[wanita-muslimah] Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri?
Islam Mereka berkuda ke luar kota, menuju ke arah padang pasir. Bangsawan tua itu duduk tegak di pelana, dan putranya, Ali Khan, berada di sebelahnya. Anak muda itu sedang jatuh cinta. Ia berniat menikah. Sang ayah pun mendengarkan kehendak itu, setengah acuh tak acuh, lalu mengucapkan sepotong nasihat: "Orang mencintai tanah airnya," katanya, "atau menyukai perang. Sebagian mencintai permadani yang cantik dan senjata yang langka. Tapi tak pernah terjadi, laki-laki mencintai seorang perempuan." Bagi orang tua itu, perempuan adalah sebuah benda yang bisa dinilai lebih rendah ketimbang karpet dan kelewang. Perempuan adalah sarana untuk mendapatkan anak, tak lebih, tak kurang. "Kamu masih sangat muda, Ali Khan," kata sang ayah pula. "Pinggul seorang perempuan lebih penting ketimbang pengetahuan bahasanya." Jika tuan terkejut, marah, atau tak nyaman mendengar ucapan misogynistis yang menghina ini, baiklah kita ingat bahwa Ali Khan dan ayahnya hidup dalam novel Ali und Nino, yang terbit pertama kali pada 1937 di Wina. Ceritanya dibangun sebagai deskripsi yang elok tentang sebuah tempat dan masa yang eksotis: Kota Baku di Azerbaijan pada awal abad ke-20, ketika dua "kebudayaan" bertemu, bersengketa, dan mencoba hidup bersama. Yang pertama kebudayaan "Eropa" atau "Kristen", yang lain tentu saja "Asiatik" atau "Muslim". Dari kata-kata Safar Khan, sang ayah, kita bisa tahu apa perannya: dialah pembawa suara "Muslim". Bersama dia, Sayid Mustafa, seorang keturunan Nabi, anak seorang imam masjid besar dan cucu seorang alim yang menjaga makam Imam Reza di Kota Meshed. Syahdan, inilah pendapat sang Sayid: "Perempuan itu sekadar sepetak tanah, dan di atasnya laki-laki menggaru.. Nikahlah, tapi ingat: perempuan hanya sepetak tanah." Jika dibaca lebih tekun, akan terasa bahwa Ali und Nino bukanlah sebuah novel dengan watak-watak yang rumit dan bergejolak. Cerita ini bertopang pada sejumlah stereotip: tokoh dan ucapan yang terdapat di dalamnya--terutama bila menyangkut Islam--hanyalah hasil cetakan sebuah pakem yang beredar berulang kali, seraya disesuaikan dengan pandangan dan selera orang ramai. Demikianlah, si "Muslim" selamanya jadi kosok-balik yang lengkap bagi "Kristen", kontras yang tajam terhadap si "Eropa"--terutama perihal perempuan dan kekerasan. Persoalannya, tentu, benarkah jadi "Muslim" berarti harus berperilaku yang berlawanan dengan apa yang dianggap "Eropa". Haruskah "Islam" berarti "musuh Barat", dan untuk menegaskan permusuhan itu, si Muslim harus melakukan hal-hal yang ia duga tak dilakukan di "Barat"--misalnya menghina perempuan seraya merayakan perang dan kegagahan? Penulis novel ini, memakai nama Kurban Said, tampaknya berpandangan begitu. Ia seorang Muslim. Tapi ia punya kisah yang tak sederhana. Dalam riwayat hidupnya yang penuh warna-warni, yang ditulis secara menarik Tom Reiss dalam The Orientalist, diungkapkan bahwa ia lahir di Baku pada 1905. Nama sebenarnya Lev Nussimbaum, seorang berdarah Yahudi yang lahir dalam keluarga yang jadi kaya karena minyak bumi. Ketika Lev berumur 13, Uni Soviet, yang baru menegakkan kekuasaannya lewat Revolusi Oktober 1917 di Rusia, merebut kota itu. Si Ibu membunuh diri, dan si ayah pun membawa si bocah mengungsi melalui Turkestan, Persia, dan Pegunungan Kaukasus. Akhirnya anak dan ayah itu sampai ke Berlin. Di sini, ketika ia berumur 17, Lev memutuskan masuk Islam. Ketika mendaftarkan diri jadi mahasiswa di Friedrich-Wilhelms-Universität, ia memakai nama "Essad Bey Nousimbaoum". Dalam beberapa fotonya--misalnya yang dipasang di kulit-muka The Orientalist--ia tampak memakai fez orang Turki, bahkan juga memakai igal, seakan-akan ia seorang syekh dari Arabia. Tak jelas benar apa yang mendorongnya jadi Muslim. Menurut penulis The Orientalist, perjalanan Lev dan ayahnya menempuh Pegunungan Kaukasus, ketika mereka melarikan diri dari Revolusi Rusia, punya bekas: dari sana tumbuh dalam dirinya sebuah pandangan bahwa Islam adalah "satu penopang perjuangan heroik di dunia yang dikuasai kekuatan kasar dan ketidakadilan". Sejak umur 10, Lev menganggap Islam bagian dari dirinya. Ia sudah mencita-citakan orang Yahudi dan Muslim bersatu "dalam perjuangan mereka melawan Barat dan kekerasan massalnya". Itu tahun 1930-an, sebuah zaman yang aneh jika dilihat dengan mata orang sekarang. Pada masa itu tak tampak mengherankan bila ada orang Yahudi--kaum yang berabad-abad terjepit di Eropa--yang memandang diri senasib sepenanggungan dengan orang Islam. Seorang Zionis, Wolfgang von Weisl, bahkan konon mendampingi Lev Nussimbaum menulis risalah dengan judul "Allah Mahabesar: Turun dan Naiknya Dunia Islam". Tapi benarkah Nussimbaum alias Essad Bey alias Kurban Said berharap "Naiknya Dunia Islam"? Apa gerangan "Dunia Islam" itu? Tak mudah dijawab. Jika kita ikuti Ali und Nino, "Dunia" itu adalah sebuah antitesis terhadap apa yang disebut "Barat". Di sanalah, misalnya, seperti digambarkan dalam novel itu, para lelaki dengan nyaman mengucapkan kata-kata yang merendahkan perem
[wanita-muslimah] Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche!
Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche! Gara-gara tulisan bertajuk "Jangan salahkan Nietzche!" sebagai tanggapan atas tulisan "License to kill God", bejibun email masuk ke mailbox saya sekadar mempertanyakan: "Kenapa kok orang Yahudi kala itu dimusuhi orang-orang Eropa? Kenapa mereka sampai dibunuhi?" Jawabannya tentu tak sependek pertanyaannya. Yang jelas, istilah Yahoo (baca: Yahudi) sendiri kini mengandung beragam makna. Yahudi sebagai sebuah agama yang terpuruk oleh kehadiran Kristen dan Islam (istilah bisnisnya: pemasaran mereka sudah jeblok), Yahudi sebagai sebuah bangsa yang populasinya kian merosot karena sudah jutaan umat yang dibunuhi, Yahudi sebagai sebuah tradisi turun temurun, dan Yahudi sebagai sebuah budaya peninggalan masa lalu. Yahudi di Indonesia Kini yang disebut orang Yahudi tak sekadar penduduk di negeri Israel atau orang-orang bertopi hitam bak tukang sulap yang suka lalu-lalang di stasiun-stasiun subway di New York, Chicago, London, dan Paris. Mereka ada juga yang berkulit hitam, bertampang Indo, berwajah India, dan berkulit kuning langsat plus bermata sipit seperti yang ada di Hong Kong dan Singapura. Kalau di Indonesia, coba tengok sosok Cornelia Agatha, Yapto Soeryosoemarno, Abel (pacar Dian Sastrowardoyo), Marini (mantan istri Idris Sardi), Letizia Musri (mantan Gadis Sampul), dan si pengusaha jam tangan mewah Irwan Musri yang dikabarkan lagi dekat dengan Desi Ratnasari, seorang kakek tua keturunan Yahudi Irak yang penjaga rongsokan sinagog di Surabaya, seorang mahasiswa kedokteran umum UNAIR, dan segelintir lainnya yang masih tersisa. Mereka semua adalah keturunan Yahudi hasil perkawinan silang dengan ras lain. Yahudi berkerudung dan sunat Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari nasib nelangsa bangsa Yahudi yang selalu teraniaya dan terus dimusuhi sejak zaman Moses di Mesir hingga kini. Ritual agama yang dianutnya ternyata bisa menyinggung perasaan bangsa lain di negeri-negeri dimana mereka 'menumpang'. Mereka cenderung berkelompok dalam komunitasnya, enggan bersosialisasi dengan kelompok lain. Kalau istilah sekarang mungkin bisa dicap 'terlalu eksklusif' dan kelompok yang 'ogah gaul' (bukan kurang gaul). Sementara ajaran yang dianut beberapa agama sendiri menjadi kendala untuk tumbuhnya pembauran, misal tak boleh menikah dengan orang yang tak seiman (tak sekadar bibit-bebet-bobot), melarang orang yang tak seiman menginjak rumah ibadahnya, musti berpakaian rapat (konon agar lebih dicintai Tuhan), lelakinya wajib disunat tetapi kelompok lain tak mewajibkannya, dan masih banyak hal lainnya. Sebuah tradisi warisan nenek moyang yang bisa dengan mudah jadi penanda untuk dijadikan target pembunuhan massal. Kalau kita saksikan film dokumenter tragedi holocaust di era Nazi, nampak ribuan perempuan berkerudung yang dicomot dari getho-getho dan trotoar jalanan. Mereka lalu ditelanjangi, ramai-ramai dimandikan dengan semprotan, kemudian disekap dalam sebuah ruangan tanpa diberi makan dan minum. Kalau ketahuan nampak sakit-sakitan, langsung dibakar hidup-hidup. Yah, kerudung adalah sebagai salah satu penanda bahwa mereka adalah perempuan Yahudi konservatif. Kerudung itu mirip seperti yang menutupi rambut Maria Magdalena, lalu oleh dimodifikasi menjadi jilbab seperti dikenakan oleh sekelompok perempuan Indonesia yang ingin dicap agamis dan ingin disayang Tuhan melebihi perempuan yang cuma pakai celana jeans belel dan tank top saja. Sebagai contoh adalah mantan artis panas Inneke Koesherawati yang dianggap kelompok tertentu citranya langsung terkerek naik dan kerap jadi maskotnya MUI. Tata busana peninggalan kaum Semit itu lalu dijadikan penanda bahwa orang itu beragama anu dan itu, tak lagi sekadar tradisi. Anehnya, pakaian kebaya dan busana tradisional khas suku-suku di Indonesia terpinggirkan begitu saja. Penanda lain orang Yahudi atau bukan adalah baju dan paspor bercap J, juga kalung Bintang Daud di leher. Saat pasukan SS ragu dengan status sekelompok pria yang mereka jumpai termasuk Yahudi atau bukan, ramai-ramai akan dipaksa untuk membuka celananya. Kalau penis mereka disunat, langsung dicokok tanpa ragu. Si kambing hitam Hanya gara-gara petikan beberapa ayat di kitab suci, bangsa dan kelompok agama lainnya bisa menghempaskan tubuh-tubuh mereka ke liang lahat. Mereka yang tadinya cuma 'tak disenangi' alias dibenci hingga ke ubun-ubun, bisa menjelma menjadi 'tak layak hidup' di Bumi alias pantas mati. Itu baru menyangkut perbedaan agama, belum masuk ke ranah politik yang bisa dengan canggih membentur-benturkan perbedaan paham, suku, ras, dan agama. Bibit-bibit yang telah tersemai dengan mudah bisa kian disuburkan dengan berbagai rekayasa nan piawai. Kaum agamawan sendiri masih saja ngotot. Mereka tak mau sepenuhnya dipersalahkan atas kejadian holocaust dan tragedi lainnya yang pernah melanda Eropa. Muncullah si kambing hitam. Mereka lalu menyalahkan para ilmuwan yang dic
[wanita-muslimah] Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche!
Kenapa Yahoo kok dimusuhi kanan kiri? - Re: Jangan salahkan Nietzche! Gara-gara tulisan bertajuk "Jangan salahkan Nietzche!" sebagai tanggapan atas tulisan "License to kill God", bejibun email masuk ke mailbox saya sekadar mempertanyakan: "Kenapa kok orang Yahudi kala itu dimusuhi orang-orang Eropa? Kenapa mereka sampai dibunuhi?" Jawabannya tentu tak sependek pertanyaannya. Yang jelas, istilah Yahoo (baca: Yahudi) sendiri kini mengandung beragam makna. Yahudi sebagai sebuah agama yang terpuruk oleh kehadiran Kristen dan Islam (istilah bisnisnya: pemasaran mereka sudah jeblok), Yahudi sebagai sebuah bangsa yang populasinya kian merosot karena sudah jutaan umat yang dibunuhi, Yahudi sebagai sebuah tradisi turun temurun, dan Yahudi sebagai sebuah budaya peninggalan masa lalu. Yahudi di Indonesia Kini yang disebut orang Yahudi tak sekadar penduduk di negeri Israel atau orang-orang bertopi hitam bak tukang sulap yang suka lalu-lalang di stasiun-stasiun subway di New York, Chicago, London, dan Paris. Mereka ada juga yang berkulit hitam, bertampang Indo, berwajah India, dan berkulit kuning langsat plus bermata sipit seperti yang ada di Hong Kong dan Singapura. Kalau di Indonesia, coba tengok sosok Cornelia Agatha, Yapto Soeryosoemarno, Abel (pacar Dian Sastrowardoyo), Marini (mantan istri Idris Sardi), Letizia Musri (mantan Gadis Sampul), dan si pengusaha jam tangan mewah Irwan Musri yang dikabarkan lagi dekat dengan Desi Ratnasari, seorang kakek tua keturunan Yahudi Irak yang penjaga rongsokan sinagog di Surabaya, seorang mahasiswa kedokteran umum UNAIR, dan segelintir lainnya yang masih tersisa. Mereka semua adalah keturunan Yahudi hasil perkawinan silang dengan ras lain. Yahudi berkerudung dan sunat Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari nasib nelangsa bangsa Yahudi yang selalu teraniaya dan terus dimusuhi sejak zaman Moses di Mesir hingga kini. Ritual agama yang dianutnya ternyata bisa menyinggung perasaan bangsa lain di negeri-negeri dimana mereka 'menumpang'. Mereka cenderung berkelompok dalam komunitasnya, enggan bersosialisasi dengan kelompok lain. Kalau istilah sekarang mungkin bisa dicap 'terlalu eksklusif' dan kelompok yang 'ogah gaul' (bukan kurang gaul). Sementara ajaran yang dianut beberapa agama sendiri menjadi kendala untuk tumbuhnya pembauran, misal tak boleh menikah dengan orang yang tak seiman (tak sekadar bibit-bebet-bobot), melarang orang yang tak seiman menginjak rumah ibadahnya, musti berpakaian rapat (konon agar lebih dicintai Tuhan), lelakinya wajib disunat tetapi kelompok lain tak mewajibkannya, dan masih banyak hal lainnya. Sebuah tradisi warisan nenek moyang yang bisa dengan mudah jadi penanda untuk dijadikan target pembunuhan massal. Kalau kita saksikan film dokumenter tragedi holocaust di era Nazi, nampak ribuan perempuan berkerudung yang dicomot dari getho-getho dan trotoar jalanan. Mereka lalu ditelanjangi, ramai-ramai dimandikan dengan semprotan, kemudian disekap dalam sebuah ruangan tanpa diberi makan dan minum. Kalau ketahuan nampak sakit-sakitan, langsung dibakar hidup-hidup. Yah, kerudung adalah sebagai salah satu penanda bahwa mereka adalah perempuan Yahudi konservatif. Kerudung itu mirip seperti yang menutupi rambut Maria Magdalena, lalu oleh dimodifikasi menjadi jilbab seperti dikenakan oleh sekelompok perempuan Indonesia yang ingin dicap agamis dan ingin disayang Tuhan melebihi perempuan yang cuma pakai celana jeans belel dan tank top saja. Sebagai contoh adalah mantan artis panas Inneke Koesherawati yang dianggap kelompok tertentu citranya langsung terkerek naik dan kerap jadi maskotnya MUI. Tata busana peninggalan kaum Semit itu lalu dijadikan penanda bahwa orang itu beragama anu dan itu, tak lagi sekadar tradisi. Anehnya, pakaian kebaya dan busana tradisional khas suku-suku di Indonesia terpinggirkan begitu saja. Penanda lain orang Yahudi atau bukan adalah baju dan paspor bercap J, juga kalung Bintang Daud di leher. Saat pasukan SS ragu dengan status sekelompok pria yang mereka jumpai termasuk Yahudi atau bukan, ramai-ramai akan dipaksa untuk membuka celananya. Kalau penis mereka disunat, langsung dicokok tanpa ragu. Si kambing hitam Hanya gara-gara petikan beberapa ayat di kitab suci, bangsa dan kelompok agama lainnya bisa menghempaskan tubuh-tubuh mereka ke liang lahat. Mereka yang tadinya cuma 'tak disenangi' alias dibenci hingga ke ubun-ubun, bisa menjelma menjadi 'tak layak hidup' di Bumi alias pantas mati. Itu baru menyangkut perbedaan agama, belum masuk ke ranah politik yang bisa dengan canggih membentur-benturkan perbedaan paham, suku, ras, dan agama. Bibit-bibit yang telah tersemai dengan mudah bisa kian disuburkan dengan berbagai rekayasa nan piawai. Kaum agamawan sendiri masih saja ngotot. Mereka tak mau sepenuhnya dipersalahkan atas kejadian holocaust dan tragedi lainnya yang pernah melanda Eropa. Muncullah si kambing hitam. Mereka lalu menyalahkan para ilmuwan yang dic