk berfilsafat dengan kewajiban yang ditetapkan oleh para fuqaha untuk 
mempelajari katagori-kategori hukum yang termuat dalam ushul al-fiqh.
  
Ibn Rusyd menyatakan jika para fuqaha menyimpulkan kewajiban untuk memperoleh 
pengetahuan tentang penalaran hukum dari ayat “fa`tabiru ya uli al abshar”, 
maka alangkah lebih pantas jika ayat tersebut dijadikan sebagai dalil wajibnya 
untuk mempelajari pengetahuan rasional (rasional reasoning) bagi mereka yang 
ingin mengetahui Tuhan dan ciptaan-Nya.
 
Bagi mereka yang tetap ngotot mengatakan bahwa belajar filsafat tersebut adalah 
bid`ah, Ibn Rusyd mengatakan, “anggaplah filsafat itu bid`ah karena tidak 
terdapat dikalangan orang-orang Islam pertama (salaf). Tetapi apakah hal serupa 
tidak berlaku juga bagi studi penalaran hukum (ushul al-fiqh) yang tercipta 
juga setelah periode salaf. 
 
Bagaimana mungkin jika yang satu dikatakan tidak bid`ah tetapi yang lainnya 
dikatakan bid`ah padahal keduanya membicarakan penalaran  hukum dan penalaran 
rasional yang sama-sama diciptakan setelah periode salaf.

Salam,



Iman K.
www.parapemikir.com 
 


      New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke