http://www.ranesi.nl/tema/jendelaantarbangsa/ siapa_berhak_tentukan_burka
Mengatur Pemakaian Busana Muslim Junito Drias 25-02-2008 Pemerintah Belanda tidak jadi membuat undang-undang melarang burka dan nikab. Sebagai gantinya, Den Haag menempuh cara lain. Yaitu mendorong agar lembaga-lembaga, seperti perusahaan angkutan umum, badan pendidikan hingga institusi negara, mengadakan peraturan sendiri membatasi pemakaian busana muslim tersebut. Sebenarnya siapa yang berhak mengatur pemakaian burka atau nikab: negara, dewan agama, atau si pengguna? Burka dan nikab sendiri jarang ditemui di Belanda. Busana muslimah lain, jilbab, lebih sering terlihat. "Karena itu cenderung isu politik ketimbang kenyataan," ujar pakar Islam Karel Steenbrink. Masalah berawal dari seorang muslimah, peserta sekolah guru taman kanak-kanak, dilarang mengenakan busana yang menutupi seluruh tubuh dan wajah tersebut. Alasannya menghambat komunikasi dengan anak-anak kecil. Karena dilarang, sang muslimah mengajukan kasus itu ke pengadilan. Pengadilan kemudian memutuskan ia boleh melanjutkan kuliah sekalipun mengenakan nikab. Namun, bila kelak mengajar, ia harus memakai baju biasa. "Sebuah keputusan kompromistis," ujar Steenbrink. Fobia Islam Sebenarnya di balik ide-ide pelarangan ada semacam ketakutan. Fobia Islam, begitu pakar Islam itu menegaskan. Media memupuk rasa takut sejak serangan teror 11 September 2001, lalu diperparah mereka yang berkepentingan. Muncul anggapan, Islamisasi terjadi di Eropa, termasuk Belanda. Kecemasan dimanfaatkan tokoh politik kanan untuk membesarkan partai mereka. Karel Steenbrink melihat situasi ini mirip Indonesia. Hanya yang terjadi sebaliknya. "Kelompok pembela Islam sering mengatakan Islam di Indonesia terancam kristenisasi!" urainya. Ketakutan-ketakutan tersebut pada gilirannya mendorong negara campur tangan. Misalnya wacana pelarangan burka atau nikab di Belanda ataupun peraturan- peraturan daerah di Indonesia yang kian berbau hukum agama. Peran penguasa dalam urusan-urusan keagamaan juga dibenarkan Dewi Candraningrum, peneliti Islam di Jerman. "Itu kembali ke ruang sosio- politik dan budaya di mana Islam itu besar, pasti penguasa sudah tahu dong mana tafsiran yang akan dimainkan," ujarnya. Penguasa tiran jelas memilih tafsir yang membenci tubuh perempuan. Dewi menyanggah tudingan Islam membatasi hak perempuan. Pro perempuan Al-Quran mencatat peristiwa di mana terjadi perjuangan kesetaraan gender. Dikisahkan Nabi Muhammad melarang orang mengubur bayi perempuan, karena banyak keyakinan pada masa tersebut bahwa punya anak perempuan itu aib. Ia juga yang pertama kali mengubah kebijakan warisan terhadap anak perempuan. Awalnya anak perempuan dianggap bukan bibit unggul, tidak bisa menopang ekonomi keluarga, sehingga tidak layak mendapat warisan. Pada jaman Nabi Muhammad sistem warisan diubah dan anak perempuan juga punya hak waris. "Pada jaman itu sangat revolusioner, Dia sangat pro perempuan, tapi memang setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian setelah empat khalifah tidak ada, berlangsung pengambilalihan kekuasaan. Di situ mulai terjadi politisasi terhadap tubuh perempuan," kata Dewi. Menurut peneliti Islam tersebut, perempuanlah pada akhirnya berhak menentukan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Jadi bukan negara ataupun para agamawan. Pilihan busana muslim itu ada di tangan perempuan. "Kalau perempuan menggunakan jilbab sekarang itu berbeda maknanya dengan dulu. Kalau sekarang sebagai politik identitas, sebagai alat resistensi, sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka punya hak untuk itu. Tapi untuk nikab atau cadar(burka, red) saya tidak setuju," peneliti Islam Dewi Candraningrum menjelaskan.