http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Opini&id=253774
Gizi Buruk dan Korupsi Oleh: dr. James Kalengkongan Bangsa kita sepertinya tak habis-habisnya didera berbagai macam persoalan. Mulai dari masalah politik, ekonomi, kondisi alam , kesehatan dan lain-lain. Khusus di bidang kesehatan, kasus kekurangan gizi atau lebih ekstrim lagi masalah gizi buruk kini mendera. DI BERBAGAI media baik cetak maupun elektronik terpampang berita tentang kasus gizi buruk sampai pada kondisi busung lapar, semakin hari semakin santer diekspose ke masyarakat. Bahkan dikabarkan telah banyak menelan korban jiwa. Keadaan tersebut semakin memprihatinkan oleh karena Gizi Buruk paling banyak diderita oleh kelompok usia rentan seperti bayi dan balita yang sesungguhnya mereka merupakan aset bangsa, generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Siapa sih yang berkeinginan dan bercita-cita atau merencanakan bahwa anaknya nanti akan mempunyai status gizi yang buruk ? Saya yakin, kita semua akan sepakat, sekalipun orangtuanya tergolong miskin, mereka tidak mau dan tida k akan rela anaknya mengalami gangguan gizi, apalagi sampai ke kondisi terburuk dari kurang gizi yaitu busung lapar. Tidak dapat disangkali bahwa hal tersebut lebih banyak bersentuhan dengan kondisi ekonomi yang sangat rendah atau masalah kemiskinan. Selain itu, hal yang turut andil berkaitan dengan gizi buruk adalah faktor penatalaksanaan asupan makanan/minuman di masing-masing keluarga, seperti salah kelola dan ketidak-tahuannya tentang bagaimana seharusnya berlaku bagi makanan dengan gizi seimbang. Dalam hal ini bisa terjadi bahwa disekitar dia ada saja makanan dengan kandungan gizi yang cukup, baik bersumber hewani maupun nabati, namun karena orang tersebut tidak tahu bagaimana mengelola/mengaturnya sehingga tercipta gizi yang tidak seimbang yang berimbas pada kondisi kurang gizi dan gizi buruk. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki wilayah daratan dan lautan yang sangat luas, seharusnya bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri, namun selama ini import makanan terus terjadi ditengah rendahnya konsumsi karbohidrat dan protein. Menurut Prof. Sumarsono dari Fakultas Peternakan Undip bahwa Ind onesia bisa disebut sebagai bangsa yang mengalami anomali pangan. Bila dicermati dengan seksama, ternyata faktor kemiskinan memberi kontribusi yang besar bagi muncul dan berkembangnya gizi buruk. Karena faktor ekonomi itulah sehingga apa yang seharusnya bisa dikonsumsi akhirnya tidak bisa terwujud karena tidak ada yang dapat digunakan untuk membeli bahan-bahan makanan yang mengandung nilai gizi tinggi atau paling tidak mempunyai kandungan gizi seimbang (ini yang paling baik). Memang kita tahu bahwa makanan bergizi tidaklah identik dengan seberapa mahalnya bahan makanan tersebut, tapi kalau tidak punya uang sama sekali, maka disitulah letak permasalahannya. Untuk membahas lebih lanjut mengenai kekurangan gizi atau gizi buruk, kita perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan gizi yang cukup. Gizi yang memadai berarti makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang dapat menopang sepenuhnya pertumbuhan, pekerjaan dan perbaikan semua jaringan dan organ-organ tubuh. Gizi yang seimbang manakala dalam makanan mengandung unsur Protein, Karbohidrat, Lemak, vitamin dan mineral. Malgizi adalah gagalnya penyediaan unsur-unsur makanan yang diperlukan tubuh. Kondisi tersebut dapat berujung pada kekurangan gizi hingga akhirnya menjadi gizi buruk. Gizi buruk sendiri mempunyai gradasi dari ringan sampai paling berat yang disebut Kwashiorkor, yang ditandai dengan kondisi tubuh lemah, mata cekung, wajah berkeriput, perut buncit, rambut kekuning-kuningan dan tampak pembengkakan di anggota tubuhnya. Kalau kondisi itu terjadi, maka itu berarti perlangsungannya sudah cukup lama, kondisinya sudah kronis. Anak yang kurang gizi atau gizi buruk selain perkemban gan otaknya menjadi lambat, juga mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk berbagai jenis penyakit dan kematian. Salah satu gangguan gizi makro adalah Kurang Energi Protein (KEP) yang terjadi apabila seorang anak tidak mendapat cukup karbohidrat dan protein dari makanan. Seorang anak yang sering sakit dapat pula menderita kekurangan gizi. Nafsu makan anak berkurang, dan makanan yang dimakanpun tidak digunakan secara efisien. Dalam sebuah berita yang dilansir oleh salah satu media cetak menyebutkan di Jawa Tengah pada tahun 2007 terdapat 15.980 kasus gizi buruk, di Cilacap tercatat 120 kasus dan di Sampang Madura Jawa Timur 1.400 balita yang terancam gizi buruk. Sebanyak 2.895 balita gizi buruk ditemukan di Wilayah Pantura Tangerang dan gizi kurang di Lebak, Banten sebanyak 12.660 balita. Di NTT tercatat 201 kasus gizi buruk dan 1.183 kasus gizi kurang. Pada pertengahan tahun 2005 saja menurut Dini Latief, Kepala Balitbang Depkes RI ada 5 juta anak Balita di Indonesia yang kurang gizi, dari jumlah tersebut 1,6 juta Balita menderita gizi buruk. Menurutnya lagi: Dari data Depkes, ada 5 persen penduduk yang tidak bisa pergi ke Puskesmas. Dari data itu, ada 70 persen dengan alasan tidak punya uang. Dengan melihat kondisi yang demikian, cukuplah membuat kita terperangah, sehingga ke depan harus dipikirkan solusi yang tepat dan terprogram dengan baik. Salah satu yang menjadi ujung tombak adalah pembe rdayaan posyandu di semua puskesmas yang ada di Indonesia. Seperti yang ditegaskan oleh Gubernur Kaltim pada suatu kesempatan Saya minta posyandu, UPGK dan puskesmas diaktifkan lagi, pokoknya mengenai urusan gizi harus diaktifkan kembali. Dengan merebaknya kasus gizi buruk tersebut kiranya juga akan semakin membuka mata kita untuk melihat bahwa posyandu yang merupakan bagian dari Peran Serta Masyarakat (PSM) perlu menjadi perhatian kita semua, baik itu menyangkut sarana dan prasarana, dukungan moril dan materil serta bagaimana membuat para Kader Posyandu agar lebih betah dalam tugas dan tanggung-jawabnya. Untuk itu anggapan bahwa Posyandu semata-mata adalah miliknya puskesmas harus dirobah. Dengan demikian akan terdapat sinergi yang harmonis antara puskesmas dalam hal tehnis kesehatan pencegahannya dengan sektor lain termasuk masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan. Karenanya diharapkan kedepan agar semua Balita diupayakan untuk dibawa ke posyandu terdekat sehingga berat badannya dapat dipantau setiap bulan. Di Posyandu, semua Balita akan mendapatkan KMS (Kartu Menuju Sehat), dimana dengan menggunakan KMS tersebut, maka akan terdeteksi secara dini kalau balita tersebut sudah mulai mengarah ke kurang gizi atau gizi buruk sekalipun. Dengan demikian akan segera ditangani lebih cepat. Kalau disebabkan oleh penyakit bisa segera diobati, kalau karena salah gizi langsung dilakukan penyuluhan dan kalau karena faktor ekonomi dapat diberikan PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dan lain-lain. Ini menjadi sangat penting agar di waktu yang akan datang tidak akan terjadi "Bom Waktu" oleh karena terakumulasinya permasalahan gizi saat ini. Peristiwa ini pasti ada hikmah yang boleh dipetik untuk perbaikan dan kesempurnaan di kemudian hari. Namun yang masih menyayat hati kita yaitu di satu sisi ada begitu banyak penderitaan yang dialami oleh kaum papah, akan tetapi di sisi lain kita menyaksikan begitu banyak penyalah-gunaan keuangan negara/daerah yang dilakukan oleh para pejabat dan mantan pejabat yang sebagian sudah menjadi tersangka oleh karena kasus korupsi. Kasus-kasus yang diungkap oleh KPK sebagiannya melibatkan kepala daerah, dan dari sebagian pejabat yang terlibat, banyak juga yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan akhirnya menyandang predikat sebagai koruptor. Seandainya dana itu dipakai untuk "mengentaskan" kemiskinan atau menghijaukan daerah yang tandus dan gersang untuk menjadi lahan pertanian yang subur dan produktif, maka mungkin juga kasus Gizi buruk tidak akan merebak seperti sekarang ini. Sungguh ironis memang. *** *) Penulis adalah Kepala Puskemas Lamaru, Balikpapan. [Non-text portions of this message have been removed]