http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=19921:keluarga-dan-pangan&catid=78:umum&Itemid=131
Keluarga dan Pangan Oleh : Ir. Fadmin Prihatin Malau Hari keluarga di Indonesia dikaitkan dengan instansi yang bertanggungjawab atas pengendalian penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB) yakni Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lantas, program KB itu dicanangkan oleh Presiden Soeharto di Lampung pada 29 Juni 1993 dan tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas). Sangat berbeda dengan di negara-negara Barat, hari keluarga (Family Day) dicanangkan dari masyarakat sebagai ajang internal untuk pendekatan anggota keluarga di negara itu. Boleh jadi karena latar belakang penetapannya berbeda maka definisi hari keluarga juga berbeda. Di Indonesia Harganas didefinisikan sebagai gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran. Dalam programnya mengkampanyekan penggunaan alat kontrasepsi dan pengendalian laju pertambahan penduduk dengan slogan "Dua Anak Saja Cukup" Beragam kampanye dilakukan pada era Orde Baru (era 1980-an) ada mata uang Rp 5 dengan lukisan (gambar) timbul pada satu sisinya potret keluarga harmonis dengan seorang ayah, ibu dan dua orang anak. Pada berbagai tempat dibangun tugu (monumen) yang bertemakan kampanye keluarga berencana. Pada dasarnya Harganas itu tidak dapat lepas dari persaingan pertumbuhan penduduk dan produksi pangan yang terjadi di dunia. Penting, karena menentukan keberlangsungan hidup manusia. Pada abad ke-17, Thomas Robert Malthus (1798) telah mengeluarkan teorinya yang memprediksikan manusia akan menghadapi kesulitan dalam menyediakan pangannya. Teori Malthus itu menyatakan pertumbuhan produksi pangan seperti deret hitung dan pertumbuhan penduduk seperti deret ukur. Teorinya deret hitung; 1,2,3,4,5,6 dan seterusnya. Deret ukur; 1,2,4,16, 32,64 dan seterusnya. Artinya ketika pertambahan pangan 1, pertambahan penduduk 1. Ketika bertambahan pangan 2, pertambahan penduduk 2. Ketika pertambahan pangan 3, pertambahan penduduk 4. Ketika pertambahan pangan 4, pertambahan penduduk 16 dan seterusnya. Teori ini membuat penduduk dunia cemas karena jumlah penduduk dunia terus bertambah. Berbagai negara berkontribusi menambah penduduk dunia, diperkirakan tahun 2010 penduduk Asia Pasific mencapai 4 miliar. India dan China lebih dari 2 miliar, Pendudukan Indonesia hampir seperempat miliar jiwa. Lihat saja pertumbuhan penduduk Indonesia, tahun 1900 sekitar 40 juta jiwa, lantas 120 juta jiwa (1970), 147 juta jiwa (1980), 179 juta jiwa (1990), 206 juta jiwa (2000) dan mencapai 225 juta jiwa (2007) ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS 2009). Era orde baru Indonesia dinilai sebagai negara yang sukses mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana yang dilaksanakan sejak 1968 karena secara nasional tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2 persen per tahun sehingga wajar di era orde baru Indonesia berhasil swasembada beras. Pertumbuhan penduduk yang dicapai rata-rata 2 persen itu dan berhasil swasembada beras pada pasca reformasi cenderung mengalami stagnasi karena berbagai faktor, pemerintah tidak fokus lagi kepada pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pangan. Menjawab Teori Maltus Para pakar, praktisi pertanian berupaya menjawab teori Maltus. Bagaimana ancaman kelaparan, kekurangan pangan di dunia dapat diatasi. Terus dilakukan upaya menjawab teori Maltus itu dan ada satu jawaban yang pasti yakni inovasi teknologi pangan dan pengendalian pertumbuhan penduduk. Indonesia akhirnya melakukan pendekatan pertumbuhan penduduk untuk mengatasi kebutuhan pangan. Konsumsi pangan Indonesia utama adalah karbohidrat (beras). Berdasarkan data BPS, tahun 1970-1990 konsumsi beras per kapita per tahun meningkat yaitu 109 kg (1970), 122 kg (1980) dan menjadi 149 kg (1990). Setelah tahun 1990, konsumsi beras sedikit menurun yaitu 114 kg per orang per tahun pada tahun 2000. Secara dunia tercatat pertumbuhan penduduk yang pesat menuntut pemenuhan pangan yang sangat besar. Kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung) di Asia meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton tahun 2020. Tidak heran masalah krisis pangan dunia ditandai dengan kelangkaan pangan dan melonjaknya harga pangan pada pasar internasional tahun 2008. Indonesia sebagai negara agraris (pertanian) produksi pangan seharusnya mampu menjawab kebutuhan penduduknya apa bila memang serius menanganinya, tidak hanya menjadi retorika dan bahan kampanye pemilihan presiden yang menyebutkan dalam dua tahun terakhir dikatakan Indonesia swasembada beras. Bagaimana untuk jangka panjang? Teori Maltus harus dijawab tuntas, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pangan atau sederhananya keluarga dan pangan. Jangan hanya sebatas retorika dan dikampanyekan sewaktu ada suksesi kekuasaan. Solusinya, meningkatkan produksi pangan dengan menambah areal pertanian. Data areal pertanian selama 5 tahun terakhir (2004-2008) adalah; areal tanaman padi meningkat 0,47 juta ha dengan komposisi 11,92 juta ha tahun 2004 menjadi 12,39 juta ha tahun 2008. Dari segi produktivitas mengalami peningkatan 0,32 ton per ha dengan komposisi 4,54 ton per ha tahun 2004 dan 4,86 ton per ha tahun 2008. Pertumbuhan yang sangat memprihatinkan sebab bila prediksikan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 nanti sebesar 300 juta jiwa maka kebutuhan beras akan mencapai 80-90 juta ton per tahun. Seandainya luas lahan tanaman padi tidak berubah dari 12 juta ha per tahun, maka bencana kekurangan pangan bagi keluarga Indonesia akan terjadi. Mengerikan! Jangan sampai terjadi maka mission impossible jangan diambil, retorika hentikan. Inovasi, pembukaan lahan (persawahan) baru segera dilakukan. Teori Malthus sampai detik ini masih tetap menghantui. Agar tidak menghantui kemampuan secara terus menerus menyediakan pangan dengan melampaui pertumbuhan penduduk adalah jawabannya. Disamping itu perlu pengendalian pertumbuhan penduduk untuk menciptakan pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan yang baik bagi masyarakat. Tujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi dan juga membangun partnership dengan kalangan swasta dan korporasi untuk mewujudkan ketahanan pangan. Pemanfaatan lahan produktif mutlak untuk pertanian dan lahan lahan kering juga harus dioptimalkan pemanfaatannya. Berdasarkan data World Bank (2003), lahan kering di Indonesia ada 24 juta ha, lahan ini juga potensial untuk program diversifikasi pangan dan diversifikasi produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan, dan perkebunan. Hal ini penting karena bahan pangan non-padi dapat diproduksi dari lahan kering non-sawah. Berdasarkan data yang ada dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan sedikitnya 5 juta ha sawah subur karena alih fungsi lahan menjadi perumahan, jalan, pabrik dan lain sebagainya. Contoh sederhana, 20 tahun yang lalu jika melintasi jalan dari Medan ke Tebing Tinggi setengah dari waktu perjalanan di dalam mobil masih menatap sawah. Bagaimana dengan sekarang? Hampir tidak dilihat lagi sawah ada di tepi jalan lintas Medan-Tebing Tinggi itu. *** Penulis adalah sarjana Pertanian, mantan guru Sekolah Pembangunan Pertanian (SPP) Putjut Baren Medan, mantan Sekretaris Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Sumatera Utara dan pemerhati masalah sosial ekonomi pertanian. [Non-text portions of this message have been removed]