Lorong-Lorong Kebenaran (2) 

(Bias Agama dan Budaya)
Wacana anti Panca Sila sebenarnya berasal dari bias agama dan budaya. 
Islam itu agama (murni) yang juga melahirkan budaya, maka ada 
kebudayaan Islam dan ada kebudayaan kaum muslimin. Kebudayaan Islam 
dipengaruhi oleh ajaran Islam, sedangkan kebudayaan kaum muslimin ada 
yang berasal dari ajaran Islam dan ada yang berasal dari budaya lain, 
yang bahkan mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Kebudayaan 
adalah konsep, gagasan, dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat 
dalam waktu lama dan memndu perlaku mereka dalam memenuhi kebutuhan 
hidupnya.

Ada kaidah yang mudah diingat, yaitu bahwa agama murni dalam hal 
ibadah mahdlah, pada dasarnya ritus ibadah itu dilarang, kecuali yang 
ada perintahnya, sedangkan yang bersifat kebudayaan, mu`amalah, pada 
dasarnya semua bentuk kebudayaan masyarakat itu dibolehkan, kecuali 
yang ada larangannya (al ashlu fi al `adapt wa al mu`amalah al ibahah 
hatta takun dall fi buthlanihi). Jadi pada agama (murni) tidak ada 
ruang kreatifitas ummat, tapi pada wilayah budaya, semuanya justeru 
wilayah kreatifitas. Nah Negara, ilmu pengetahuan (termasuk ilmu2 
agama), Panca Sila dan konstitusi adalah budaya. Demikian juga partai 
Islam, ormas Islam, juga produk kebudayaan. Bahkan konsep khalifah 
adalah budaya Islam, oleh karena itu corak khulafa rasyidin berbeda 
dengan khilafah Bani Umaayyah dan Abbasiyah. Negara Islam boleh 
berbentuk kerajaan, boleh republic, boleh dinasti, boleh kerajaan 
konstitusional, bergantung kepada kondisi wilayah dan kreatifitas 
ummatnya... Ideologi Anti Panca Sila bukanlah ekpressi Islam, tapi 
kedudukannya sama dengan Komunisme yang juga anti Panca Sila, dua-
duanya kebudayaan.

Lorong-lorong Kebenaran 
Kebenaran tidak selamanya seperti matahari yang nampak jelas, tetapi 
terkadang ia berada di tempat jauh yang Tersembunyi sehingga untuk 
mendekatinya orang harus melewati lorong-lorong sempit atau mendaki 
ke bukit terjal. Ada buku terjemahan berjudul Pendakian Menuju Allah, 
yang merupakan terjemahan bebas dari judul buku Madarij as Salikin 
karangan ulama salaf terkenal Ibn al Qayyim al Jauzy (691-751 H.) 
menyiratkan adanya hubungan dan jarak antara manusia yang kecil dan 
rendah dan Tuhan yang Maha Tinggi dan Sumber Kebenaran, yang oleh 
karena itu manusia harus menempuh perjalanan mendaki jika ingin 
mendekat kepada Nya. Ujung pendakian itu bisa berupa berhasil menjadi 
orang dekat Allah (min al muqarrabin) atau bahkan bersatu dengan Nya, 
baik dalam eksistensi (wahdah al wujud) atau hanya nampak seperti 
bersatu (wahdat as Syuhud). Kegiatan menempuh perjalanan mendekat 
(mendaki) kepada Allah bisa dipandang sebagai kesadaraan manusia 
memenuhi panggilan Nya, bisa juga difahami sebagai fitrah manusia 
yang memang memiliki kecenderungan untuk mendekat seperti api yang 
selalu naik ke atas (taraqqi) karena manusia, seperti yang dianut 
oleh konsep al Isyraqi merupakan pancaran dari Tuhan sehingga ia 
memiliki sifat-sifat ketuhanan dan oleh karena itu selalu rindu untuk 
kembali kepada Tuhan.

Menurut al Jauzi, semangat menempuh perjalanan mendaki kepada Allah 
itu berada dalam penghayatan manusia kepada Tuhan seperti yang 
tersirat dalam surat al Fatihah Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in, 
hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu pula kami mohon 
pertolongan. Kekhusyu'an dan ketergantungan serta harap dan cemas 
(khouf dan raja') kepada Allah menstimuli manusia untuk menempuh 
perjalanan jauh (as sayr wa as suluk) menuju kepada Allah yang 
dirindukan, dicinta dan ditakuti. Maulana Syekh Yusuf 
mengilustrasikan tiga jalan raya yang bisa ditempuh dalam pendakian 
itu, yaitu jalan raya konvensional yang setia mengikuti rute syari`ah 
(thariqah al Akhyar/thariqah as syar`i), jalan zikir (thariqah ahl az 
Zikr) dan lorong-lorong yang penuh dengan kesulitan (metode menyakiti 
diri/thariqah mujahidat as syaqa'). Jalan panjang dan mendaki itu 
tidak mudah ditempuh, oleh karena itu sepanjang jalan ada stasiun-
stasiun (maqamat) yang merupakan tangga-tangga (madarij) pencapaian 
bagi musafir.

Jalan panjang menuju kepada Allah itu bukanlah jalan yang lurus, 
tetapi penuh dengan hambatan dan jebakan. Para aktifis gerakan 
(harakah) terutama yang menjadi korban repressip penguasa sering 
terjebak di lorong-lorong penuh jebakan kesesatan sehingga sepertinya 
mereka itu mujahid, tetapi persepsi yang terbangun adalah pelaku 
criminal, Begitu panjangnya jarak menuju kebenaran sehingga para sufi 
merumuskan adanya pemberhentian-pemberhentian, disebut maqamat atau 
stasion, dari stasion taubat hingga ke stasiun ridla, atau ma`rifat 
atau mahabbah. Stasiun yang peling berat bagi orang awam justeru 
stasiun pertama yaitu stasiun taubat. Taubat yang benar (taubat 
Nasuha) harus memenuhi tiga unsur, yaitu (a) menyesali kesalahan yang 
lalu, (b) berjanji untuk tidak mengulang, dan (c) benar-benar tidak 
mengulang.. Dua hal pertama relatip mudah, tetapi yang ketiga sering 
menjadi sandungan orang bertaubat sehingga tidak pernah bisa melewati 
stasiun tersebut.

Wassalam,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
http://mubarok-institute.blogspot.com atau [EMAIL PROTECTED]
==============================================







Kirim email ke