[wanita-muslimah] Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri?

2005-11-13 Terurut Topik Ari Condro
Islam

Mereka berkuda ke luar kota, menuju ke arah padang pasir. Bangsawan tua itu
duduk tegak di pelana, dan putranya, Ali Khan, berada di sebelahnya.

Anak muda itu sedang jatuh cinta. Ia berniat menikah. Sang ayah pun
mendengarkan kehendak itu, setengah acuh tak acuh, lalu mengucapkan
sepotong nasihat: "Orang mencintai tanah airnya," katanya, "atau menyukai
perang. Sebagian mencintai permadani yang cantik dan senjata yang langka.
Tapi tak pernah terjadi, laki-laki mencintai seorang perempuan."

Bagi orang tua itu, perempuan adalah sebuah benda yang bisa dinilai lebih
rendah ketimbang karpet dan kelewang. Perempuan adalah sarana untuk
mendapatkan anak, tak lebih, tak kurang. "Kamu masih sangat muda, Ali
Khan," kata sang ayah pula. "Pinggul seorang perempuan lebih penting
ketimbang pengetahuan bahasanya."

Jika tuan terkejut, marah, atau tak nyaman mendengar ucapan misogynistis
yang menghina ini, baiklah kita ingat bahwa Ali Khan dan ayahnya hidup
dalam novel Ali und Nino, yang terbit pertama kali pada 1937 di Wina.
Ceritanya dibangun sebagai deskripsi yang elok tentang sebuah tempat dan
masa yang eksotis: Kota Baku di Azerbaijan pada awal abad ke-20, ketika dua
"kebudayaan" bertemu, bersengketa, dan mencoba hidup bersama. Yang pertama
kebudayaan "Eropa" atau "Kristen", yang lain tentu saja "Asiatik" atau
"Muslim".

Dari kata-kata Safar Khan, sang ayah, kita bisa tahu apa perannya: dialah
pembawa suara "Muslim". Bersama dia, Sayid Mustafa, seorang keturunan Nabi,
anak seorang imam masjid besar dan cucu seorang alim yang menjaga makam
Imam Reza di Kota Meshed. Syahdan, inilah pendapat sang Sayid: "Perempuan
itu sekadar sepetak tanah, dan di atasnya laki-laki menggaru.. Nikahlah,
tapi ingat: perempuan hanya sepetak tanah."

Jika dibaca lebih tekun, akan terasa bahwa Ali und Nino bukanlah sebuah
novel dengan watak-watak yang rumit dan bergejolak. Cerita ini bertopang
pada sejumlah stereotip: tokoh dan ucapan yang terdapat di
dalamnya--terutama bila menyangkut Islam--hanyalah hasil cetakan sebuah
pakem yang beredar berulang kali, seraya disesuaikan dengan pandangan dan
selera orang ramai.

Demikianlah, si "Muslim" selamanya jadi kosok-balik yang lengkap bagi
"Kristen", kontras yang tajam terhadap si "Eropa"--terutama perihal
perempuan dan kekerasan.

Persoalannya, tentu, benarkah jadi "Muslim" berarti harus berperilaku yang
berlawanan dengan apa yang dianggap "Eropa". Haruskah "Islam" berarti
"musuh Barat", dan untuk menegaskan permusuhan itu, si Muslim harus
melakukan hal-hal yang ia duga tak dilakukan di "Barat"--misalnya menghina
perempuan seraya merayakan perang dan kegagahan?

Penulis novel ini, memakai nama Kurban Said, tampaknya berpandangan begitu.
Ia seorang Muslim. Tapi ia punya kisah yang tak sederhana.

Dalam riwayat hidupnya yang penuh warna-warni, yang ditulis secara menarik
Tom Reiss dalam The Orientalist, diungkapkan bahwa ia lahir di Baku pada
1905. Nama sebenarnya Lev Nussimbaum, seorang berdarah Yahudi yang lahir
dalam keluarga yang jadi kaya karena minyak bumi.

Ketika Lev berumur 13, Uni Soviet, yang baru menegakkan kekuasaannya lewat
Revolusi Oktober 1917 di Rusia, merebut kota itu. Si Ibu membunuh diri, dan
si ayah pun membawa si bocah mengungsi melalui Turkestan, Persia, dan
Pegunungan Kaukasus. Akhirnya anak dan ayah itu sampai ke Berlin.

Di sini, ketika ia berumur 17, Lev memutuskan masuk Islam. Ketika
mendaftarkan diri jadi mahasiswa di Friedrich-Wilhelms-Universität, ia
memakai nama "Essad Bey Nousimbaoum". Dalam beberapa fotonya--misalnya yang
dipasang di kulit-muka The Orientalist--ia tampak memakai fez orang Turki,
bahkan juga memakai igal, seakan-akan ia seorang syekh dari Arabia.

Tak jelas benar apa yang mendorongnya jadi Muslim. Menurut penulis The
Orientalist, perjalanan Lev dan ayahnya menempuh Pegunungan Kaukasus,
ketika mereka melarikan diri dari Revolusi Rusia, punya bekas: dari sana
tumbuh dalam dirinya sebuah pandangan bahwa Islam adalah "satu penopang
perjuangan heroik di dunia yang dikuasai kekuatan kasar dan ketidakadilan".
Sejak umur 10, Lev menganggap Islam bagian dari dirinya. Ia sudah
mencita-citakan orang Yahudi dan Muslim bersatu "dalam perjuangan mereka
melawan Barat dan kekerasan massalnya".

Itu tahun 1930-an, sebuah zaman yang aneh jika dilihat dengan mata orang
sekarang. Pada masa itu tak tampak mengherankan bila ada orang Yahudi--kaum
yang berabad-abad terjepit di Eropa--yang memandang diri senasib
sepenanggungan dengan orang Islam. Seorang Zionis, Wolfgang von Weisl,
bahkan konon mendampingi Lev Nussimbaum menulis risalah dengan judul "Allah
Mahabesar: Turun dan Naiknya Dunia Islam".

Tapi benarkah Nussimbaum alias Essad Bey alias Kurban Said berharap
"Naiknya Dunia Islam"? Apa gerangan "Dunia Islam" itu?

Tak mudah dijawab. Jika kita ikuti Ali und Nino, "Dunia" itu adalah sebuah
antitesis terhadap apa yang disebut "Barat". Di sanalah, misalnya, seperti
digambarkan dalam novel itu, para lelaki dengan nyaman mengucapkan
kata-kata yang merendahkan perem

[wanita-muslimah] Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche!

2005-11-12 Terurut Topik radityo djadjoeri
Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche!
 
Gara-gara tulisan bertajuk "Jangan salahkan Nietzche!" sebagai tanggapan atas 
tulisan "License to kill God", bejibun email masuk ke mailbox saya sekadar 
mempertanyakan: "Kenapa kok orang Yahudi kala itu dimusuhi orang-orang Eropa? 
Kenapa mereka sampai dibunuhi?" Jawabannya tentu tak sependek pertanyaannya. 
Yang jelas, istilah Yahoo (baca: Yahudi) sendiri kini mengandung beragam makna. 
Yahudi sebagai sebuah agama yang terpuruk oleh kehadiran Kristen dan Islam 
(istilah bisnisnya: pemasaran mereka
sudah jeblok), Yahudi sebagai sebuah bangsa yang populasinya kian merosot 
karena sudah jutaan umat yang dibunuhi, Yahudi sebagai sebuah tradisi turun 
temurun, dan Yahudi sebagai sebuah budaya peninggalan masa lalu. 
 
Yahudi di Indonesia
 
Kini yang disebut orang Yahudi tak sekadar penduduk di negeri Israel atau 
orang-orang bertopi hitam bak tukang sulap yang suka lalu-lalang di  
stasiun-stasiun subway di New York, Chicago, London, dan Paris. Mereka ada juga 
yang berkulit hitam, bertampang Indo, berwajah India, dan berkulit kuning 
langsat plus bermata sipit seperti yang ada di Hong Kong dan Singapura. Kalau 
di Indonesia, coba tengok sosok Cornelia Agatha, Yapto Soeryosoemarno, Abel 
(pacar Dian Sastrowardoyo), Marini (mantan istri Idris Sardi), Letizia Musri 
(mantan Gadis Sampul), dan si pengusaha jam tangan mewah Irwan Musri yang 
dikabarkan lagi dekat dengan Desi Ratnasari, seorang kakek tua keturunan Yahudi 
Irak yang penjaga rongsokan sinagog di 
Surabaya, seorang mahasiswa kedokteran umum UNAIR, dan segelintir lainnya yang 
masih tersisa. Mereka semua adalah keturunan Yahudi hasil perkawinan silang 
dengan ras lain. 
 
Yahudi berkerudung dan sunat
 
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari nasib nelangsa bangsa Yahudi yang 
selalu teraniaya dan terus dimusuhi sejak zaman Moses di Mesir hingga kini. 
Ritual 
agama yang dianutnya ternyata bisa menyinggung perasaan bangsa lain di 
negeri-negeri dimana mereka 'menumpang'. Mereka cenderung berkelompok dalam 
komunitasnya, enggan bersosialisasi dengan kelompok lain. Kalau istilah 
sekarang mungkin bisa dicap 'terlalu
eksklusif' dan kelompok yang 'ogah gaul' (bukan kurang gaul). Sementara ajaran 
yang dianut beberapa agama sendiri menjadi kendala untuk tumbuhnya pembauran, 
misal tak boleh menikah dengan orang yang tak seiman (tak sekadar 
bibit-bebet-bobot), melarang orang yang tak seiman menginjak rumah ibadahnya, 
musti berpakaian rapat (konon agar lebih dicintai Tuhan), lelakinya wajib 
disunat tetapi kelompok lain tak mewajibkannya, dan masih banyak hal lainnya. 
Sebuah tradisi warisan nenek moyang yang bisa dengan mudah jadi penanda untuk
dijadikan target pembunuhan massal. 
 
Kalau kita saksikan film dokumenter tragedi holocaust di era Nazi, nampak 
ribuan perempuan berkerudung yang dicomot dari getho-getho dan trotoar jalanan. 
Mereka lalu ditelanjangi, ramai-ramai dimandikan dengan semprotan, kemudian 
disekap dalam sebuah ruangan tanpa diberi makan dan minum. Kalau ketahuan 
nampak sakit-sakitan, langsung dibakar hidup-hidup. Yah, kerudung adalah 
sebagai salah satu penanda bahwa mereka adalah perempuan Yahudi konservatif. 
Kerudung itu mirip seperti yang menutupi rambut Maria Magdalena, lalu oleh 
dimodifikasi menjadi jilbab seperti dikenakan oleh sekelompok perempuan 
Indonesia yang ingin dicap agamis dan ingin disayang Tuhan melebihi perempuan 
yang cuma pakai celana jeans belel dan tank top saja. Sebagai contoh adalah 
mantan artis panas Inneke Koesherawati yang dianggap kelompok tertentu citranya 
langsung terkerek naik dan kerap jadi maskotnya MUI.  Tata busana peninggalan 
kaum Semit itu lalu dijadikan penanda bahwa orang itu beragama anu dan itu, tak 
lagi
 sekadar tradisi. Anehnya, pakaian kebaya dan busana tradisional khas suku-suku 
di Indonesia terpinggirkan begitu saja. Penanda lain 
orang Yahudi atau bukan adalah baju dan paspor bercap J, juga kalung Bintang 
Daud di leher. Saat pasukan SS ragu dengan status sekelompok pria yang mereka 
jumpai termasuk Yahudi atau bukan, ramai-ramai akan dipaksa untuk membuka 
celananya. Kalau penis mereka disunat, langsung dicokok tanpa ragu.
 
Si kambing hitam
 
Hanya gara-gara petikan beberapa ayat di kitab suci, bangsa dan kelompok 
agama lainnya bisa menghempaskan tubuh-tubuh mereka ke liang lahat. Mereka 
yang tadinya cuma 'tak disenangi' alias dibenci hingga ke ubun-ubun, bisa 
menjelma 
menjadi 'tak layak hidup' di Bumi alias pantas mati. Itu baru menyangkut 
perbedaan agama, belum masuk ke ranah politik yang bisa dengan canggih 
membentur-benturkan perbedaan paham, suku, ras, dan agama. Bibit-bibit 
yang telah tersemai dengan mudah bisa kian disuburkan dengan berbagai 
rekayasa nan piawai. 
 
Kaum agamawan sendiri masih saja ngotot. Mereka tak mau sepenuhnya
dipersalahkan atas kejadian holocaust dan tragedi lainnya yang pernah 
melanda Eropa. Muncullah si kambing hitam. Mereka lalu menyalahkan para 
ilmuwan yang dic

[wanita-muslimah] Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche!

2005-11-12 Terurut Topik radityo djadjoeri
Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche!
 
Gara-gara tulisan bertajuk "Jangan salahkan Nietzche!" sebagai tanggapan atas 
tulisan "License to kill God", bejibun email masuk ke mailbox saya sekadar 
mempertanyakan: "Kenapa kok orang Yahudi kala itu dimusuhi orang-orang Eropa? 
Kenapa mereka sampai dibunuhi?" Jawabannya tentu tak sependek pertanyaannya. 
Yang jelas, istilah Yahoo (baca: Yahudi) sendiri kini mengandung beragam makna. 
Yahudi sebagai sebuah agama yang terpuruk oleh kehadiran Kristen dan Islam 
(istilah bisnisnya: pemasaran mereka
sudah jeblok), Yahudi sebagai sebuah bangsa yang populasinya kian merosot 
karena sudah jutaan umat yang dibunuhi, Yahudi sebagai sebuah tradisi turun 
temurun, dan Yahudi sebagai sebuah budaya peninggalan masa lalu. 
 
Yahudi di Indonesia
 
Kini yang disebut orang Yahudi tak sekadar penduduk di negeri Israel atau 
orang-orang bertopi hitam bak tukang sulap yang suka lalu-lalang di  
stasiun-stasiun subway di New York, Chicago, London, dan Paris. Mereka ada juga 
yang berkulit hitam, bertampang Indo, berwajah India, dan berkulit kuning 
langsat plus bermata sipit seperti yang ada di Hong Kong dan Singapura. Kalau 
di Indonesia, coba tengok sosok Cornelia Agatha, Yapto Soeryosoemarno, Abel 
(pacar Dian Sastrowardoyo), Marini (mantan istri Idris Sardi), Letizia Musri 
(mantan Gadis Sampul), dan si pengusaha jam tangan mewah Irwan Musri yang 
dikabarkan lagi dekat dengan Desi Ratnasari, seorang kakek tua keturunan Yahudi 
Irak yang penjaga rongsokan sinagog di 
Surabaya, seorang mahasiswa kedokteran umum UNAIR, dan segelintir lainnya yang 
masih tersisa. Mereka semua adalah keturunan Yahudi hasil perkawinan silang 
dengan ras lain. 
 
Yahudi berkerudung dan sunat
 
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari nasib nelangsa bangsa Yahudi yang 
selalu teraniaya dan terus dimusuhi sejak zaman Moses di Mesir hingga kini. 
Ritual 
agama yang dianutnya ternyata bisa menyinggung perasaan bangsa lain di 
negeri-negeri dimana mereka 'menumpang'. Mereka cenderung berkelompok dalam 
komunitasnya, enggan bersosialisasi dengan kelompok lain. Kalau istilah 
sekarang mungkin bisa dicap 'terlalu
eksklusif' dan kelompok yang 'ogah gaul' (bukan kurang gaul). Sementara ajaran 
yang dianut beberapa agama sendiri menjadi kendala untuk tumbuhnya pembauran, 
misal tak boleh menikah dengan orang yang tak seiman (tak sekadar 
bibit-bebet-bobot), melarang orang yang tak seiman menginjak rumah ibadahnya, 
musti berpakaian rapat (konon agar lebih dicintai Tuhan), lelakinya wajib 
disunat tetapi kelompok lain tak mewajibkannya, dan masih banyak hal lainnya. 
Sebuah tradisi warisan nenek moyang yang bisa dengan mudah jadi penanda untuk
dijadikan target pembunuhan massal. 
 
Kalau kita saksikan film dokumenter tragedi holocaust di era Nazi, nampak 
ribuan perempuan berkerudung yang dicomot dari getho-getho dan trotoar jalanan. 
Mereka lalu ditelanjangi, ramai-ramai dimandikan dengan semprotan, kemudian 
disekap dalam sebuah ruangan tanpa diberi makan dan minum. Kalau ketahuan 
nampak sakit-sakitan, langsung dibakar hidup-hidup. Yah, kerudung adalah 
sebagai salah satu penanda bahwa mereka adalah perempuan Yahudi konservatif. 
Kerudung itu mirip seperti yang menutupi rambut Maria Magdalena, lalu oleh 
dimodifikasi menjadi jilbab seperti dikenakan oleh sekelompok perempuan 
Indonesia yang ingin dicap agamis dan ingin disayang Tuhan melebihi perempuan 
yang cuma pakai celana jeans belel dan tank top saja. Sebagai contoh adalah 
mantan artis panas Inneke Koesherawati yang dianggap kelompok tertentu citranya 
langsung terkerek naik dan kerap jadi maskotnya MUI.  Tata busana peninggalan 
kaum Semit itu lalu dijadikan penanda bahwa orang itu beragama anu dan itu, tak 
lagi
 sekadar tradisi. Anehnya, pakaian kebaya dan busana tradisional khas suku-suku 
di Indonesia terpinggirkan begitu saja. Penanda lain 
orang Yahudi atau bukan adalah baju dan paspor bercap J, juga kalung Bintang 
Daud di leher. Saat pasukan SS ragu dengan status sekelompok pria yang mereka 
jumpai termasuk Yahudi atau bukan, ramai-ramai akan dipaksa untuk membuka 
celananya. Kalau penis mereka disunat, langsung dicokok tanpa ragu.
 
Si kambing hitam
 
Hanya gara-gara petikan beberapa ayat di kitab suci, bangsa dan kelompok 
agama lainnya bisa menghempaskan tubuh-tubuh mereka ke liang lahat. Mereka 
yang tadinya cuma 'tak disenangi' alias dibenci hingga ke ubun-ubun, bisa 
menjelma 
menjadi 'tak layak hidup' di Bumi alias pantas mati. Itu baru menyangkut 
perbedaan agama, belum masuk ke ranah politik yang bisa dengan canggih 
membentur-benturkan perbedaan paham, suku, ras, dan agama. Bibit-bibit 
yang telah tersemai dengan mudah bisa kian disuburkan dengan berbagai 
rekayasa nan piawai. 
 
Kaum agamawan sendiri masih saja ngotot. Mereka tak mau sepenuhnya
dipersalahkan atas kejadian holocaust dan tragedi lainnya yang pernah 
melanda Eropa. Muncullah si kambing hitam. Mereka lalu menyalahkan para 
ilmuwan yang dic