http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=10266

2009-09-05 
Gadaikan Seprai demi Sepiring Nasi


Wahyu Mandoko

Petugas Pegadaian memeriksa sejumlah motor yang memenuhi gudang kantor 
Pegadaian Purwokerto, Jawa Tengah. Tidak hanya perhiasan, warga juga 
menggadaikan barang-barang seperti sepeda motor, kain, dan barang elektronik 
untuk memenuhi kebutuhan menjelang Idul Fitri.

antor Pegadaian acap menjadi andalan warga masyarakat, terutama mereka yang 
berada di tataran menengah ke bawah, untuk mendapatkan dana segar dalam waktu 
cepat. Asal mereka memiliki barang berharga sebagai jaminan, uang yang 
dibutuhkan pun akan dapat diperoleh hanya dalam hitungan menit.

Namun, bagi kalangan menengah bawah, masa pinjam maksimal empat bulan yang 
diberikan kantor Pegadaian, terkadang terasa tiba sama cepatnya seperti saat 
mereka menghabiskan uang tersebut untuk menopang kebutuhan hidupnya.

Hal itulah yang dirasakan Suminah. Dia mengaku tidak pernah bisa menebus 
perhiasan emas yang telah digadaikannya. Padahal dari menggadaikan cincin 
seberat tiga gram dan satu gram anting anaknya, dia hanya meminjam uang sekitar 
Rp 700.000. "Uang itu untuk bawa anak saya yang sakit tipes. Boro-boro mau 
nebus barang saya kembali, untuk melunasi biaya rumah sakit anak saya saja, 
kemarin saya kembali pinjam ke tetangga," ucapnya lirih.

Ratinah, janda tanpa anak yang bermukim di Kalideres terpaksa menggadaikan 
satu-satunya anting yang dimiliki agar bisa mendapatkan menu berbuka puasa 
seperti yang diinginkannya. Dari menggadaikan antingnya seberat setengah gram, 
dia memperoleh pinjaman hampir Rp 100.000. "Uang itu untuk makan, biasanya sih 
saya makan suka dikasih tetangga. Tapi karena kemarin saya pengen makan kolak 
buat buka puasa, maka saya gadaikan anting, dapet Rp 100.000. 

Lumayan buat beli kolak dan beras untuk sahur. Abis malu kalau setiap hari 
selalu nunggu kiriman tetangga," katanya.

Sedangkan bagi Koko, kantor Pengadaian menjadi harapan bagi dia untuk 
mendapatkan dana guna menambah modal usahanya sebagai penjual kue dadakan. 
Menjelang Lebaran, dia berniat berdagang kue lebaran di lapak kaki lima Pasar 
Palmerah, Jakarta Barat. "Saya butuh modal yang tidak sedikit, makanya mau 
gadaikan motor," imbuhnya.

Asisten Manager Operasional Pengadaian Cabang Tanjung Duren Dody Haryono 
mengatakan, kantornya relatif sepi sejak awal Agustus lalu. 

Dana pengadaian yang terserap masyarakat pada bulan lalu hanya mencapai Rp8,1 
miliar. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan jumlah dana yang terserap 
masyarakat pada Juli yang mencapai Rp 9,7 miliar.

Dia mengungkapkan, sebagian besar nasabah yang menggadaikan barang berharga 
miliknya akan menebus kembali. Tidak lebih dari dua persen yang tidak mampu 
menebus kembali barangnya. "Biasanya kalau sampai pada masa berakhirnya akad 
yang lamanya sekitar empat bulan mereka belum mampu menebus barangnya, maka 
mereka akan memperpanjang sampai akhirnya mampu menebus kembali barangnya. 
Sekitar 99 persen nasabah kami pada akhirnya menebus kembali barangnya," 
tuturnya.

Dia menyebutkan, 60 persen dari mereka yang menggadaikan barangnya 

membutuhkan dana untuk modal berdagang. Sedangkan 30 persen selebihnya untuk 
biaya sekolah dan kesehatan, dan untuk keperluan konsumtif hanya sepuluh 
persen. "Karena jumlah nasabah yang datang untuk menggadaikan barang lebih 
banyak untuk mendapatkan modal usaha, maka mereka pun baru bisa mengembalikan 
dana yang dipinjamnya setelah usahanya berkembang. Sedangkan bagi masyarakat 
yang tak memiliki usaha, biasanya mengembalikan pinjamannya setelah mendapatkan 
gajian. Tapi jumlah ini sangat sedikit," paparnya.

Staf kantor Pegadaian cabang Palmerah, Jakarta Barat, Adit mengemukakan, 
transaksi selama Ramadan hanya mencapai Rp 250 juta per hari. Jumlah tersebut 
lebih kecil dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya. "Sekarang ini lagi sepi," 
ujarnya.


Sprei dan Kain 

Di tengah kemajuan ekonomi yang dinikmati sebagian kalangan, masih banyak warga 
masyarakat yang amat membutuhkan bantuan pinjaman uang dengan menggadaikan 
perlengkapan rumah tangga sekadar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, 
terutama selama bulan puasa dan menjelang Lebaran nanti. Bahkan ada di antara 
mereka yang terpaksa menggadaikan jarit (kain panjang) dan sprei.

Itulah potret masyarakat kecil yang melanda sebagian kampung di kota Surabaya, 
Jawa Timur. Mereka tidak menggadaikan barang yang lebih berharga, seperti 
komputer, perangkat elektronik, telepon selular dan perhiasan karena tidak 
memiliki barang yang telah menjadi gaya hidup masyarakat moderen. 

"Saya menggadaikan sprei karena tidak memiliki uang untuk makan," kata Sakem, 
perempuan paruh baya warga Putat Jaya, Surabaya, kepada SP di lokasi pegadaian 
kampung, dekat Pasar Jarak, Surabaya, kemarin.

Sejumlah ibu rumah tangga lainnya juga hendak meminjam uang dengan menggadaikan 
kain panjang. Sebuah sprei baru dihargai Rp 15.000, sedangkan harga gadai kain 
panjang baru Rp 7.500 per potong. 

Bunga gadai kampung dipatok 20 persen per bulan. Jadi, jika harga gadai sprei 
Rp 15.000, bunganya Rp 3.000 per bulan. Bunga tersebut lebih besar dibanding 
angka yang dipatok Perum Pegadaian, yakni tiga persen dari harga gadai.

Pengamat sosial MH Suwandi mengatakan, warga menggadaikan sprei dan kain 
panjang menunjukkan potret yang sesungguhnya, bahwa masih ada masyarakat miskin 
di perkotaan. "Mereka menggadaikan barang jenis itu karena tuntutan perut," 
jelasnya. 

Sementara itu juru bicara Perum Pegadaian XIII Jawa Timur Minanto 
mengungkapkan, nasabahnya cenderung menggadaikan perhiasan karena lebih 
praktis. Perum Pegadain tidak pernah membatasi hanya menerima barang tertentu. 
"Semua jenis barang padat kami terima karena prinsip badan usaha ini membantu 
masyarakat yang membutuhkan," katanya seraya menyebutkan, tidak lebih dari 10 
menit dana pinjaman sudah diterima nasabah.

Biasanya, warga yang mendatangi kantor Pegadaian meningkat sepekan menjelang 
Lebaran. [Y-6/080]


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke