Kekuatan Memberi

"Rahasia kemakmuran adalah kedermawanan, karena dengan membagi 
kepada orang lain, hal baik yang akan diberikan dalam kehidupan 
kita, bahkan berkelimpahan."
-- J. Donald Walters, penulis dan pengajar asal Rumania, tinggal di 
India

KISAH nyata ini keluar dari mulut Sang Dokter. Pria yang sehari-hari 
berprofesi sebagai dokter mata ini membuka prakteknya di bilangan 
Rawamangun, Jakarta Timur. Selain itu, ia juga melayani konsultasi 
masalah keluarga, termasuk masalah spiritual. Tanpa dipungut biaya, 
alias gratis. Sang dokter menolak dengan halus setiap pemberian uang 
sebagai imbalan jasa konsultasi. Ia malah menyarankan agar uangnya 
diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya, seperti 
yayasan yatim piatu. 

Suatu hari, sang dokter kedatangan tamu seorang ibu beserta putranya 
yang telah menginjak usia paruh baya. Sang anak dalam keadaan lumpuh 
kakinya, sehingga ia harus berada di kursi roda. Maksud kedatangan 
mereka sesungguhnya ingin menanyakan seputar masalah keluarga. 
Tetapi begitu tiba di ruang dokter, sebelum menyampaikan keluhannya, 
sang dokter mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah terhadap si 
anak. Putranya, menurut sang dokter, pernah mempunyai kesalahan yang 
membuat ibunya sakit hati. Sang anak tentu saja kebingungan. Begitu 
pula sang ibu, yang tahu-tahu diungkit peristiwa di masa lalu. Sang 
anak mencoba mengingat-ingat kembali peristiwa masa lampau. Sang ibu 
memang mengakui kalau ia dulu pernah sakit hati oleh tindakan 
anaknya. Hal itu terus membekas di hatinya menjadi goresan luka 
batin, yang akhirnya teringat kembali saat itu juga.

Akhirnya, sang anak pun teringat akan kekilafannya. Ia menyesal dan 
menangis. Secara susah payah, sang anak berusaha bangkit dari kursi 
rodanya untuk bersimpuh di hadapan kaki ibunya meminta maaf. Ibunya, 
dengan berlinang air mata, secara tulus akhirnya memaafkan kesalahan 
putranya di masa lampau. Secara refleks, sang ibu mengangkat 
putranya berdiri untuk memeluk dan menciumnya. Ajaib, seketika itu 
juga sang anak dapat berdiri tanpa dibantu lagi oleh kursi roda. 
Sang ibu memang hanya memberikan maaf dengan tulus, tetapi efeknya 
sungguh luar biasa. 

Kisah ini memang bertolak belakang dengan legenda Malin Kundang. 
Dimana sang Ibu menyumpah anaknya menjadi batu. Tak ada batu 
berbentuk manusia. Itulah logika yang paling benar dari cerita yang 
menyangkut hubungan ibu dan anak. Kisah Malin Kundang selama ini 
oleh beberapa pihak dinilai jauh dari cinta kasih seorang ibu yang 
sebenarnya. Walau begitu, tetap ada hikmah yang dapat dipetik dari 
legenda tersebut. 

Sejatinya, Ibu mana yang tega melihat anaknya susah, apalagi menjadi 
batu sesuai dengan sumpahnya. Alamak, Ibu adalah pintu keluasan hati 
dan penuh maaf. Berkacalah pada ibu. Dia akan rela lebih menderita, 
ketimbang melihat anaknya yang kesusahan. Dia akan menyisihkan nasi 
yang ada untuk anaknya, walau ia sendiri lapar. Dia akan memakan 
makanan yang bergizi agar janin dalam tubuhnya bisa tumbuh sehat. 
Seperti dalam bait lagu, 'hanya memberi, tak harap kembali.' Betul, 
tak pernah berharap mendapatkan balasan dari semua yang telah 
dilakukannya. Itulah makna dari memberi yang sesungguhnya. 

Memberi? Betul, memberi. Makna dari sebuah pemberian memang besar 
artinya. Lantas, mengapa orang yang berkelimpahan enggan untuk 
memberikan sesuatu? Atau, mengapa orang enggan memberikan maaf? 
Karena mungkin ia berpikir, bila ia memberi kekayaan, pemberian itu 
akan habis begitu saja tanpa kembali. Atau mungkin ia berpikir, 
harga dirinya akan turun kalau ia memberikan maaf kepada orang yang 
menyakitinya. Padahal justeru sebaliknya. Semakin banyak memberi, 
akan lebih semakin banyak menerima. Kalau orang mengetahui kekuatan 
memberi, percayalah, akan banyak orang yang berlomba-lomba untuk 
memberikan segala sesuatunya. 

Itulah mengapa, dalam setiap agama selalu diajarkan untuk memberikan 
sesuatu yang kita miliki. Selain diajarkan selalu memberikan 
kebajikan, juga kekayaannya. Umat Islam mengenal Zakat dan Sedekah. 
Umat Kristen Protestan mengenal perpuluhan, yaitu kewajiban untuk 
memberikan sepersepuluh dari pendapatannya kepada rumah Tuhan,  dan 
Elemosune, yang dapat diterjemahkan dengan kata memberi sedekah. 
Umat Katholik mengenal Persepuluhan dan juga Sedekah. Umat Hindu 
mengenal Sedekah Dana Punia, yaitu pemberian yang dilakukan secara 
sukarela dan tulus ikhlas berupa materi. Sedangkan Buddha 
mengajarkan bagaimana menggunakan kekayaan yang telah dimiliki, 
yaitu bila ia perumah tangga yang baik, mengumpulkan harta dengan 
cara-cara baik, ia harus membantu sanak familinya, serta orang lain 
dalam empat bagian, juga dikenal Amisa Dana, yaitu memberikan 
bantuan dalam bentuk materi kepada yang membutuhkan.

Pemberian itu seyogianya dilakukan dengan ikhlas, diberikan pada 
tempat dan waktu yang tepat. Juga pemberian itu haruslah bertujuan 
mulia. Yang patut diingat, memberi tak harus berupa uang. Ia bisa 
berupa apa saja. Sekarang, tengoklah lemari pakaian Anda. Apa yang 
Anda lihat? Tentu saja sederetan pakaian yang Anda miliki. Nah, 
ambil sebanyak mungkin. Bila perlu semuanya, untuk kemudian Anda 
serahkan kepada mereka yang membutuhkannya, misalnya yayasan yatim 
piatu. Kalau merasa sayang, sisakan beberapa setel saja untuk Anda 
pakai dalam bekerja selama satu minggu atau untuk Anda pakai sehari-
hari. Tak perlu banyak berpikir. Pakaian itu mungkin sudah 
ketinggalan jaman. Anda perlu memberi lagi yang baru.

Sebuah penelitian menunjukkan, dengan memberi terhadap sesama, 
membuat diri kita menjadi lebih bahagia. Hukum kekekalan energi 
mengatakan, tiada energi yang hilang bila dikeluarkan. Ia akan 
kembali dalam bentuk lain. Begitu pula soal kebaikan, apapun. Ia tak 
akan hilang walau Anda telah memberikannya. Bahkan Deepak Chopra 
dalam '7 Spiritual Law of Success' mencantumkan 'Law of Giving' 
sebagai hukum kedua untuk sukses.

Nah, mulai sekarang, banyak-banyaklah memberi. Memberi maaf. Memberi 
senyum. Memberi kebajikan. Memberi kemuliaan. Memberi materi. Dan 
sebaiknya, tak usah berharap dari semua pemberian yang telah Anda 
lakukan. Karena itulah kebahagiaan sesungguhnya yang didapatkan. 
Kebahagiaan memberi. Seperti yang dilakukan ibu terhadap kita: hanya 
memberi, tak harap kembali. (220908)

Sumber: Kekuatan Memberi oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di 
Jakarta


Kirim email ke