Re: [wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern

2007-12-03 Terurut Topik lasykar5
Terima kasih atas postingan berisi artikel-artikel islam ini bu noni. Tapi
jadi panjang juga ya bacanya, krn setidaknya ada 2 tema utama, yaitu tentang
'kebebasan berpendapat dalam beragama' (maaf kalo tidak setuju dengan
persepsi saya ini) dan tentang 'Islam dan Modernisme' ...

Selain koreksi dari bu Ning, saya juga ada koreksi buat Dawam, yaitu nama
jamaah bentukan Mawlana Maududi bukan Jamia'tul al-Muslimin tapi
Jamaat-e-Islami (didirikan th 1941). Bisa dilihat di sini,
http://en.wikipedia.org/wiki/Maududi. Syekh Maududi juga bukan ulama India
tapi Ulama Pakistan, meskipun beliau sudah menjadi ulama sebelum kemerdekaan
Pakistan dari India th 1947.

Buat sementara mungkin baru ini yang saya lihat perlu dikoreksi. Sekali lagi
terima kasih bu.

salam,
satriyo

On Dec 3, 2007 9:49 PM, noni marlini <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>  .
>
> Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM
>
> Istilah jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb,
> seorang ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang
> kemudian, bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh
> ulama India, Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan
> fundamentalisme Islam atau Islamisme di zaman modern.
> Sayid Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad Abduh.
> Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka
> jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa oleh
> Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada waktu itu,
> Mohammad Ali.
>
> Dalam penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya menyambut
> penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap kebudayaan
> Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan pakaian jilbab
> mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan membuat siaran-siaran
> radio serta TV yang mengusung kesenian dan kebudayaan Barat. Sikap seperti
> itu, menurut Qutb, adalah sikap yang mencerminkan kebodohan sebagian umat
> Islam, sehingga umat Islam tercebur ke dalam situasi jahiliyah modern.
>
> Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi,
> kaum jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya
> tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak
> pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb,
> jaliliyah modern adalah mereka yang justru menerima gagasan-gagasan
> pembaruan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern.
> Sebenarnya reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut
> Yahudi kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan
> Gereja Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen.
> Dari sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai fundamentalisme
> agama. Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap pejabat sinagoge,
> pastor, dan pendeta yang dinilai menerima dan mengembangkan pemikiran
> liberal. Preposisi mereka sebenarnya ingin menyeimbangkan iman dan tradisi,
> dengan ilmu pengetahuan modern. Tapi pandangan ini pun tetap ditolak.
> Berbeda dengan tiga kelompok agama itu, modernisme justru disambut oleh para
> ulama Islam, seperti Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir.
> Ulama-ulama pembaru itu tidak menganggap modernisme sebagai ancaman terhadap
> akidah, karena mereka berkeyakinan dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak
> mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme
> telah
> menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di
> Indonesia. KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang
> kemudian melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het
> Leight atau Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan
> menyelenggarakan pendidikan modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu
> keagamaan tradisional, tapi juga ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat
> Islam dan mengusir penjajahan Barat.
> Reaksi terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di
> dunia Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik,
> dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan modernisme.
> Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub
> sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala
> pengaruh luar, terutama Barat.
> Bagi mereka ini, Islam itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul
> Sunnah wa al-Jama'ah, sudah mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu
> sebenarnya dicela oleh Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal
> perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu
> justru membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang telah
> dikembangkan di Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat universal, yang
> berlaku dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang ras,
> agama, dan aliran politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan itu umat Islam
> dapat keluar dari situasi

[wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern

2007-12-03 Terurut Topik noni marlini
Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM
   
  Istilah  jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, 
seorang  ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian,  
bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India,  
Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam  
atau Islamisme di zaman modern. 
  Sayid  Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad 
Abduh.  Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka  
jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa  oleh 
Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada  waktu itu, 
Mohammad Ali. 
   
  Dalam  penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya 
menyambut  penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap  
kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan  pakaian 
jilbab mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan  membuat 
siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian dan  kebudayaan Barat. 
Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang  mencerminkan kebodohan 
sebagian umat Islam, sehingga umat Islam  tercebur ke dalam situasi jahiliyah 
modern.
   
  Sebenarnya,  jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, 
kaum  jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya  
tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka  menolak 
pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi  Qutb, jaliliyah 
modern adalah mereka yang justru menerima  gagasan-gagasan pembaruan yang 
terkandung dalam ilmu pengetahuan  modern. 
  Sebenarnya  reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut 
Yahudi  kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja 
 Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen.  Dari 
sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai  fundamentalisme agama. 
Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap  pejabat sinagoge, pastor, dan 
pendeta yang dinilai menerima dan  mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi 
mereka sebenarnya ingin  menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu 
pengetahuan modern. Tapi  pandangan ini pun tetap ditolak. Berbeda dengan tiga 
kelompok agama  itu, modernisme justru disambut oleh para ulama Islam, seperti 
Ahmad  Khan di India  dan Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu 
tidak menganggap  modernisme sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka 
berkeyakinan  dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan 
dengan  ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme telah
 menimbulkan  gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di Indonesia.  
KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian  
melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight  atau 
Al-Nur--menyambut  modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan 
modern yang  tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, tapi juga 
ilmu  pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir penjajahan  
Barat.
  Reaksi  terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di 
dunia  Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik,  
dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan  modernisme. 
Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada  Sayid Qutub 
sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang  menolak segala 
pengaruh luar, terutama Barat. 
  Bagi mereka ini, Islam  itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul 
Sunnah wa al-Jama'ah, sudah  mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu 
sebenarnya dicela oleh  Al-Quran, dengan istilah istaghna.  Padahal 
perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan  kebodohan itu justru 
membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang  memang telah dikembangkan di 
Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat  universal, yang berlaku dan 
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa  memandang ras, agama, dan aliran 
politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan  itu umat Islam dapat keluar dari 
situasi jahiliyah modern, yakni  situasi kegelapan atau kejumudan.
   
  Jadi  siapakah yang sebenarnya lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? 
 Pertama, mereka yang menolak ilmu pengetahuan modern dan tidak mau  
memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat. Penolakan itu bisa  terang-terangan, 
bisa pula berselubung, misalnya dengan mengemukakan  segi-segi negatif atau 
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak  diimbangi oleh nilai-nilai 
keagamaan. Masalahnya adalah doktrin  keagamaan dan filsafat ilmu Islam model 
Islamis itu tidak mendukung  perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan 
perkataan lain, kelompok  ini menentang modernisme dan modernisasi dengan 
melupakan manfaatnya  dan menonjolkan segi negatifnya.
  Kedua,  mereka yang secar

[wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern

2007-12-03 Terurut Topik noni marlini
Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM
   
  Istilah  jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, 
seorang  ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian,  
bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India,  
Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam  
atau Islamisme di zaman modern. 
  Sayid  Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad 
Abduh.  Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka  
jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa  oleh 
Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada  waktu itu, 
Mohammad Ali. 
   
  Dalam  penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya 
menyambut  penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap  
kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan  pakaian 
jilbab mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan  membuat 
siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian dan  kebudayaan Barat. 
Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang  mencerminkan kebodohan 
sebagian umat Islam, sehingga umat Islam  tercebur ke dalam situasi jahiliyah 
modern.
   
  Sebenarnya,  jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, 
kaum  jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya  
tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka  menolak 
pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi  Qutb, jaliliyah 
modern adalah mereka yang justru menerima  gagasan-gagasan pembaruan yang 
terkandung dalam ilmu pengetahuan  modern. 
  Sebenarnya  reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut 
Yahudi  kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja 
 Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen.  Dari 
sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai  fundamentalisme agama. 
Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap  pejabat sinagoge, pastor, dan 
pendeta yang dinilai menerima dan  mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi 
mereka sebenarnya ingin  menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu 
pengetahuan modern. Tapi  pandangan ini pun tetap ditolak. Berbeda dengan tiga 
kelompok agama  itu, modernisme justru disambut oleh para ulama Islam, seperti 
Ahmad  Khan di India  dan Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu 
tidak menganggap  modernisme sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka 
berkeyakinan  dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan 
dengan  ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme telah
 menimbulkan  gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di Indonesia.  
KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian  
melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight  atau 
Al-Nur--menyambut  modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan 
modern yang  tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, tapi juga 
ilmu  pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir penjajahan  
Barat.
  Reaksi  terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di 
dunia  Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik,  
dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan  modernisme. 
Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada  Sayid Qutub 
sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang  menolak segala 
pengaruh luar, terutama Barat. 
  Bagi mereka ini, Islam  itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul 
Sunnah wa al-Jama'ah, sudah  mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu 
sebenarnya dicela oleh  Al-Quran, dengan istilah istaghna.  Padahal 
perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan  kebodohan itu justru 
membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang  memang telah dikembangkan di 
Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat  universal, yang berlaku dan 
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa  memandang ras, agama, dan aliran 
politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan  itu umat Islam dapat keluar dari 
situasi jahiliyah modern, yakni  situasi kegelapan atau kejumudan.
   
  Jadi  siapakah yang sebenarnya lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? 
 Pertama, mereka yang menolak ilmu pengetahuan modern dan tidak mau  
memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat. Penolakan itu bisa  terang-terangan, 
bisa pula berselubung, misalnya dengan mengemukakan  segi-segi negatif atau 
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak  diimbangi oleh nilai-nilai 
keagamaan. Masalahnya adalah doktrin  keagamaan dan filsafat ilmu Islam model 
Islamis itu tidak mendukung  perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan 
perkataan lain, kelompok  ini menentang modernisme dan modernisasi dengan 
melupakan manfaatnya  dan menonjolkan segi negatifnya.
  Kedua,  mereka yang secar

[wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern

2007-12-03 Terurut Topik noni marlini
Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM
   
  Istilah jahiliyah modern  ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, 
seorang ulama Mesir dan pendiri  Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian, 
bersama-sama dengan Jamia'tul  al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India,  
Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam  
atau Islamisme di zaman modern. 
  Sayid Qutb sebenarnya adalah  murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad 
Abduh. Tapi ia justru menjadikan gurunya  itu sasaran kritiknya sebagai pemuka 
jahiliyah modern, karena Abduh menerima  modernisme Barat yang dibawa oleh 
Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh  Raja Mesir pada waktu itu, 
Mohammad Ali. 
   
  Dalam penerimaan modernisme  itu, para pembaru Islam tidak hanya 
menyambut penemuan-penemuan ilmu  pengetahuan modern, tapi juga menyerap 
kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb,  kaum muslimah menanggalkan pakaian 
jilbab mereka dan menggantikannya dengan  busana Barat dan membuat 
siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian  dan kebudayaan Barat. 
Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang  mencerminkan kebodohan 
sebagian umat Islam, sehingga umat Islam tercebur ke  dalam situasi jahiliyah 
modern.
   
  Sebenarnya, jika kita mengacu  pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, 
kaum jahiliyah adalah mereka yang  bertahan dengan kepercayaan dan budaya 
tradisional Arab yang menganut  kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak 
pembaruan Islam yang diusung oleh  Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb, jaliliyah 
modern adalah mereka yang justru  menerima gagasan-gagasan pembaruan yang 
terkandung dalam ilmu pengetahuan  modern. 
  Sebenarnya reaksi terhadap  modernisme dipelopori justru oleh penganut 
Yahudi kemudian diikuti oleh kaum  Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja 
Protestan, modernisme juga yang  melahirkan fundamentalisme Kristen. Dari 
sinilah kita sekarang memperoleh  pengertian mengenai fundamentalisme agama. 
Reaksi itu antara lain berupa  pemecatan terhadap pejabat sinagoge, pastor, dan 
pendeta yang dinilai menerima  dan mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi 
mereka sebenarnya ingin  menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu 
pengetahuan modern. Tapi pandangan  ini pun tetap ditolak. Berbeda dengan tiga 
kelompok agama itu, modernisme  justru disambut oleh para ulama Islam, seperti 
Ahmad Khan di India dan  Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu tidak 
menganggap modernisme  sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka 
berkeyakinan dan percaya diri  bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan 
dengan ilmu pengetahuan. Itulah  sebabnya, modernisme telah
 menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia  Islam, termasuk di Indonesia.  
KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian  
melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight  atau 
Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan  pendidikan 
modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional,  tapi juga 
ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir  penjajahan 
Barat.
  Reaksi terhadap modernisme  dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di 
dunia Islam ternyata justru  datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik, 
dan Kristen Protestan telah  jauh menerima serta mengembangkan modernisme. 
Jahiliyah modern sebenarnya  justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub 
sendiri, yang kemudian diikuti oleh  Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala 
pengaruh luar, terutama Barat. 
  Bagi mereka ini, Islam  itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul 
Sunnah wa al-Jama'ah, sudah  mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu 
sebenarnya dicela oleh  Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal perkembangan 
umat Islam yang  diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu justru membutuhkan 
ilmu pengetahuan  dan teknologi yang memang telah dikembangkan di Barat. Tapi 
ilmu pengetahuan  itu bersifat universal, yang berlaku dan bermanfaat bagi 
seluruh umat manusia,  tanpa memandang ras, agama, dan aliran politik. Hanya 
dengan ilmu pengetahuan  itu umat Islam dapat keluar dari situasi jahiliyah 
modern, yakni situasi  kegelapan atau kejumudan.
   
  Jadi siapakah yang sebenarnya  lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? 
Pertama, mereka yang menolak ilmu  pengetahuan modern dan tidak mau 
memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat.  Penolakan itu bisa terang-terangan, 
bisa pula berselubung, misalnya dengan  mengemukakan segi-segi negatif atau 
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut  tidak diimbangi oleh nilai-nilai 
keagamaan. Masalahnya adalah doktrin keagamaan  dan filsafat ilmu Islam model 
Islamis itu tidak mendukung perkembangan ilmu  pengetahuan modern. Dengan 
perkataan lain, kelompok ini menentang modernisme  dan modernisasi dengan 
melupakan manfaatnya dan menonjolkan segi negatifnya.
  Kedua, mereka yang secara  sadar at