Jawa Pos
[ Jum'at, 04 September 2009 ] 

Gempa dan Beban Pulau Jawa 


Oleh: Goei Tiong Ann Jr

GEMPA 7,3 skala Richter mengguncang Jawa Rabu pukul 14.53 WIB (2/9). Pusat 
gempa berada di 142 km barat daya Tasikmalaya dengan kedalaman 30 kilometer 
dari permukaan laut. Seluruh Jawa, termasuk gedung pencakar langit di Jakarta, 
Jogja, atau Bandung, bergoyang. Puluhan orang tewas, luka-luka, dan lainnya 
terkubur, serta ribuan rumah, masjid, dan fasilitas umum rusak (Jawa Pos 
3/9/2009).

Gempa bumi datang tanpa permisi sehingga membuat kita terkejut. Namun, kalau 
sudah sejak dini dididik untuk mengenali lingkungan, kita akan sadar bahwa Jawa 
memang daerah rawan gempa. Sayang, sejak dahulu, nenek moyang kita, khususnya 
di Jawa, tak pernah dididik untuk menghadapi gempa. Tiap ada gempa, mereka 
memilih lari meninggalkan tempat tinggalnya, sambil meyakini mitos ada yang 
marah, sehingga gempa terjadi.

Ketika terjadi gempa di Jogjakarta, 27 Mei 2006, yang menewaskan 5.000 jiwa, 
berkembang mitos Nyai Roro Kidul sedang marah. Bahkan, ada anggota DPR yang 
berani menyebutkan itu di televisi. Tepatlah apa yang disebut almarhum Mochtar 
Lubis, jurnalis dan budayawan, bahwa bangsa ini begitu percaya kepada tahayul 
atau hal-hal mistis sehingga sukar maju. Padahal, kalau kita mau berpikir 
ilmiah sejak dini, sebagaimana warga Jepang, kita akan menyadari bahwa Pulau 
Jawa, Sumatera, Bali, NTT, Sulawesi, Maluku, dan Papua, khususnya yang 
menghadap ke Samudra Indonesia, memang merupakan daerah rawan gempa. 

Belajar dari Jepang 

Pola pikir mistis itu memang warisan dari nenek moyang yang seperti disebutkan 
di atas, suka lari tiap ada gempa, mengingat luasnya wilayah dan masih 
sedikitnya penduduk ketika itu. Berbeda dengan warga Jepang yang wilayahnya 
sangat terbatas sehingga mereka harus menghadapi gempa. 

Sejak bayi, mulai di rumah hingga sekolah, warga Jepang sudah dididik untuk 
tahu dan sadar akan fakta bahwa mereka hidup di daerah rawan gempa. Mereka 
sudah tahu bagaimana membangun rumah, fasilitas umum, dan infrastruktur yang 
tahan gempa. Mereka juga sudah tahu bagaimana harus menyelamatkan diri tiap 
gempa terjadi. Kalau ada orang asing menjadi penduduk Jepang, sosialisasi akan 
gempa langsung diberikan. Sosialiasi semacam itu mendesak diajarkan dalam dunia 
pendidikan kita sehingga warga tidak terus terjebak dalam pola pikir mistis.

Pulau Jawa khususnya, seperti sudah disebutkan, memang rawan gempa. Gempa bisa 
tektonik atau vulkanik. Untuk memahami gempa tektonik, kita bisa memandang 
tanah di Jawa ibarat setumpuk kayu lapis yang masing-masing terbuat dari 
beragam kayu. Ada kayu jati, kayu mahoni, dan sebagainya yang daya tahannya 
berbeda. Kayu lapis itu terus ditekan oleh tiga ''buldoser'', yakni tiga 
lempeng tektonik, yaitu Asia, Australia, dan Pasifik. Lempeng tektonik adalah 
segmen keras kerak bumi yang mengapung di atas astenosfer yang cair dan panas 
sehingga bebas bergerak. Tiap lempeng berjalan dengan kekuatan satu skala 
Richter per tahun.

Gerakan dari tiga lempeng tektonik di Jawa, misalnya, bisa menimbulkan 
pergerakan pada tanah. Lapisan paling atas atau permukaan tanah biasanya 
bergerak paling keras sehingga kalau ada bangunan bisa roboh dan banyak orang 
di dalamnya jelas dalam bahaya.

Yang patut diwaspadai, gempa tektonik kali ini bisa pula mendorong terjadinya 
gempa vulkanik. Konsekuensinya, aktivitas gunung berapi di Jawa yang masih 
aktif, seperti Kelud atau Semeru, perlu diwaspadai dalam satu hingga dua pekan 
pascagempa yang berpusat di barat daya Tasikmalaya.

Beban Pulau Jawa 

Selain soal sosialisasi gempa, perlu juga dipikirkan soal beban Pulau Jawa agar 
ke depan tidak makin banyak korban tiap ada gempa. Pulau Jawa memang menderita 
akibat beban berat. Data geospasial dan kependudukan memperlihatkan, luas Pulau 
Jawa 132.187 km2 atau 6,9 persen daratan Indonesia. Sayang, jumlah penduduknya 
sekitar 60 persen penduduk Indonesia. Berarti, kepadatan penduduk di Jawa 813 
orang/km2. Relokasi penduduk dan industri ke luar Jawa merupakan langkah yang 
perlu segera diambil.

Sebab, kalau tidak, akan banyak korban berjatuhan setiap kali terjadi gempa. 
Dari perspektif ekologi, hutan, dan sumber air di Jawa juga kian tidak 
mencukupi lagi bagi manusia dan flora-faunanya. Ditambah kasus kebakaran hutan 
akhir-akhir ini dan rencana pembangunan tol Trans Jawa, pasti akan mengurangi 
ketersediaan air atau oksigen yang sangat vital bagi kehidupan kita. 

Di Jawa, seiring banyaknya kasus alih fungsi hutan untuk lahan pertanian dan 
perumahan, banyak sumber air juga mulai tidak mengucur.Terlebih di musim 
kemarau seperti saat ini, banyak warga di Jawa, seperti di beberapa desa di 
Mojokerto, hingga minum air tercemar (Jawa Pos, 3/9/2009). Beberapa warga di 
daerah lain harus berjalan beberapa kilometer untuk mendapatkan seember air.

Itu salah satu bukti daya dukung lingkungan Pulau Jawa pun melemah. Jadi, 
daripada banyak korban berjatuhan tiap ada gempa, bencana, atau krisis air, 
sebaiknya program relokasi ke luar Jawa segera direalisasikan. Itu sungguh 
mendesak, daripada pulau-pula di luar kosong, dijual, atau diklaim negara lain. 
Pemerintahan SBY-Boediono, dengan kabinet barunya, harus bisa mengurangi beban 
Pulau Jawa.

*). Goei Tiong Ann Jr, rohaniwan dan aktivis lingkungan, tinggal di Roma, 
Italia 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke