http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/22/04520780/hanya.ada.satu.ibu

Hanya Ada Satu Ibu

Senin, 22 Desember 2008 | 04:52 WIB

HANDRAWAN NADESUL

Ibu Jepang dianggap ibu terbaik karena sepenuh harinya tercurah untuk
membesarkan anak. Istri yang mengorbankan karier memilih tugas
domestik saat anak masih perlu di dekatnya dinilai ibu yang bijak.

Bagi anak, tak cukup hanya ibu bijak. Tak cukup hanya bisa menyusui.
Sebagai ibu, perlu punya lebih dari hanya naluri (nature). Supaya anak
yang dibesarkan berkualitas, peran sebagai ibu perlu diisi (nurture).
Adagium hari depan bangsa di tangan ibu masih belum berganti. Sedang
anak tak mungkin memilih siapa ibunya.

Mandat di pundak ibu

Beratnya ibu karena di tangan ibu bakal seperti apa anak akan menjadi.
Setiap ibu memikul mandat membesarkan anak agar menjadi berkualitas.
Anak mewarisi bibit unggul saja belum jaminan anak menjadi insan
berkualitas kalau saat kehamilan tak dirawat, persalinan tak lancar,
dan tak cukup diberi gizi. Setiap ibu perlu muatan semua bekal itu.

Sayang, tidak setiap ibu mumpuni sebagai ibu. Kesehatan berkorelasi
dengan pendidikan. Bagaimana perut anak bakal sehat sampai dewasa
kalau bayi belum cukup umur selain susu, bayi sudah diberi macam-macam
karena ibu tidak tahu. Bagaimana otak anak bisa tumbuh optimal kalau
ibu tidak tahu tak ada kesempatan kedua mencukupi protein buat otak
sebelum anak berumur dua tahun. Siapa memberi tahu ibu bagaimana
membesarkan anak secara benar?

Selain ketidaktahuan, membiarkan mitos dan takhayul berkembang
menjadikan ibu keliru membesarkan anak. Bayi lahir cacat hanya karena
kurang vitamin, bentuk malapetaka bangsa. Vitamin B6, asam folat, zat
besi, misalnya, sebetulnya murah dan terjangkau. Tapi ibu tak tahu
kalau itu sampai terjadi bikin bayi sumbing, atau tabung saraf tulang
belakang tak menutup.

Bayi lahir cacat bukan sumber daya manusia berkualitas. Ibu hamil
anemia yang sebetulnya juga tak perlu terjadi, merongrong kehamilan,
persalinan, mengancam nyawa dan kualitas anak yang dilahirkan. Ongkos
ketidaktahuan seperti itu harus dibayar mahal.

Lebih mahal lagi kalau anak salah asuh salah didik. Anak yang setelah
dewasa menyimpang pikir, rasa, dan lakunya karena ibu (orangtua) salah
membentuknya. Anak yang terbiasa dipukul kelak akan menyelesaikan
urusan dengan cara memukul ("pukul dulu, urusan belakangan").

Atau anak yang dari kecil sering dicela menjadi dewasa yang rendah
diri. Anak yang kecilnya ditekan akan beringas dan agresif. Anak yang
dibesarkan salah persepsi seksualnya, berisiko dewasa yang berdeviasi
seksual. Sekadar keliru mendidik anak balita buang air (toilet
training) saja pun berpotensi menyisakan trauma seksual berkelanjutan.

Maka kalau lahir generasi yang "sakit", hampir pasti karena dibesarkan
oleh ibu yang kebanyakan "tidak sehat". Ibu "tidak sehat" kebanyakan
lebih sebab ketidaktahuan. Termasuk ibu tidak memikirkan dirinya
sendiri. Sakitnya ibu bikin pincang roda keluarga. Untuk menjadi ibu
yang mumpuni, tak perlu sekolah dokter dan menjadi ahli psikologi.

Sekolah menjadi ibu

Pendidikan kesehatan sekolah kita masih minim. Selain belum
mencerdaskan hidup sehat, belum pula memberdayakan anak perempuan
mampu melakukan peran sebagai ibu yang mumpuni. Kesan saya (dari
memberikan seminar kepada ibu-ibu muda, dan mengasuh rubrik kesehatan
di media) wawasan sehat para ibu tahun 1980-an tak jauh beda dengan
ibu sekarang. Masih ada ibu level sarjana yang percaya telur bikin
anak bisulan, atau beranggapan bayi sehat itu bayi yang montok, makan
ikan bisa cacingan.

Lebih menyedihkan karena kegiatan posyandu sudah kendur. Dulu
ompongnya pengetahuan kesehatan ibu masih ditambal oleh kehadiran
posyandu. Ancaman kecacatan, penyakit, dan gagal tumbuh kembang anak
yang tak perlu terjadi masih bisa dihindarkan.

Selain sudah tak ada posyandu, tidak semua ibu membaca. Televisi dan
radio juga tak penuh menambah wawasan sehat ibu. Solusi masalah besar
kesehatan kita lebih pada memberdayakan rakyat. Lebih pada membangun
kesehatan dasar (primary health care). Bagaimana sejak di hulu rakyat
diberdayakan tidak sakit, agar di hilir anggaran tak habis buat
belanja obat. Termasuk memberdayakan ibu sejak masih di hulu.

Para calon ibu disiapkan melakukan eloknya peran. Ini bagian kegiatan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan yang terkait dengan itu.
Saatnya pembangunan dirancang berwawasan ibu. Mungkin diperlukan
sekolah, kursus, atau apalah yang mempersiapkan setiap perempuan
mumpuni sebagai seorang ibu.

Bukan saja urusan anak, kualitas keluarga juga di tangan ibu. Nasib
kesehatan keluarga ditentukan oleh meja makan ibu. Kemampuan ayah dan
anak kelak membatalkan kejadian terserang jantung atau stroke juga
ditentukan oleh isi meja makan ibu. Betapa sentral peran ibu bagi
keluarga dan bangsa. Ibu yang menuliskan garis tangan hari depan anak.
Elok tidaknya hari depan anak tergantung seberapa abai negara
memberdayakan setiap perempuan siap melakukan peran mumpuni sebagai
ibu. Hari ini belum terlambat kita merenungkannya, lalu melakukan
sesuatu. Anda betul. Hanya ada satu ibu.

HANDRAWAN NADESUL Dokter; Penulis Buku Kesehatan Anak, Ibu, dan Perempuan









Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/22/04520780/hanya.ada.satu.ibu

Kirim email ke