Re: [wanita-muslimah] Inikah Indonesiaku? Duh ...! - Indonesia is Mei Countreee

2006-01-10 Terurut Topik SUTIYOSO WIJANARKO WIJANARKO
Indonesia baik-baik saja koq.
   
  Sebenarnya yang harus dipermasalahkan adalah orang-orang yang suka "mengeluh" 
dan tidak punya inisiatif untuk melakukan perubahan dan perombakan,  contoh 
soal : Jepang hancur saat di Bom Atom, ludes, tuntas...tastapi mereka bukan 
bangsa bermental memble, dengan modal mental semata-mata akhirnya mereka bisa 
bangkit dan bangun menyamai negara yang lain.
   
  Pertanyaannya adalah, kita mau jadi bangsa pengeluh dan memble atau jadi 
bangsa yagn kreatif dan mempunyai etos berpositif thinking,  ITU AJA.
   
  Bagi yang suka mengeluh dianjurkan untuk segera keahli .supaya bisa dicek 
apakah kadar gangguan...-nya sudah akut dan paraf .ech parah atau belum.
   
  INDONESIA IS Mei COUNTREEE , aku sangat bangga jadi orang INDONESIA.
   
  wassalam.
   
  begitu saja.
   
  

Ambon <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  http://www.indomedia.com/bpost/012006/11/opini/opini2.htm

Inikah Indonesiaku? Duh ...!

Oleh : Pribakti B

Seorang teman saya bertanya: "Mengapa Indonesia bisa jadi 
'begini'? Maksudnya? Teman itu menyebutkan betapa permasalahan yang dihadapi 
bangsa kita begitu kompleks, tidak jelas kapan selesainya dan masalah baru 
selalu saja muncul setiap hari. Perhatikan masalah sosial, ekonomi, politik, 
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang rasanya begitu 'ruwet'. Borok itu 
hari demi hari keluar satu demi satu. Lalu, bagaimana tidak pesimis, kata teman 
itu, bahwa negeri ini sesungguhnya memang sudah rusak. Kerusakan yang sempurna, 
katanya menyitir ucapan seorang tokoh.

Sekarang ditambah lagi, Indonesia ternyata termasuk penghasil ektasi terbesar 
ketiga di dunia. Setelah itu, juga terbongkar penyuapan aparat kepolisian dalam 
kasus Bank BNI. Pengangguran dan utang luar negeri pun ternyata juga 
mengerikan. Meskipun semua itu belum selesai, muncul kelaparan di Yahukimo 
Papua dan teror bom di Palu.

"Mengapa bisa begitu?" tanya teman itu. Entahlah, saya tidak tahu persis.Tapi 
meskipun begitu, sesungguhnya apabila kita teliti permasalahannya, paling tidak 
ada dua hal yang menjadi sumber timbulnya masalah itu.

Pertama, permasalahan yang timbulnya di luar jangkauan kita. Masalah ekonomi 
misalnya, memiliki keterkaitan dengan berbagai masalah lain yang berada di luar 
kontrol kita. Masalah ini bahkan terkait dengan dunia luar, dengan prinsip 
globalisasi dan juga (tentunya) kepentingan negara lain.

Kedua, permasalahan yang sesungguhnya kita 'bikin' sendiri. Ada yang terkait 
kebijakan pemerintah, dan sikap masyarakat kita sendiri yang memang tidak 
kondusif. Ada pula yang terkait hukum kita yang memang tidak 'berdaya' 
menyelesaikan masalah itu. Lantas, bagaimana kita dapat keluar dari krisis yang 
sering dikatakan multidimensi itu?

Depresi

Jujur saja, gara-gara krisis multidimensi ini, stres dan depresi menggerogoti 
kita. Di warung, di jalan, di kantor, penyakit apa pun bisa terpicu. Sebab, 
begitu mata melek dan otak melahap koran pagi, hati geregetan oleh berita 
'klasik' korupsi. Sepertinya aturan dibuat untuk diakali. Dana Abadi Umat 
dibikin bancakan, diutak-atik secara 'kreatif'.

Semua itu mengingatkan saya pada sebuah lelucon yang dibuat mahasiswa UI di 
akhir 1970-an. Dikatakan, seorang bayi lahir. Ia normal dan tampaknya terlalu 
cerdas. Begitu merasakan sentuhan udara luar, ia menengok ke kiri dan ke kanan. 
Kemudian menjerit keras dan langsung mati, karena ia sadar telah lahir di 
Indonesia: sebuah negeri di mana berbagai gejala ketimpangan sosial dan 
ketidakadilan merajalela.

Inikah negeriku? Coba sekarang lihat sekeliling kita. Tiap ada pimpinan baru, 
misalnya, semua pada sibuk nguping kiri-kanan mencari objekan. Repotnya, kalau 
ketemu pejabat bertipe DKI alias Di Bawah Ketiak Istri. Ditanggung banyak 
bawahan mengalami stres berat. Maklum, macan betina itu lebih ngebos ketimbang 
bos sesungguhnya. Perilakunya tengil. Walau ia tidak memiliki meja kursi, 
merasa lebih memahami situasi kantor. Kemudian, lantaran sangat membanggakan 
pangkat dan jabatan suami, ia memunculkan pribadi yang sewenang-wenang tak 
kenal kompromi.

Lebih celaka lagi, mempan disindir. Benar-benar berkulit tebal. Berita busung 
lapar di daerah, umpamanya, tak lagi menggiriskan. Hidupnya jauh dari 
kesederhanaan. Hobinya jalan-jalan ke luar negeri. Jika berbelanja di mal, 
misalnya, anak buah suami yang 'berladang basah' jadi pendamping. "Parfum itu 
wanginya, aduh ...," katanya main tunjuk agar segera dibayari. Hobi lain adalah 
rajin mengamati iklan. Begitu muncul barang baru, anak buah suami dikontak. 
"Coba dicek, Nokia keluarkan HP baru. Anak saya ingin ganti HP," katanya. Tahu 
kan maksudnya? Itu identik dengan 'buruan beliin gue'.

Bahasa mencerminkan bangsa! Saking jengkelnya oleh situasi di negeri ini, 
seorang aparat protes kepada saya: "Kalau mau masuk surga, jangan jadi aparat!" 
Di satu sisi ia ingin tawadlu, mendekatkan diri kepada Allah. Di sisi lain, 
wajib mengumpulkan dana untuk si bos. Ia seperti sendirian di padang pasir dan 
jeritannya lenyap 

[wanita-muslimah] Inikah Indonesiaku? Duh ...!

2006-01-10 Terurut Topik Ambon
http://www.indomedia.com/bpost/012006/11/opini/opini2.htm

Inikah Indonesiaku? Duh ...!

Oleh : Pribakti B

Seorang teman saya bertanya: "Mengapa Indonesia bisa jadi 
'begini'? Maksudnya? Teman itu menyebutkan betapa permasalahan yang dihadapi 
bangsa kita begitu kompleks, tidak jelas kapan selesainya dan masalah baru 
selalu saja muncul setiap hari. Perhatikan masalah sosial, ekonomi, politik, 
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang rasanya begitu 'ruwet'. Borok itu 
hari demi hari keluar satu demi satu. Lalu, bagaimana tidak pesimis, kata teman 
itu, bahwa negeri ini sesungguhnya memang sudah rusak. Kerusakan yang sempurna, 
katanya menyitir ucapan seorang tokoh.

Sekarang ditambah lagi, Indonesia ternyata termasuk penghasil ektasi terbesar 
ketiga di dunia. Setelah itu, juga terbongkar penyuapan aparat kepolisian dalam 
kasus Bank BNI. Pengangguran dan utang luar negeri pun ternyata juga 
mengerikan. Meskipun semua itu belum selesai, muncul kelaparan di Yahukimo 
Papua dan teror bom di Palu.

"Mengapa bisa begitu?" tanya teman itu. Entahlah, saya tidak tahu persis.Tapi 
meskipun begitu, sesungguhnya apabila kita teliti permasalahannya, paling tidak 
ada dua hal yang menjadi sumber timbulnya masalah itu.

Pertama, permasalahan yang timbulnya di luar jangkauan kita. Masalah ekonomi 
misalnya, memiliki keterkaitan dengan berbagai masalah lain yang berada di luar 
kontrol kita. Masalah ini bahkan terkait dengan dunia luar, dengan prinsip 
globalisasi dan juga (tentunya) kepentingan negara lain.

Kedua, permasalahan yang sesungguhnya kita 'bikin' sendiri. Ada yang terkait 
kebijakan pemerintah, dan sikap masyarakat kita sendiri yang memang tidak 
kondusif. Ada pula yang terkait hukum kita yang memang tidak 'berdaya' 
menyelesaikan masalah itu. Lantas, bagaimana kita dapat keluar dari krisis yang 
sering dikatakan multidimensi itu?

Depresi

Jujur saja, gara-gara krisis multidimensi ini, stres dan depresi menggerogoti 
kita. Di warung, di jalan, di kantor, penyakit apa pun bisa terpicu. Sebab, 
begitu mata melek dan otak melahap koran pagi, hati geregetan oleh berita 
'klasik' korupsi. Sepertinya aturan dibuat untuk diakali. Dana Abadi Umat 
dibikin bancakan, diutak-atik secara 'kreatif'.

Semua itu mengingatkan saya pada sebuah lelucon yang dibuat mahasiswa UI di 
akhir 1970-an. Dikatakan, seorang bayi lahir. Ia normal dan tampaknya terlalu 
cerdas. Begitu merasakan sentuhan udara luar, ia menengok ke kiri dan ke kanan. 
Kemudian menjerit keras dan langsung mati, karena ia sadar telah lahir di 
Indonesia: sebuah negeri di mana berbagai gejala ketimpangan sosial dan 
ketidakadilan merajalela.

Inikah negeriku? Coba sekarang lihat sekeliling kita. Tiap ada pimpinan baru, 
misalnya, semua pada sibuk nguping kiri-kanan mencari objekan. Repotnya, kalau 
ketemu pejabat bertipe DKI alias Di Bawah Ketiak Istri. Ditanggung banyak 
bawahan mengalami stres berat. Maklum, macan betina itu lebih ngebos ketimbang 
bos sesungguhnya. Perilakunya tengil. Walau ia tidak memiliki meja kursi, 
merasa lebih memahami situasi kantor. Kemudian, lantaran sangat membanggakan 
pangkat dan jabatan suami, ia memunculkan pribadi yang sewenang-wenang tak 
kenal kompromi.

Lebih celaka lagi, mempan disindir. Benar-benar berkulit tebal. Berita busung 
lapar di daerah, umpamanya, tak lagi menggiriskan. Hidupnya jauh dari 
kesederhanaan. Hobinya jalan-jalan ke luar negeri. Jika berbelanja di mal, 
misalnya, anak buah suami yang 'berladang basah' jadi pendamping. "Parfum itu 
wanginya, aduh ...," katanya main tunjuk agar segera dibayari. Hobi lain adalah 
rajin mengamati iklan. Begitu muncul barang baru, anak buah suami dikontak. 
"Coba dicek, Nokia keluarkan HP baru. Anak saya ingin ganti HP," katanya. Tahu 
kan maksudnya? Itu identik dengan 'buruan beliin gue'.

Bahasa mencerminkan bangsa! Saking jengkelnya oleh situasi di negeri ini, 
seorang aparat protes kepada saya: "Kalau mau masuk surga, jangan jadi aparat!" 
Di satu sisi ia ingin tawadlu, mendekatkan diri kepada Allah. Di sisi lain, 
wajib mengumpulkan dana untuk si bos. Ia seperti sendirian di padang pasir dan 
jeritannya lenyap ditelan gurun.

Inikah Indonesiaku? Duh ...! Rasanya tiada lagi elit panutan. Situasinya 
mengarahkan orang untuk sepakat, uang adalah segalanya. Duit bisa menguasai 
siapa pun. Buntutnya dapat ditebak: Yang atas ngerampok, kelas menengahnya jadi 
maling, di bawahnya nyopet, dan paling rendah hanya bisa mulung, mengambil 
barang kantor satu atau dua biji. Apa tidak edan, man!

Mestinya sejak awal harus ada kesepakatan di antara kita, untuk setidaknya 
tidak memperbesar permasalahan yang ada. Jangan sampai ada kesan, sementara 
kita belum mampu menyelesaikan satu masalah, masalah lain muncul dari kita 
sendiri.

Psikosomatik

Begitulah. Ironis memang. Di negeri ini korupsi merajalela (istilah KPK: 
Darurat Korupsi). Depresi pun siap menerkam. Penyakit itu bisa mengarah lebih 
gawat: psikosomatik. Psyche berarti jiwa dan soma berarti tubuh. Tapi tidak 
usah