http://www.kompas.com/read/xml/2009/05/06/14421849/kebebasan.pers.di.indonesia.masih.dibatasi


Kebebasan Pers di Indonesia Masih Dibatasi
Rabu, 6 Mei 2009 | 14:42 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam menjalankan tugasnya, kaum jurnalis membutuhkan 
kebebasan dalam menyampaikan berita kepada khayalak. Namun sayang, hingga Mei 
2009, Indonesia masih memiliki produk-produk hukum yang menghambat kebebasan 
pers.

"Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih memidanakan pencemaran nama 
baik, berita bohong, dan berita yang dianggap meresahkan masyarakat. Permohonan 
uji materi terhadap pasal-pasal yang mempidanakan pencemaran pejabat tidak 
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Nezar Patria Ketua AJI Indonesia, di 
sela-sela acara Syukuran Kemenangan Time vs Soeharto, di Jakarta Media Center, 
Rabu (6/5).

Di samping itu, lanjut dia, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang yang mengatur 
e-comerce tersebut mengandung pasal defamsi (pencemaran nama baik) dan berita 
bohong, dengan ancaman penjara 6 tahun atau 6 kali ancaman dalam KUHP.

Sementara itu, pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum 
Anggota Legislatif dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan 
Presiden dan Wakil Presiden terdapat pasal-pasal yang memidanakan pemberitaan 
serta ancaman bredel bagi masyarakat.

Selanjutnya, Nezar menambahkan, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 
2008 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. "Undang-undang tersebut 
masih mengandung pasal pemidanaan bagi setiap orang yang menyalahgunakan 
informasi yang dirahasiakan," kata Nezar.

Disahkannya UU No 44 tahun 2008 tentang pornografi menambah ancaman bagi pers. 
Pers yang menerbitkan tulisan, gambar, maupun audiovisual yang mengandung 
pornografi dapat dijerat hukum pidana. Inti permasalahannya ada pada definisi 
pornografi yang sangat lentur sehingga menimbulkan multitafsir.

Peraturan lain yang juga merugikan kebebasan pers adalah saat ini terdapat 
beberapa rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengkriminalisasikan 
pers.

"Selain itu, saat ini terdapat juga Rancangan Undang-undang Rahasia Negara yang 
tengah dibahas DPR. RUU Rahasia negara berpotensi menjadi landasan hukum untuk 
melarang jurnalis mencari informasi mengenai masalah-masalah publik yang telah 
diatur dalam UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik," kata Nezer.

Dengan adanya peraturan-peraturan itu, kebebasan pers masih dibatasi. Oleh 
karena itu, Nezar meminta kepada masyarakat untuk memperjuangkan penghapusan 
pasal-pasal yang membatasi pers.

+++

http://www.kompas.com/read/xml/2009/05/06/13502773/kekerasan.dan.kriminalisasi.hantui.pers



Kekerasan dan Kriminalisasi Hantui Pers
Rabu, 6 Mei 2009 | 13:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -Kekerasan masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers di 
Indonesia, disamping kriminalitas dan gugatan hukum serta regulasi.

Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009 Aliansi Juranilistik Independent (AJI) 
mencatat terdapat 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis, kekerasan tersebut 
terdiri dari kekerasaan fisik dan non fisik. "Bentuk kekerasan fisik yang 
paling banyak adalah pemukulan, dengan jumlah 19 kali. Perampasan kamera atau 
alat kerja terjadi 7 kasus.  Disamping itu terjadi kasus pembunuhan di Bali, 
dengan motivasi tidak diketahui. Sedangkan kasus penyanderaan terjadi satu 
kali," ujar Nezar Patria Ketua AJI Indonesia, dalam acara Syukuran Kemenangan 
Time vs Soeharto, di Jakarta Media Center, Rabu (6/5).

Sedangkan untuk kekerasan non fisik, lanjut dia, yang paling sering terjadi 
adalah ancaman sebanyak 9 kali dan yang kedua adalah larangan meliput sebanyak 
8 kali.

Berdasarkan wilayahnya, kekerasan yang paling banyak terjadi di Jakarta, 
sebanyak 6 kasus, urutan kedua adalah di Sulawesi Selatan dengan 5 kasus. 
Sedangkan di  Maluku Utara, dimana terjadi konflik pascapemilihan Gubernur yang 
mengakibatkan kasus intimidasi terhadap jurnalis sebanyak 4 kali.

Motivasi kekerasan tersebut paling banyak tersebut paling banyak dikarenakan 
pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kasus), yang 
kedua adalah pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kasus) dan motivasi 
lain adalah pelaku ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang 
dirahasiakan.

Selanjutnya Nezar juga menerangkan, disamping kekerasan, tindakan hukum juga 
menjadi hambatan terhadap kekerasan pers. Tindakan tersebut meliputi pemidanaan 
dan gugatan perdata. "Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus 
hukum yang sedang diadili diberbagai peradilan, Semua kasus hukum tersebut 
adalah kasus pencemaran nama baik (defamation law), baik itu pidana (criminal 
law) maupun perdata (civil law)" terang dia.

Ia memberikan contoh kasus yang terjadi oleh seorang jurnalis di Makasar 
Jupriadi Asmaradhana diadlili dengan tuduhan pencemaran nama baik mantan kepala 
Polisi Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, Inspektur Jendral Polisi Sisno 
Adiwinoto. Upi dituntut dengan serangkaian pasal dengan ancaman maksimum 4 
tahun penjara, selain itu Upi juga digugat secara perdana, dengan tuntutan 
kerugian materiil Rp 25 juta, kerugian imateril Rp10 miliar serta uang paksa Rp 
100 ribu perhari jika terjadi kelambatan pembayaran.

Dengan banyaknya kasus yang menimpa para jurnalis dalam melakukan tugasnya, 
Nezar melihat diperlukan perlindungan terhadap para jurnalis di lapangan. 
"Perlu perbaikan regulasi terkait dengan pers. Pasal-pasal pidana mengenai 
pencemaran nama dalam KUHP maupun undang-undang lain harus dihapuskan," ujarnya.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke