Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 

--- On Thu, 3/25/10, gayatri mantra <dayugaya...@yahoo.com> wrote:

From: gayatri mantra <dayugaya...@yahoo.com>
Subject: OPINI :UU Pornografi harus di tolak!
To: "balipost" <balip...@indo.net.id>
Date: Thursday, March 25, 2010, 6:00 PM





UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI :  

KRIMINALISASI TUBUH, PEREMPUAN  

DAN GENOSIDA BUDAYA MASYARAKAT ADAT 

: Gayatri Mantra*

   

Mahkamah
Konstitusi akhirnya tidak mengabulkan pembatalan pemberlakuan Undang-Undang
Pornografi  (UUP) dan mutlak diberlakukan
di NKRI. Keputusan yang dibacakan Kamis 25 Maret 2010 tentu saja mengecewakan
masyarakat dan  Pemda Bali. Komponen
Rakyat Bali (KRB) sejak awal sejak dirancang hingga diberlakukannya UUP
tersebut telah berupaya keras melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk 
menolak
diberlakukannya UU Pornografi. Hingga kini, KRB masih konsisten dan mendesak 
Gubernur
Mangku Pastika untuk menyatakan sikap Pemda Bali menolak pemberlakuan UU
tersebut khususnya di daerah Bali. Penolakan juga terjadi di berbagai daerah
yang diwakilkan oleh jaringan masyarakat adat dan organisasi perempuan, dan
para aktivis HAM, praktisi yang bergerak dibidang seni, keagamaan, dan
pemerhati budaya. 

Mengapa Menolak UU Pornografi 

Penerapan UUP
diberlakukan dengan sejumlah asumsi-asumsi untuk melindungi moralitas bangsa
terutama perempuan dan anak-anak dari pornografi dan pornoaksi. Ada apa dibalik
wacana agung ini? 

 UUP harus ditolak karena mengkriminalisasi
tubuh dan budaya masyarakat adat. UUP mengatur moralitas dan etika umum
berdasarkan suatu pandangan agama dan budaya tertentu. Tafsir terhadap
nilai-nilai moralitas ini akan sangat didasarkan pada tafsir yang bersifat
subjektif. Undang-Undang ini bukannya melindungi perempuan menyudutkan bahkan
menegaskan ‘tubuh’ perempuan  sebagai
sumber penyebab bejatnya moral bangsa. Pandangan ini bersumber dari
asumsi-asumsi yakni perempuan harus membungkus tubuhnya rapat-rapat agar tidak
dilihat laki-laki dan tidak menimbulkan terjadinya pornografi dan pornoaksi.
Perempuanlah yang pada akhirnya akan terkena dampak pada pelaksaan UUP.  Tubuh 
dan perempuan telah dimanipulasi dan
diekploitasi untuk kepentingan politik  dalam narasi agung perlindungan 
‘moralitas
bangsa’. Seolah-olah  tubuh dan perempuan
jauh lebih berbahaya dari moralitas para koruptor yang menghisap kehidupan
masyarakat Indonesia dan (hingga di penjarapun) masih mendapat keistimewaan
hidup, meski menari-nari di atas penderitaan rakyat.

UUP harus
ditolak karena tidak mengakui Kebhinnekaan Masyarakat NKRI yang terdiri dari
berbagai etnis (suku) dan agama. Pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara
termanifestasi dalam berbagai praksis kebudayaan. Negara, tidak bisa  secara 
otoritarian mengintervensi kehidupan
budaya khususnya dari sistem keyakinan dan budaya masyarakat adat, melulu dari
cara berpakaian (kostum). Masyarakat adat telah memiliki rambu-rambu moralitas
dan etika yang diterima anggotanya sesuai dengan daerah masing-masing.
Intervensi negara hanya diperlukan, jika terjadi pelanggaran dan pemaksaan
terhadap nilai moralitas tersebut melalui 
penegakan hukum dan sejumlah ayat-ayat hukum yang telah ada sebelumnya,
bukan ditafsir dengan menggunakan ayat-ayat agama tertentu.  

Apa jadinya jika
keyakinan sebuah agama dijadikan dasar mengukur moralitas kehidupan berbangsa
dan bernegara yang pluralistik? Apa jadinya jika UUP memberikan ruang bagi
orang-orang sipil mengambil alih tugas aparatus negara dengan merubah dirinya
menjadi  polisi-polisi moral? Apa jadinya
jika, milisi-milisi  ini dipersenjatai
dengan UUP dan (benar-benar bersenjata) 
menjadi  teroris dalam ranah
kehidupan privat masyarakat, hingga mencampuri persoalan seksualitas
individu-individu secara arbitrer? Apa jadinya jika konsepsi tentang tubuh,
produk-produk estetika dan spiritualitas selalu ditafsirkan dengan pikiran
porno dan birahi aparatus untuk mengkriminalisasi warga negaranya?

Pemberlakuan UUP
ini jelas sangat diskriminatif dengan menggunakan pakaian sebagai indikator
ukuran moralitas bangsa, jastifikasi  untuk  menghancurkan
sistem peradaban suku-suku bangsa dan budaya masyarakat adat di wilayah NKRI.  
Penyeragaman budaya merupakan kejahatan
kemanusiaan karena  UUP mengancam
disintegrasi melalui pemaksaan nilai moralitas kepada masyarakat dan agama yang
berbeda.  

Sistem
keyakinan, agama-agama tradisional yang termanisfetasi dalam banyak produk
kesenian dan artefak kebudayaan, tersingkir dan diberangus atas nama hukum.
Acintya yang telanjang, Lingga-Yoni, Yesus yang bertelanjang dada, pakaian
kebesaran dan kehormatan suku-suku bangsa di berbagai daerah, berbagai produk
kebudayaan berkaitan dengan keagamaan dan ritual, memang dalam  UUP 
mendapat wacana  “pengecualian”. Hal
ini justru menjadi bukti bahwa UUP ini sangat tidak konsisten dan memungkinkan  
terjadinya multitafsir yang menyesatkan.

Tujuan yang
terbesar dari UUP pastinya adalah mengkriminalisasi tubuh dan perempuan,
penghancuran peradaban dan disintegrasi bangsa. Semangat dari UUP adalah
menaikkan libido atau hasrat besar untuk Genosida (pembasmian etnis dan
budaya), semangat untuk menghukum dan mengirim warga negaranya ke
penjara-penjara yang sudah kelebihan penghuni. Semakin banyak warga negara yang
dipenjarakan jelas menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menyejahterakan
rakyatnya dengan membuat mereka tidak produktif dan semakin miskin. Hal ini
jelas bertentangan dengan pedoman pembentukan Undang-Undang yang harus memenuhi
asas kesejahteraan.

Jelas, UUP
bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan Pancasila, yang mengakui Indonesia
sebagai bangsa yang  berbhinneka, multikulturalisme
dan mengakui Hak Asasi Manusia. Padahal pada pasal 28 dan 32 UUD 1945 telah
menjamin kebudayaan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. UUP juga 
bertentangan
dengan pasal 6 UU no.10 tahun 2004 tentang perlunya berbagai asas:
pengayoman,kemanusiaan, kekeluargaan, kenusantaraan,  Bhinneka Tunggal Ika, 
keadilan, kesamaan
kedudukan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan
keselarasan. Pengaturan wilayah moral, adat, dan agama sebaiknya tidak
diintervensi negara karena batasannya sangat relatif, dan batasannya tidak
tegas. 






      


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke