Fwd: [wanita-muslimah] Harian Republika telah menyinggung perasaan umat Hindu

2007-09-13 Terurut Topik lasykar5
Berikut lengkapnya rangkaian seputar sajak/puisi penghinaan kepada kaum
mayoritas itu ...

salam,
satriyo

-- Forwarded message --
From: Budi



Mengapa Saya Menurunkan Sajak-sajak Saeful Badar?
Oleh Rahim Asyik

TULISAN ini saya buat sebagai sebentuk
pertanggungjawaban, barangkali pembelaan --bukan
permintaan maaf-- terhadap hal-hal yang terjadi
menyusul terbitnya salah satu sajak karya Saeful
Badar.

Kurang lebih dua tahun lalu saya menerima warisan
"Khazanah" dalam citra yang karut marut (kata karut
marut mungkin berasal dari harut marut. Harut dan
Marut adalah nama sepasang malaikat yang diturunkan
Tuhan di sebuah sumur di Negeri Babil. Kedua malaikat
ini mengajarkan sihir kepada manusia sehingga dengan
sihir itu seseorang dapat menceraikan pasangannya
(lihat Albaqarah: 102).

Pendeknya, ada juga ternyata malaikat yang tidak baik,
tidak tunduk patuh seperti yang
kita pahami sekarang).

Saya mungkin satu dari sedikit (kalau tidak bisa
dikatakan satu-satunya) pengasuh rubrik seni budaya
di Indonesia yang tidak berlatar sastrawan, penyair,
atau seniman. Saya juga tidak berpendidikan sastra.
Jadi, tak perlu aneh kalau pilihan saya akan karya
sastra yang diturunkan di "Khazanah" buruk.

Ada banyak alasan mengapa saya menurunkan karya yang
satu dan tidak yang lainnya. Salah satunya adalah
memenuhi kaidah estetis. Bila diartikan secara
sempit, itu berarti sesuai selera saya. Saya percaya,
soal selera ini adalah pendorong utama yang
menyebabkan seseorang menyukai sajak yang satu dan
tidak yang lainnya. Selera tidak bisa diperdebatkan
karena sifatnya personal, tetapi bukannya tidak bisa
dirasionalisasi.

Selera yang baik muncul dari pengalaman yang panjang
dan bacaan yang luas. Semakin luas pengalaman dan kaya
bacaannya, selera orang itu akan semakin "bermutu
tinggi", tentulah secara intelektual. Semakin pula dia
bisa mengupas kelebihan dan kekurangan sebuah sajak
sekaligus memaknainya. Pada titik tertentu, selera tak
bisa sepenuhnya dirasionalisasi.

Subagyo Sastrowardoyo dan A. Teeuw saja terlihat
rikuh ketika harus mengupas karya sastra yang
disukainya. Pisau teori yang dikuasainya mungkin akan
mengupas wajah Karya yang disukanya itu jadi
bopeng-bopeng di sana-sini. Harus kembali diakui,
rasio serba terbatas.

Mereka yang pengalamannya luas dan bacaannya banyak
umumnya menganggap Sajak "Malaikat" itu tidak bermutu,
semacam sajak palsu. Itu sangat bisa saya mengerti
dalam konteks di atas. Akan tetapi, kaidah estetis
hanyalah salah satu pertimbangan saja. Terus terang,
kadang dengan sadar saya mengabaikannya, meski tidak
tega kalau sepenuhnya. Kejenuhan mengonsumsi
sajak-sajak yang *mainstream* membuat saya
sekali-sekali ingin bertualang.

Oleh-olehnya bisa ditemukan pembaca Khazanah. Ada
sajak berbahasa Sunda, Cirebon, ada naskah monolog,
subrubrik sundapedia, pameran drawing (bersamaan
dengan turunnya sajak Saeful Badar, turun cerpen
"Jalan-jalan Minggu" karya Pidi Baiq. Ini juga cerpen
yang aneh).

Saya beruntung berada di media yang bukan nomor satu.
Dengan begitu, saya lebih leluasa bereksperimen. Saya
selalu tergoda untuk berekreasi ke wilayah baru. Dalam
pemahaman saya, eksperimen itu akan memberi saling
pengaruh positif. Penyair
berbahasa ibu Sunda belajar dari sastra Indonesia atau
Inggris, demikian sebaliknya. Dampak lainnya,
meluaskan pembacanya.

Saya setuju, saat ini adalah "cuaca yang sangat baik
untuk bercocok tanam puisi dan menghasilkan
berbagai-bagai jenis puisi". Sayangnya, panen tak
selalu berhasil. Puisi organik yang menyehatkan,
produksinya masih terbatas dan mahal, juga tak selalu
berhasil. Masyarakat masih senang bertanam dan
mengonsumsi puisi nonorganik yang tidak menyehatkan
karena kebiasaan dan lebih murah. Dalam situasi
seperti itu, pertimbangan untuk meluaskan pembaca
masuk. Salah satunya adalah dengan merangkul
komunitas-komunitas yang ada.

Saya akui, pertimbangan terakhir inilah yang menjadi
landasan saya dalam menurunkan sajak -sajak Saeful
Badar. Tidak spesifik sajak "Malaikat", tapi seluruh
sajak Saeful Badar, sebetulnya tidak sesuai dengan
selera estetik saya. Semenjak mengelola "Khazanah",
Saeful Badar sudah beberapa kali mengirimkan sajaknya,
dengan berbagai cara. Selama itu pula, saya tidak
pernah memuatnya karena pertimbangan estetik itu.

Ketika saya menurunkan sajak-sajak Saeful Badar,
dorongannya adalah untuk merangkul dan menggairahkan
kehidupan bersastra di Sanggar Sastra Tasik, tempat
Saeful
beraktivitas. Tidak lebih. Akan tetapi, bukan berarti
hal yang tidak sesuai selera saya itu
menjadi tidak berharga. Saya tidak harus memaksakan
selera saya. Saya kadang harus
mengalah. Saya tak harus terus-terusan
berkerut-kening. Toh, tak semua orang suka Taufik
Ismail atau Goenawan Mohamad. Dan jengkol sekarang
dijual juga di kafe-kafe. Pembaca juga punya selera
yang harus juga dihargai. Siapa tahu selera saya
selama ini terlalu buruk. Apalagi mayoritas mereka
adalah konsumen padi nonorganik. Dan rasionalisasi
atas selera itu bisa saja dilakukan. Terbukti, saj

Fwd: [wanita-muslimah] Harian Republika telah menyinggung perasaan umat Hindu

2007-09-13 Terurut Topik lasykar5
Ternyata tidak hanya yang minoritas ko yang sedemikian dinistakan oleh
mereka yang 'tukang tulis' ...

salam,
satriyo

-- Forwarded message --
From: Budi



Kalau dibandingkan puisi yang dinilai menghina agama Hindu, puisi di bawah
ini lebih-lebih lagi. Mungkin yang dari Bandung tahu kasus ini. Puisi
karangan Saeful Badar (?) yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat  (PR) Agustus
lalu. Karena digugat oleh DDII Bandung maka PR minta maaf dan memberhentikan
redaktur Khazanah/Sastra yaitu Rahim Asyik. Yang saya heran, banyak orang
yang membela Rahim Asyik, menulis di internet dan diposting di mana-mana.
Rahim sendiri juga memberikan pembelaan diri dengan menulis email (juga
kemana-mana) yang isinya puisi tersebut sesuai dengan Surat Al Baqarah 102
tentang Harut dan Marut. Pingin tahu salah satu baitnya ?

MALAIKAT
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.


Messages in this topic

(0) Reply (via web post)
|
Start a new topic


Messages|
Files|
Photos|
Links|
Database|
Polls|
Members|
Calendar
 [image: Yahoo!
Groups]
Change settings via the
Web(Yahoo!
ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily
Digest<[EMAIL PROTECTED]:+Digest>|
Switch
format to Traditional<[EMAIL PROTECTED]:+Traditional>
Visit Your Group
|
Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
<[EMAIL PROTECTED]>
.




-- 
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang


[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] Harian Republika telah menyinggung perasaan umat Hindu

2007-09-11 Terurut Topik radityo djadjoeri
  Harian Republika telah menyinggung perasaan umat Hindu   
Tadi pagi saya terima email dari Bli I Gusti Purwaka yang tak saya kenal 
sebelumnya. Dari namanya, jelas dia orang Bali, dan pemeluk agama Hindu. 
Mungkin ia tahu emailku karena kebetulan saya memoderasi beberapa milis. 

Isinya sebagai berikut:

Bung Moderator, 

Semoga anda sudi memuat tulisan keluhan hati minoritas ini.

Shanti,

I.G. Purwaka
-- 

[EMAIL PROTECTED]




Lalu lampirannya saya buka. Saya pikir berbentuk sebuah tulisan opini. Ternyata 
sebuah puisi karya Saut Situmorang. Berikut isi lampirannya:

Harian Republika yang Islami itu dalam edisi 26 Agustus 2007 lalu memuat sajak 
seperti ini:

para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.

Sajak itu karya seorang penyair yang bernama Saut Situmorang. Kalau saya baca 
kalimat -kalimatnya yang klise dan bombastis, penyairnya kelihatannya masih 
baru belajar menulis. Akan tetapi untuk penyair yang baru belajar sekalipun 
seyogyanya tidak pantas memakai kata-kata yang meletakkan seksualitas sebagai 
ukuran sastra. 

Sangat saya sayangkan Republika yang Islami itu telah kecolongan diisi oleh 
seorang penyair yang jorok pikirannya. Apalagi di dalam sajak tersebut saya 
dapatkan kata-kata yang sangat menyinggung perasaan orang Hindu Bali, misalnya 
disebut "para dewa" yang "menggilir" perempuan di altar "pura" mereka.

Harap kita waspada terhadap langkah-langkah seperti ini.

Merdeka,

I.G. Purwaka


___

TANGGAPAN

From: Bujang Kelana
E-mail: [EMAIL PROTECTED]


Untuk seorang penulis pemula, bumbu-bumbu seks memang mujarab untuk mendongkrak 
popularitasnya. Mutu mungkin tak teraih darinya, tapi rumus semacam ini sering 
diresepkan. Hanya memang disayangkan jika redaktur koran/majalah juga kurang 
luas wawasannya maka loloslah sampah sampah demikian di halamannya. 

Salam ..

Bujang Kelana

___

From: Ahmad Su'ad
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Sebagai pembaca setia harian Republika saya amat sedih dengan termuatnya sajak 
porno yang murahan seperti itu. Apalagi dimuat menjelang Bulan Ramadhan yang 
bisa mengganggu ketenangan umat. Ditambah lagi, sajak tersebut mengganggu 
perasaan pemeluk agama lain. Semoga redaksi pengasuh rubrik tersebut cepat 
insyaf dan meminta maaf secara terbuka kepada para pembacanya. Ingat, Republika 
adalah bacaan umat bukan koran murahan.

Wassalam,

Ahmad Suad
___

From: Halim HD
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Saut, jangan tergoda dengan adu domba gaya spion Melayu yang pakei segala 
cem-macem cara. Kasihan juga tuh 'minoritas' yang merasa 'dewa'-nya dituding 
oleh Saut. Tapi, yang paling kasihan adalah 'warga-minoritas' yang bisanya cuma 
terkaing-kaing mengadu. Padahal 'dewa'-nya sendiri masa bodoh. Kenapa pula dia 
tak murka dengan penjualan 'patung-patung dewa' di negaranya, di Bali, yang 
kayak rombengan dan hanya sekedar untuk devisa. 

hhd.
  ___





e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

   
-
Tonight's top picks. What will you watch tonight? Preview the hottest shows on 
Yahoo! TV.

[Non-text portions of this message have been removed]