Re: [wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern
Terima kasih atas postingan berisi artikel-artikel islam ini bu noni. Tapi jadi panjang juga ya bacanya, krn setidaknya ada 2 tema utama, yaitu tentang 'kebebasan berpendapat dalam beragama' (maaf kalo tidak setuju dengan persepsi saya ini) dan tentang 'Islam dan Modernisme' ... Selain koreksi dari bu Ning, saya juga ada koreksi buat Dawam, yaitu nama jamaah bentukan Mawlana Maududi bukan Jamia'tul al-Muslimin tapi Jamaat-e-Islami (didirikan th 1941). Bisa dilihat di sini, http://en.wikipedia.org/wiki/Maududi. Syekh Maududi juga bukan ulama India tapi Ulama Pakistan, meskipun beliau sudah menjadi ulama sebelum kemerdekaan Pakistan dari India th 1947. Buat sementara mungkin baru ini yang saya lihat perlu dikoreksi. Sekali lagi terima kasih bu. salam, satriyo On Dec 3, 2007 9:49 PM, noni marlini <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > . > > Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM > > Istilah jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, > seorang ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang > kemudian, bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh > ulama India, Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan > fundamentalisme Islam atau Islamisme di zaman modern. > Sayid Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad Abduh. > Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka > jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa oleh > Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada waktu itu, > Mohammad Ali. > > Dalam penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya menyambut > penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap kebudayaan > Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan pakaian jilbab > mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan membuat siaran-siaran > radio serta TV yang mengusung kesenian dan kebudayaan Barat. Sikap seperti > itu, menurut Qutb, adalah sikap yang mencerminkan kebodohan sebagian umat > Islam, sehingga umat Islam tercebur ke dalam situasi jahiliyah modern. > > Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, > kaum jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya > tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak > pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb, > jaliliyah modern adalah mereka yang justru menerima gagasan-gagasan > pembaruan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern. > Sebenarnya reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut > Yahudi kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan > Gereja Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen. > Dari sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai fundamentalisme > agama. Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap pejabat sinagoge, > pastor, dan pendeta yang dinilai menerima dan mengembangkan pemikiran > liberal. Preposisi mereka sebenarnya ingin menyeimbangkan iman dan tradisi, > dengan ilmu pengetahuan modern. Tapi pandangan ini pun tetap ditolak. > Berbeda dengan tiga kelompok agama itu, modernisme justru disambut oleh para > ulama Islam, seperti Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. > Ulama-ulama pembaru itu tidak menganggap modernisme sebagai ancaman terhadap > akidah, karena mereka berkeyakinan dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak > mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme > telah > menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di > Indonesia. KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang > kemudian melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het > Leight atau Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan > menyelenggarakan pendidikan modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu > keagamaan tradisional, tapi juga ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat > Islam dan mengusir penjajahan Barat. > Reaksi terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di > dunia Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik, > dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan modernisme. > Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub > sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala > pengaruh luar, terutama Barat. > Bagi mereka ini, Islam itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul > Sunnah wa al-Jama'ah, sudah mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu > sebenarnya dicela oleh Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal > perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu > justru membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang telah > dikembangkan di Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat universal, yang > berlaku dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang ras, > agama, dan aliran politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan itu umat Islam > dapat keluar dari situasi
[wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern
Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM Istilah jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, seorang ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian, bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India, Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam atau Islamisme di zaman modern. Sayid Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad Abduh. Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada waktu itu, Mohammad Ali. Dalam penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya menyambut penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan pakaian jilbab mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan membuat siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian dan kebudayaan Barat. Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang mencerminkan kebodohan sebagian umat Islam, sehingga umat Islam tercebur ke dalam situasi jahiliyah modern. Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, kaum jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb, jaliliyah modern adalah mereka yang justru menerima gagasan-gagasan pembaruan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern. Sebenarnya reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut Yahudi kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen. Dari sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai fundamentalisme agama. Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap pejabat sinagoge, pastor, dan pendeta yang dinilai menerima dan mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi mereka sebenarnya ingin menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu pengetahuan modern. Tapi pandangan ini pun tetap ditolak. Berbeda dengan tiga kelompok agama itu, modernisme justru disambut oleh para ulama Islam, seperti Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu tidak menganggap modernisme sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka berkeyakinan dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme telah menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight atau Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, tapi juga ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir penjajahan Barat. Reaksi terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di dunia Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik, dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan modernisme. Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala pengaruh luar, terutama Barat. Bagi mereka ini, Islam itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul Sunnah wa al-Jama'ah, sudah mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu sebenarnya dicela oleh Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu justru membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang telah dikembangkan di Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat universal, yang berlaku dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang ras, agama, dan aliran politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan itu umat Islam dapat keluar dari situasi jahiliyah modern, yakni situasi kegelapan atau kejumudan. Jadi siapakah yang sebenarnya lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? Pertama, mereka yang menolak ilmu pengetahuan modern dan tidak mau memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat. Penolakan itu bisa terang-terangan, bisa pula berselubung, misalnya dengan mengemukakan segi-segi negatif atau mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak diimbangi oleh nilai-nilai keagamaan. Masalahnya adalah doktrin keagamaan dan filsafat ilmu Islam model Islamis itu tidak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan perkataan lain, kelompok ini menentang modernisme dan modernisasi dengan melupakan manfaatnya dan menonjolkan segi negatifnya. Kedua, mereka yang secar
[wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern
Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM Istilah jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, seorang ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian, bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India, Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam atau Islamisme di zaman modern. Sayid Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad Abduh. Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada waktu itu, Mohammad Ali. Dalam penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya menyambut penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan pakaian jilbab mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan membuat siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian dan kebudayaan Barat. Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang mencerminkan kebodohan sebagian umat Islam, sehingga umat Islam tercebur ke dalam situasi jahiliyah modern. Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, kaum jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb, jaliliyah modern adalah mereka yang justru menerima gagasan-gagasan pembaruan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern. Sebenarnya reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut Yahudi kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen. Dari sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai fundamentalisme agama. Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap pejabat sinagoge, pastor, dan pendeta yang dinilai menerima dan mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi mereka sebenarnya ingin menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu pengetahuan modern. Tapi pandangan ini pun tetap ditolak. Berbeda dengan tiga kelompok agama itu, modernisme justru disambut oleh para ulama Islam, seperti Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu tidak menganggap modernisme sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka berkeyakinan dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme telah menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight atau Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, tapi juga ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir penjajahan Barat. Reaksi terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di dunia Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik, dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan modernisme. Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala pengaruh luar, terutama Barat. Bagi mereka ini, Islam itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul Sunnah wa al-Jama'ah, sudah mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu sebenarnya dicela oleh Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu justru membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang telah dikembangkan di Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat universal, yang berlaku dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang ras, agama, dan aliran politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan itu umat Islam dapat keluar dari situasi jahiliyah modern, yakni situasi kegelapan atau kejumudan. Jadi siapakah yang sebenarnya lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? Pertama, mereka yang menolak ilmu pengetahuan modern dan tidak mau memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat. Penolakan itu bisa terang-terangan, bisa pula berselubung, misalnya dengan mengemukakan segi-segi negatif atau mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak diimbangi oleh nilai-nilai keagamaan. Masalahnya adalah doktrin keagamaan dan filsafat ilmu Islam model Islamis itu tidak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan perkataan lain, kelompok ini menentang modernisme dan modernisasi dengan melupakan manfaatnya dan menonjolkan segi negatifnya. Kedua, mereka yang secar
[wanita-muslimah] Islam Puritan, Jahiliyah Modern
Jahiliyah Modern M. Dawam Rahardjo, CENDEKIAWAN MUSLIM Istilah jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, seorang ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian, bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India, Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam atau Islamisme di zaman modern. Sayid Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad Abduh. Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada waktu itu, Mohammad Ali. Dalam penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya menyambut penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan pakaian jilbab mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan membuat siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian dan kebudayaan Barat. Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang mencerminkan kebodohan sebagian umat Islam, sehingga umat Islam tercebur ke dalam situasi jahiliyah modern. Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, kaum jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb, jaliliyah modern adalah mereka yang justru menerima gagasan-gagasan pembaruan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern. Sebenarnya reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut Yahudi kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen. Dari sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai fundamentalisme agama. Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap pejabat sinagoge, pastor, dan pendeta yang dinilai menerima dan mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi mereka sebenarnya ingin menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu pengetahuan modern. Tapi pandangan ini pun tetap ditolak. Berbeda dengan tiga kelompok agama itu, modernisme justru disambut oleh para ulama Islam, seperti Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu tidak menganggap modernisme sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka berkeyakinan dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme telah menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight atau Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, tapi juga ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir penjajahan Barat. Reaksi terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di dunia Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik, dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan modernisme. Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala pengaruh luar, terutama Barat. Bagi mereka ini, Islam itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul Sunnah wa al-Jama'ah, sudah mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu sebenarnya dicela oleh Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu justru membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang telah dikembangkan di Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat universal, yang berlaku dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang ras, agama, dan aliran politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan itu umat Islam dapat keluar dari situasi jahiliyah modern, yakni situasi kegelapan atau kejumudan. Jadi siapakah yang sebenarnya lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? Pertama, mereka yang menolak ilmu pengetahuan modern dan tidak mau memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat. Penolakan itu bisa terang-terangan, bisa pula berselubung, misalnya dengan mengemukakan segi-segi negatif atau mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak diimbangi oleh nilai-nilai keagamaan. Masalahnya adalah doktrin keagamaan dan filsafat ilmu Islam model Islamis itu tidak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan perkataan lain, kelompok ini menentang modernisme dan modernisasi dengan melupakan manfaatnya dan menonjolkan segi negatifnya. Kedua, mereka yang secara sadar at