http://www.poskota.co.id/redaksi_baca.asp?id=839&ik=31
Kewibawaan Peradilan Sabtu 27 September 2008, Jam: 9:40:00 Untuk kali kesekian sidang yang mengadili Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dalam perkara insiden Monas, diwarnai kericuhan. Kericuhan serupa juga terjadi pada sidang kasus yang sama dengan terdakwa lain. Gejala seperti ini sesungguhnya terlihat mulai menonjol di era reformasi yang justru niatnya ingin menjunjung tinggi kekuasaan hukum. Dalam banyak kasus, seperti persidangan perkara insiden Monas, kericuhan terjadi sejak di dalam ruang persidangan. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum, dengan beragam alasan diprotes oleh terdakwa dan penasihat hukumnya. Protes ini disusul kericuhan di bangku hadirin yang umumnya dipadati anggota FPI. Kericuhan berkembang mulai dari teriakan-teriakan yang mengganggu jalannya persidangan hingga aksi kekerasan, melalui kata-kata dan perbuatan. Saksi-saksi yang berasal dari kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan Ahmadiyah, dua kubu yang menjadi lawan FPI dalam insiden Monas, selalu mendapat perlakuan buruk dari massa FPI. Sesekali hakim menegur bahkan mengeluarkan pengunjung yang mengganggu jalannya sidang. Tetapi agaknya itu tidak cukup membuat jera massa, sehingga terus berulang. Saksi-saksi dari AKKBB sempat memboikot hadir jika tidak ada jaminan keselamatan. Puncak kericuhan terjadi Kamis lalu (25/9). Massa Banser (anak-anak muda loyalis Gus Dur) bentrok dengan massa FPI sejak di halaman gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga ke jalan raya. Sejumlah korban luka-luka. Gus Dur adalah salah satu tokoh pendiri AKKBB. Bentrokan yang terjadi di luar pengadilan memang bukan lagi kewenangan hakim, melainkan tugas dan wewenang aparat keamanan. Tetapi bentrokan tersebut tidak bisa dipisahkan dengan apa yang sedang terjadi di dalam ruang sidang. Sekali lagi, ini bukan hanya terjadi pada persidangan insiden Monas dengan terdakwa Ketua FPI, tetapi nyaris selalu mengiringi kasus-kasus yang tergolong sensitif karena tingginya derajat pro-kontra. Saat ini kita merasakan euphoria keterbukaan dan kebebasan telah menabrak kewibawaan peradilan yang bisa berdampak buruk pada putusan hakim. Itu bila dilihat dari sisi rakyat sebagai pencari keadilan. Sementara itu dari sisi para pelaku hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, kita justru melihat praktik-praktik kotor seperti mafia peradilan masih berlangsung. Kecenderungan negatif tersebut tidak surut di era reformasi. Pengertian mafia di sini tidak selalu merujuk pada motif ekonomi, tetapi juga mencakup peradilan yang terkooptasi oleh kepentingan politik. Inilah yang membuat peradilan tidak lagi independen dan akibatnya kehilangan kewibawaan. Karena itu, mengembalikan kewibawaan lembaga peradilan sebenarnya tak cukup hanya dengan mendorong atau menambah jumlah aparat keamanan untuk menjaga persidangan. Lebih substansial dari itu adalah bagaimana para praktisi hukum bersama menjaga independensi peradilan agar rakyat tetap mempercayainya sebagai tempat mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.* [Non-text portions of this message have been removed]