Lorong-Lorong Kebenaran (1) 

Setiap muslim wajib meyakini bahwa agama Islam bersumber dari Al 
Qur'an, dan Al Qur'an adalah ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan 
Yang Maha Benar. Meragukan kebenaran al Qur'an adalah bentuk 
kebodohan manusia, karena al Qur'an yang diturunkan ke muka bumi 
sebagai petunjuk hidup manusia taqwa adalah kitab suci yang di 
dalamnya tidak ada keraguan tentang kebenaranannya (la roiba fihi). 
Al Qur'an adalah kebenaran sempurna yang datang dari Tuhan Yang Maha 
Sempurna.

Problemnya, manusia yang harus menyerap kebenaran sempurna itu 
bukanlah makhluk yang sempurna. Manusia adalah mahkluk yang memiliki 
keterbatasan-keterbatasan, bahkan perangkat kejiwaan manusia (akal, 
hati dan nurani) yang digunakan untuk menangkap kebenaran juga unik, 
sehingga setiap orang bisa memiliki persepsi yang berbeda-beda 
tentang obyek yang sama, dipengaruhi oleh cara berfikir yang berbeda 
atau oleh kapasitas kejiwaan yang berbeda atau oleh situasi 
psikologisyang berbeda. Oleh karena itu kebenaran menurut persepsi 
manusia juga bergantung kepada "kacamata" apa yang digunakan. Kita 
mengenal ada istilah kebenaran matematis, kebenaran logis, kebenaran 
filosofis, kebenaran social dan kebenaran sufistik. Kebenaran Logis 
pun masih terbagi lagi, karena ada logika matematis, logika social 
dan logika langit.. Agamapun bisa didekati dengan pendekatan logika, 
filsafat, social dan spiritual, ouputnya bisa nampak sangat berbeda. 
Yang berbeda bukan agama yang dijadikan obyek, tetapi persepsinya 
yang berbeda disebabkan karena perbedaan pendekatan.

Tingkat Kebenaran Agama
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, pemberlakuan azas tunggal Panca 
Sila pernah menimbulkan konflik berkepanjangan diantara organisasi-
organisasi Islam dengan Pemerintah, karena sebagian ormas-ormas Islam 
memandang pencantuman azas Panca Sila itu sebagai pelanggaran 
terhadap keyakinan agama. Demikian juga pernah terjadi sebagian 
pelajar Islam tidak mau mengikuti upacara bendera, karena menganggap 
penghormatan kepada merah putih itu sebagai perbuatan syirik. Puing-
puing dari proyek azas tunggal yang masih ada sekarang adalah kasus 
Abu Bakar Basyir. Sebenarnyalah bahwa masalah itu disebabkan karena 
adanya perbedaan pemahaman, pada tataranm mana sesuatu itu dianggap 
agama yang absolut dan pada tataran mana yang sudah tidak masuk dalam 
pengertian "agama". Dalam perspektip tersebut diatas, maka agama 
dapat difahami dalam lima tingkatan, yaitu :

1. Agama seperti yang dimaksud oleh Allah SWT.
Ketika orang mengatakan agama Islam itu lengkap sempurna, suci, 
tinggi dan tidak ada yang melebihinya (al Islamu ya`lu wa la yu`la 
`alaih), maka sebenarnya yang dimaksud agama Islam pada tataran itu 
adalah ajaran Islam seperti yang dimaksud oleh Allah sendiri. Pda 
tataran ini kesempurnaan dan kebenaran mutlak Islam berada 
tersembunyi di dalam kebenaran wahyu Al Qur'an. Pada tataran ini 
Islam adalah konsep ajaran yang terkandung dalam kitab suci, bukan 
menurut tafsiran ulama, bukan pula yang tertulis di dalam buku-buku. 
Pernyataan bahwa Islam adalah sempurna adalah sepenuhnya benar dalam 
pengertian teersebut diatas.

2. Agama seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Konsep Islam sangat sempurna, dan berasal dari Tuhan yang maha 
Sempurna. Tetapi manusia yang harus memahami bukanlah makhluk 
sempurna, karena ia harus mempersepsi apa yang dilihat atau 
didengarnya. Antara kesempurnaan ajaran Islam dengan 
ketidaksempurnaan manusia ada kesenjangan yang lebar. Oleh karena itu 
tidak jarang manusia keliru persepsi yang kemudian salah paham 
terhadap ajaran agama. Untuk dapat memahami kebenaran yang sempurna 
dari Al Qur'an diperlukan contoh atau "demontrasi". Nah, Muhammad 
sebagai utusan Tuhan adalah contoh dari kebenaran Al Qur'an, sehingga 
dikatakan dalam hadis bahwa akhlak Nabi adalah Al Qur'an (kana 
khuluquhu al Qur'an). Sebagai contoh Islam, Nabi tidak pernah keliru, 
karena beliau selalu dalam bimbingan Allah. Setiap kali Nabi keliru, 
langsung menerima koreksi melalui malaikat Jibril. Koreksi terhadap 
Nabi bahkan juga direkam dalam wahyu al Qur'an (Q/66:1). Dengan 
demikian, agama Islam seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad 
juga bersifat mutlak benar. Jika Al Qur'an disebut teori maka 
perilaku Nabi Muhammaad merupakan prakteknya. Dalam sistem hukum 
Islam, Hadis Nabi dalam satu kasus berfungsi sebagai penjelasan dari 
Al Qur'an, tetapi dalam kasus yang lain bisa berdiri sendiri 
menetapkan hukum, melengkapi Al Qur'an.

3. Agama seperti yang difahami oleh para sahabat Nabi.
Nabi Muhammad memberi contoh tentang bagaimana hidup secara benar 
dibawah bimbingan wahyu al Qur'an.. Masyarakat yang hidup pada zaman 
Nabi (disebut Sahabat nabi) melihat dan meniru perilaku Nabi. Tetapi 
kemampuan sahabat Nabi sebagai manusia dalam mempersepsi contoh yang 
diberikan oleh Nabi berbeda-beda. Ada sahabat yang sangat cerdas, ada 
yang cukup cerdas, dan ada juga yang kurang cerdas. Dari segi 
kesempatan, ada sahabat yang sangat dekat dengan beliau sehingga 
setiap hari dan setiap saat berada di dekat atau bersama beliau, 
tetapi ada juga orang yang hanya berjumpa sebentar saja setiap 
harinya, ada yang hanya berjumpa seminggu sekali, ada yang hanya 
sebulan sekali dan ada yang hanya sesekali berjumpa dengan beliau. 
Perbedaan kecerdasan dan perbedaan frekwensi pertemuan para sahabat 
itu menyebabkan kemampuan memahami perilaku Rasul berbeda-beda. Ada 
yang hanya meniru bentuk perilaku beliau saja, tetapi orang sekaliber 
Umar bin Chattab misalnya, ia bukan hanya meniru yang nampak, tetapi 
juga bisa menangkap esensi dari perilaku Rasul. Oleh karena itu dalam 
berbagai hal Umar sering memiliki pendapat yang berbeda dengan orang 
lain. Pada tingkatan ini agama adalah pemahaman terhadap sumber 
utama, yaitu Al Qur'an dan hadis. Para sahabat berusaha memahami Al 
Qur'an dan memahami apa yang dicontohkan oleh Nabi. Pemahaman yang 
berbeda-beda menyebabkan ketidak mutlakan kebenaran. Agama pada 
tataran ini kebenarannya tidak absolut, tetapi betapapun karena 
mereka lebih dekat dan didorong oleh kecintaan kepada Rasul, 
menyebabkan pemahaman mereka lebih dekat kepada kebenaran. Keutamaan 
cinta kepada Allah dan Rasulnya itu diapresiasi oleh Nabi dengan 
ungkapan bahwa meski sahabat berbeda-beda pemahamannya, tapi 
kesemuanya mendekati kebenaran. Rasul menyatakan bahwa para sahabatku 
itu ibarat bintang gemintang,dimana kalian boleh mengambil petunjuk 
dari mereka, yang mana saja. (ashabi ka an nujum, biayyi iqtadaitum 
ihtadaitum)

4. Agama seperti yang difahami oleh para ulama
Kerika para sahabat dan tabi'in sudah gugur semua, tinggallah para 
ulama yang menjadi rujukan masyarakat dalam beragama. Para ulama 
memahami agama itu bukan dari Nabi dan bukan pula dari sahabat Nabi, 
tetapi dari teks AlQur'an dan hadis serta dari tradisi keberagamaan 
yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu yang terjadi adalah 
interpretasi atau penafsiran terhadap kedua sumber itu. Para ulama 
ada yang lebih cenderung rational, ada juga yang lebih cenderung 
historik/mengikuti tradisi. Semua hal yang bersifat interpretasi 
selalu mengandung kemungkinan benar dan salah, dan pendapatpun 
berbeda-beda, oleh karena itu pada masa para ulama, lahirlah mazhab- 
mazhab dalam ilmu agama. Dalam fiqh ada mazhab Syafi'I, Hambali, 
Hanafi dan Maliki misalnya. Demikian pula dalam ilmu-ilmu yang lain. 
Esensi pemahaman agama dalam periode ini bukan pada pendapat tetapi 
pada argumen yang digunakan. Sebagaimana para sahabat, ada ulama yang 
memiliki kecenderungan filosofis, ada juga yang kecenderungannya 
kepada tradisi. Para ulama yang tinggal di kota metropolitan, seperti 
Bagdad, dan Basrah cenderung berfikir rationil. Mereka mengembangkan 
metode pemahaman agama (usul fiqh) dengan pendekatan yang logik. 
Mereka berijtihad dengan mengedepankan argumen-argumen logis (dalil 
`aqly), karena tuntutan hidup di kota Metropolitan dimana persoalan-
persoalan baru setiap hari muncul, membutuhkan respond yang dinamis. 
Sedanghkan para ulama yang tinggal di kota agraris, Madinah misalnya, 
mereka cenderung mengikuti tradisi keagamaan yang berkesinambungan, 
menomor duakan argumen logik. Baik dalam ilmu hukum maupun ilmu 
tafsir, kedua pola besar itu nampak jelas, yaitu ulama kelompok ahl 
ar ra'yi yang rationil dan ulama ahl al atsar.yang mengutamakan 
tradisi.

Pada tataran ini, "agama" yang berkembang bukan hanya hukum (fiqh), 
tetapi juga teologi (Ilmu Kalam atau Ilmu tauhid), Tasauf dan 
Filsafat. Karena "agama" pada tataran ini sifatnya interpretatip, 
maka padanya tidak ada kebenaran absolut. Para ulama bahkan selalu 
menutup pendapat dan keyakinannya dengankapan bahwa hanya Allah saja 
yang tahu mana yang benar, Wallohu a`lamu bis sawab. Sebagaimana 
tercatat dalam sejarah, perkembangan ilmu pengetahuan dalam periode 
ini sangat pesat, dan ketika itu hampir 7 abad sejarah dunia identik 
dengan sejarah Islam, dan dalam abad yang sama, dunia Barat justeru 
masih berada di dalam zaman gelap (blue age).


5. Agama sebagai tradisi masyarakat Islam.
Ketika sejarah semakin panjang, orang beragama tidak semuanya sempat 
mempelajari agama dari sumber utama, yakni al Qur'an dan Hadis, 
tetapi melalui guru-guru agama yang standard keilmuannya tidak sama. 
Ketika itu bahkan banyak orang memeluk agama Islam hanya karena orang 
tuanya Islam atau lingkungannya Islam. Ketika itu pemahaman agama 
masyarakat sudah cenderung bersifat tradisionil. Tradisi masyarakat 
Islam belum tentu mencerminkan ajaran Islam yang benar. Tidak 
mustahil pula tradisi masyarakat Islam justeru bertentangan dengan 
ajaran Islam. Oleh karena itu dalam hal tradisi , orang beragama 
haruslah memandang secara kritis, yakni tradisi yang baik boleh 
dipelihara, sedang tradisi yang bertentangan dengan Islam harus 
ditinggal. 

Wassalam,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
http://mubarok-institute.blogspot.com atau [EMAIL PROTECTED]
==============================================







Kirim email ke