Re: [wanita-muslimah] Media untuk Informasi Ilmiah
Katanya sih pupuk itu sudah diuji coba di persawahan Purwakarta. Hasilnya memuaskan. Penelitiannya sudah lama, tahunan. Kebetulan mungkin Ir Ciputra - pelopor pengembang [property] mendengar ini dan kemudian grupnya membiayai. Mungkin akan beberapa tahun lagi pupuk itu akan diproduksi dan dipasarkan. Di indonesia kalo ingin temuannya juga dikenal dan berkembang harus punya jalur dengan orang2 yg terkenal plus punya dana lebih bagus lagi dekat dengan istana. Kalo enggak nanti memakai nama asing supaya ngetop, melupakan nama penemunya. [ Kita kan masih beranggapan yg dari luar selalu lebih baik] Seperti misalnya durian bangkok-pepaya bangkok-jambu bangkok. Padahal ketiganya adalah murni hasil budidaya tanaman karya orang2 indonesia. Begitu juga tas2 dari eceng gondok yg terkenal di jual di Italia dan Paris adalah buatan indonesia dengan supervisi orang asing untuk pewarnaan dan model. salam l.meilany [kadang2 baca trubus di toko buku] - Original Message - From: Sutan Paruik Gadang To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Sunday, September 10, 2006 5:09 AM Subject: [wanita-muslimah] Media untuk Informasi Ilmiah Minggu pagi saya disuguhi berita tentang pupuk ajaib water stimulating feed (WSF) beserta tanggapan terhadapnya oleh seorang guru besar IPB. Informasi semi-ilmiah semacam ini sudah sangat sering diberitakan di koran. Banyak penemuan yang dianggap spektakuler, berkelas penerima nobel. Tapi kemudian berita tentang itu menghilang dengan sendirinya. Sekitar sepuluh tahun yang lalu diberitakan temuan seorang montir tentang pasta yang bisa meningkatkan antaran listrik sebuah pengantar. Dengan memoleskan pasta itu ke kabel, katanya, terlihat bahwa lampu yang dihubungkan dengan kabel itu menyala lebih terang. Konon temuan ini sudah dipresentasikan dan diuji di ITB, bahkan sudah diperkenalkan ke Jepang. Setelah itu, tak ada kabar lagi mengenai temuan ini. Banyak lagi contoh lain. Ada yang mengklaim telah menemukan alat pembuat/penghapus hujan, atau bahkan alat peramal/pencegah gempa! Boleh jadi temuan itu menghilang karena penemunya, yang bukan ilmuwan, kesulitan untuk melakukan pembuktian-pembuktian ilmiah. Dengan berbaik sangka kita bisa mengangap bahwa hal itu tidak bisa mereka lakukan karena mereka tidak mampu menyajikan temuan mereka dalam kerangka metode ilmiah standar. Tapi saya melihat masalahnya lebih dari sekedar itu. Meski tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, sesuatu yang secara empiris berguna, akan dipakai orang. Contohnya adalah metode pengobatan Cina, seperti akupuntur. Nah, menghilangnya gpenemuan-penemuanh tadi bagi saya hanya bermakna satu: HOAX. Lalu, kadang ada juga penemuan yang dianggap spektakuler oleh peneliti profesional dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Ketika diberitakan, penemuan itu diklaim akan berguna untuk ini dan itu. Kenyataannya, lagi-lagi, tidak ada tindak lanjut untuk memanfaatkan penemuan itu. Mengapa? Peneliti professional, yang lebih pintar berdalih (hehe), mungkin akan mengatakan bahwa usaha untuk meneliti lebih lanjut agar penemuannya bisa diterapkan secara massal, terbentur pada masalah kekurangan dana. Tapi boleh jadi ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa temuan itu tak layak untuk dimassalkan. Sampai pada level tertentu hal ini tidak perlu dipersoalkan. Dunia sains memang lebih rumit dari yang dikenal orang awam. Sebuah temuan, bagi ilmuwan, tidak selalu harus bisa dimanfaatkan secara massal. Tapi bagi orang awam, termasuk para penyeleksi proposal penelitian, sebuah penelitian harus memberi manfaat kepada publik. Karenanya, peneliti umumnya pandai gberbohongh tentang manfaat penelitiannya. Beberapa profesor Jepang yang saya kenal sering berkelakar soal ini dalam berbagai diskusi. Mereka, dalam berbagai kesempatan di depan publik, sering menyajikan manfaat penelitian mereka. Namun di antara sesama ilmuwan mereka berterus terang manfaat itu sebenarnya tidak ada, atau masih sangat jauh untuk direalisasikan. Mereka meneliti semata-mata karena dari sudut pandang sains hal itu menarik. Tapi tak jarang ada orang (saya nggak tega menyebutnya peneliti/intelektual, meski secara formal mereka memang peneliti) yang kebablasan dalam berbohong. Temuan-temuan, yang dia tahu mesti diuji lebih lanjut, sudah disajikan kepada khalayak ramai seolah sudah siap dimanfaatkan. Tujuannya, barangkali, untuk mengejar popularitas, dan mungkin juga, uang. Satu hal yang sekarang cukup mengusik saya dalah kecenderungan intelektual kita untuk menggunakan koran sebagai media untuk menyajikan ide-ide ilmiah. Ini terutama dilakukan oleh ilmuwan sosial. Kritik Kalla terhadap LIPI beberapa waktu lalu sedikit banyak ada benarnya. Melihat banyaknya tulisan mereka di koran, saya tertarik untuk melacak apakah mereka juga produktif nulis di jurnal ilmiah (internasional). Hasil pelacakan saya di Google Scholar menunjukkan bahwa mereka
[wanita-muslimah] Media untuk Informasi Ilmiah
Minggu pagi saya disuguhi berita tentang pupuk ajaib water stimulating feed (WSF) beserta tanggapan terhadapnya oleh seorang guru besar IPB. Informasi semi-ilmiah semacam ini sudah sangat sering diberitakan di koran. Banyak penemuan yang dianggap spektakuler, berkelas penerima nobel. Tapi kemudian berita tentang itu menghilang dengan sendirinya. Sekitar sepuluh tahun yang lalu diberitakan temuan seorang montir tentang pasta yang bisa meningkatkan antaran listrik sebuah pengantar. Dengan memoleskan pasta itu ke kabel, katanya, terlihat bahwa lampu yang dihubungkan dengan kabel itu menyala lebih terang. Konon temuan ini sudah dipresentasikan dan diuji di ITB, bahkan sudah diperkenalkan ke Jepang. Setelah itu, tak ada kabar lagi mengenai temuan ini. Banyak lagi contoh lain. Ada yang mengklaim telah menemukan alat pembuat/penghapus hujan, atau bahkan alat peramal/pencegah gempa! Boleh jadi temuan itu menghilang karena penemunya, yang bukan ilmuwan, kesulitan untuk melakukan pembuktian-pembuktian ilmiah. Dengan berbaik sangka kita bisa mengangap bahwa hal itu tidak bisa mereka lakukan karena mereka tidak mampu menyajikan temuan mereka dalam kerangka metode ilmiah standar. Tapi saya melihat masalahnya lebih dari sekedar itu. Meski tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, sesuatu yang secara empiris berguna, akan dipakai orang. Contohnya adalah metode pengobatan Cina, seperti akupuntur. Nah, menghilangnya gpenemuan-penemuanh tadi bagi saya hanya bermakna satu: HOAX. Lalu, kadang ada juga penemuan yang dianggap spektakuler oleh peneliti profesional dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Ketika diberitakan, penemuan itu diklaim akan berguna untuk ini dan itu. Kenyataannya, lagi-lagi, tidak ada tindak lanjut untuk memanfaatkan penemuan itu. Mengapa? Peneliti professional, yang lebih pintar berdalih (hehe), mungkin akan mengatakan bahwa usaha untuk meneliti lebih lanjut agar penemuannya bisa diterapkan secara massal, terbentur pada masalah kekurangan dana. Tapi boleh jadi ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa temuan itu tak layak untuk dimassalkan. Sampai pada level tertentu hal ini tidak perlu dipersoalkan. Dunia sains memang lebih rumit dari yang dikenal orang awam. Sebuah temuan, bagi ilmuwan, tidak selalu harus bisa dimanfaatkan secara massal. Tapi bagi orang awam, termasuk para penyeleksi proposal penelitian, sebuah penelitian harus memberi manfaat kepada publik. Karenanya, peneliti umumnya pandai gberbohongh tentang manfaat penelitiannya. Beberapa profesor Jepang yang saya kenal sering berkelakar soal ini dalam berbagai diskusi. Mereka, dalam berbagai kesempatan di depan publik, sering menyajikan manfaat penelitian mereka. Namun di antara sesama ilmuwan mereka berterus terang manfaat itu sebenarnya tidak ada, atau masih sangat jauh untuk direalisasikan. Mereka meneliti semata-mata karena dari sudut pandang sains hal itu menarik. Tapi tak jarang ada orang (saya nggak tega menyebutnya peneliti/intelektual, meski secara formal mereka memang peneliti) yang kebablasan dalam berbohong. Temuan-temuan, yang dia tahu mesti diuji lebih lanjut, sudah disajikan kepada khalayak ramai seolah sudah siap dimanfaatkan. Tujuannya, barangkali, untuk mengejar popularitas, dan mungkin juga, uang. Satu hal yang sekarang cukup mengusik saya dalah kecenderungan intelektual kita untuk menggunakan koran sebagai media untuk menyajikan ide-ide ilmiah. Ini terutama dilakukan oleh ilmuwan sosial. Kritik Kalla terhadap LIPI beberapa waktu lalu sedikit banyak ada benarnya. Melihat banyaknya tulisan mereka di koran, saya tertarik untuk melacak apakah mereka juga produktif nulis di jurnal ilmiah (internasional). Hasil pelacakan saya di Google Scholar menunjukkan bahwa mereka jarang/tidak pernah menulis. Nama-nama besar seperti Nurcholis Madjid atau Syafii Maarif juga tidak. Jadi, kalau para intelektual resmi saja lebih suka cuap-cuap di koran ketimbang di media ilmiah, jangan heran kalau ada orang awam yang ikut-ikutan. Sendai, 10 September 2006 http://abdurakhman.com/joomblog/3.html === Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an ema