Refleksi: Memiliki banyak uang, banyak pula hak demokrasinya, lihat saja kepada mereka yang mencalonkan diri untuk dipilih menduduki kursi kekuasaan negara. Bagi yang tidak punya duit boleh turut meramaikan dan bermimpi bahwa kemenangan mereka adalah kemenangan Anda dalam pesta demonkrasi.
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=8899 2009-06-30 Menakar Demokrasi dengan Uang Thomas Koten i tengah berhamburnya janji para kandidat pada Pilpres 2009, mencuat perang opini, yang kemudian menjadi perang urat saraf atau teror politik demi menaikkan tensi popularitas capres-cawapres. Salah satu bentuk teror politik itu adalah mengembangkan wacana pilpres satu putaran saja dengan meraih 50 persen plus satu. Disebut teror politik, karena wacana tersebut dikembangkan tanpa berbasiskan konstitusi. Menurut konstitusi, pemenang pilpres tidak semata ditentukan perolehan suara, tetapi masih ada ketentuan lain, yaitu sebaran suara. UUD 1945 Pasal 6 Ayat (3) secara gamblang menjelaskan ketentuan pilpres satu putaran, yaitu memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Dengan ketentuan sebaran suara di 33 provinsi, di mana sulit dicapai oleh satu partai dus partai koalisi, membuat pilpres satu putaran menjadi mustahil pula. Oke-lah, opini tersebut merupakan sebuah taktik politik untuk meningkatkan popularitas capres-cawapres. Tetapi, itu menjadi sangat ironis tatkala ambisi berlebihan itu dilandasi juga oleh argumentasi legitimasi dan penghematan anggaran negara, yang tentu kurang cerdas, karena mengabaikan etika politik dan menyalahi nilai-nilai moral demokrasi. Menjadi sesuatu yang tidak bisa diterima dari sudut nalar etika politik, ketika nilai demokrasi ditakar dengan materi uang. Apalagi, nilai-nilai demokrasi yang merupakan anak kandung reformasi di negeri ini, diraih dengan korban nyawa. Karena itu, demokrasi di negeri ini dengan sosok substantif yang sedang diperjuangkan telah menjadi suatu nilai yang sangat agung yang tidak bisa ditakar dengan uang, entah berapa pun banyaknya. Sehingga, tidak heran pula jika ambisi pemenangan pilpres satu putaran bukan saja dinilai sebagai pembodohan publik, tetapi juga sebagai suatu arogansi kubu capres-cawapres tertentu, yang tidak bisa ditoleransi (SP, 16/6). Bagaimana mengelaborasi ini lebih lanjut? Adalah benar bahwa pilpres satu putaran bisa menghemat biaya, tenaga dan waktu. Tetapi, seperti kritik Editorial Media Indonesia (16/6), mengaitkan pilpres dengan biaya adalah pemikiran yang salah alias penjungkirbalikkan akal sehat. Bukankah demokrasi menelan biaya? Berapa pun biayanya harus dipikul dengan senang hati sepanjang digunakan untuk mewujudkan hak rakyat. Kedaulatan Rakyat Jadi, berapa pun putaran pelaksanaan pilpres, penghormatan terhadap hak pilih rakyat sangat mutlak. Sebagai pencerdasan politik rakyat, biarkan rakyat yang menentukan sendiri, sebagai suatu hakikat kedaulatannya menurut konstitusi. Jika kedaulatan rakyat dinodai dan direndahkan hanya karena ingin memenuhi ambisi politik, maka ia bukan hanya sebagai suatu penegasian etika politik, juga sebagai tindakan premanisme politik. Premanisme politik mengindikasikan, etika politik elite sangat lemah. Yang menonjol adalah kotornya nurani politisi elite yang sangat egois dan arogan. Padahal, suatu tuntutan mutlak dalam berpolitik adalah pemurnian etika yang sebenarnya terletak pada kehakikian politik yang harus memperjuangkan hak-hak rakyat pada semua aspek kehidupan. Dalam memperjuangkan nasib dan pemenuhan hak memang yang dibutuhkan bukan hanya komitmen dan ketulusan dalam berjuang, tetapi juga banyak biaya, bahkan pengorbanan waktu dan tenaga. Namun, bukan berarti semua nilai yang diperjuangkan harus diukur dengan uang. Sebagaimana kata Frederic Charles Schaffer (2007), politik uang memang telah menjadi fenomena umum dalam pemilu modern yang kompetitif. Strategi, pengayoman politik demi pemenangan pilpres atau pemilu, memang selalu berkelindan dengan uang. Tanpa uang, roda kampanye dan perhelatan pemilu tidak akan berjalan. Namun, nilai pemilu menjadi hilang tatkala pelaksanaan demokrasi ditakar dengan nilai materi berupa uang. Kita tentu sudah muak dengan politik uang. Oleh karena itu, kita tidak mau lagi melihat pemilu ditakar dengan uang dan demokrasi hanyalah permainan statistik untung-rugi material, karena ini akan merusak seluruh tatanan kehidupan, khususnya akan merendahkan martabat politik. Maka, jalan yang harus dilalui adalah menyerukan kaum elite kita, yang sedang bertarung di jalan kekuasaan, untuk segera kembali ke koridor etika politik. Nilai-nilai moral dan etika tidak bisa dipersandingkan dengan kepentingan uang dan kekuasaan. Lagi pula, integritas seorang politisi hanya dapat ditakar dari etika politik dan nilai-nilai moral yang selalu melekat dengan perjuangan politik. Celakanya, terlihat begitu mudahnya kalangan politisi kita mengorbankan integritas dan reputasi perjuangannya demi pragmatisme kekuasaan dan pemenuhan pundi-pundi hartanya. Seorang politisi atau intelektual, yang dalam perjuangan profesionalnya begitu gampang mengorbankan integritas dan reputasinya lantaran tergoda oleh kepentingan pragmatisme lainnya, lupa bahwa betapa sulitnya membangun kembali integritas dan mengembalikan reputasi yang runtuh akibat hasil karyanya yang melanggar etika. Namun, semua itu tidak aneh lagi di tengah bangsa ini, yang memang sudah jarang melahirkan politikus moralis dan kaum elite yang menjadikan moralitas sebagai pedoman dalam setiap jejak langkah politiknya. Penulis adalah Direktur Social Development Center [Non-text portions of this message have been removed]