Jawa Pos [ Jum'at, 04 September 2009 ]
Menghapus Mitos Bencana Oleh : Paulus Mujiran BENCANA gempa bumi menggoyang Jawa Barat. Bencana berkekuatan 7,3 skala Richter itu menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan orang lain. Belum lagi ribuan rumah rusak. Peristiwa gempa ini bersamaan dengan ''gempa dahsyat'' yang melanda Kabinet Indonesia Bersatu akibat pembobolan Bank Century yang oleh Wapres Jusuf Kalla disebut sebagai kriminalitas. Tak aneh bila sebagian orang mengaitkan musibah ini dengan kemenangan pasangan SBY-Boediono. Bencana beruntun ini seolah semakin menegaskan bahwa negeri ini berselimutkan bencana. Bencana bertubi-tubi memberikan andil bagi penderitaan bangsa ini yang masih terpuruk dengan kemiskinan dan bangkit dari keterpurukan korupsi. Namun sayang, bencana beruntun tidak pernah menjadi sumber belajar. Memang murka alam tidak dapat dicegah, tetapi matinya sirene peringatan dini di pantai laut selatan karena dicuri orang adalah kecerobohan yang fatal. Bertubi-tubinya bencana melanda negeri ini, hingga banyak pihak mulai mengaitkan dengan aspek mitologi. Mereka yang menganut paham mitologi berpendapat kemenangan SBY-Boediono, meski didukung rakyat karena menang telak dalam pemilihan langsung, kurang didukung alam. Alam terus mengamuk dari ujung barat hingga ujung timur. Penganut mitologi mengaitkan kelahiran SBY pada Jumat Kliwon sebagai penyebab minta tumbal. Beredarnya mitos-mitos bencana yang berkembang pascasebuah bencana dahsyat tentu saja tidak bisa diterima akal sehat. Namun, kondisi masyarakat yang serbasulit dalam kehidupannya, bisa saja mengaitkan itu sebagai kartasis atas beratnya persoalan kehidupan sehari-hari. Sudah menjadi kebiasaan umum di masyarakat bahwa di tengah penatnya hidup, mereka akan lari ke hal-hal yang bersifat mistik. Apalagi, sejarah bangsa ini terbentuk dari kerajaan-kerajaan yang tentu saja lekat dengan aspek kosmos dan mitologi. Yang tidak kalah penting dicatat di sini, pasangan SBY-Boediono diterima publik lewat jalur pencitraan yang mau tidak mau dipengaruhi mulai hal yang masuk akal, emosional, sampai yang irasional alias tidak masuk akal, bahkan mitos. Sebagian rakyat masih percaya dengan "notonagoro" yang akan memimpin Indonesia. Dengan mengingat sejarah Indonesia yang terdiri atas kerajaan-kerajaan tradisional yang tersebar di pelosok Nusantara - meski kita sudah memasuki globalisasi- kenyataan hal-hal yang berbau mistis tetap berkembang subur. Dunia ramal-meramal, paranormal, dukun santet, baik yang terang-terangan atau sembunyi, masih tumbuh subur. Impian akan datangnya sosok penyelamat juga masih mengemuka pada masyarakat meski eranya sudah semakin modern. Michael Parenti (1993) menjelaskan, hubungan mitos dan politik sebenarnya telah menjadi kajian tersendiri di Amerika Serikat. Dalam buku The Lands of Idols: Political Mythology in America diharapkan terwujudnya masyarakat pascapolitik mitos, a truly democratic society. Mungkin dengan cepat kita akan menyimpulkan Amerika saja sebagai pelopor negara modern masih dijejali mitos, apalagi Indonesia. Muchtar Lubis (1977) pernah menyindir manusia Indonesia sebagai sosok yang masih percaya pada mitos-mitos. Karena itu sudah menjadi konsekuensi umum siapa pun yang tampil dalam panggung politik Indonesia harus rela dihubungkan dengan mitos-mitos. *** Kemenangan SBY-Boediono membuncahkan harapan rakyat Indonesia akan perbaikan di berbagai bidang. Namun, harus disadari bahwa politik pencitraan yang dibawa SBY-Boediono akan memengaruhi seluruh perjalanannya menjadi presiden/wakil presiden. Bahkan, SBY-Boediono harus berterima kasih karena didukung dengan mitos-mitos sehingga popularitasnya kian meningkat. Dalam konteks ini, di satu sisi SBY-Boediono dibesarkan oleh mitos-mitos. Namun, pada saat yang sama menjadi tugas dan tanggung jawab SBY-Boediono menghapuskan mitos-mitos yang melekat pada dirinya untuk bekerja taktis memperbaiki keadaan bangsa yang kian terpuruk ini. Dalam peristiwa bencana sebelumnya, berkali-kali SBY-Boediono menepis datangnya bencana bertubi-tubi bukan karena mitos, melainkan melihatnya dari kacamata ilmu pengetahuan. Penghapusan pencitraan negatif lewat mitos sudah seharusnya dijawab dengan tindakan rasional yang membuahkan hasil konkret bagi kesejahteraan rakyat. Bukan hanya retorika, tetapi mengerahkan seluruh sumber daya yang membuahkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Jangan malah mempertontonkan penyelesaian Bank Century yang melukai rasa keadilan masyarakat. Bertubi-tubi datangnya bencana bukan politik pencitraan yang lahir, melainkan politik penyiksaan yang menyebabkan kepercayaan terhadap pasangan SBY-Boediono dapat saja memburuk jika gagal mewujudkan janjinya. Kritik atas kinerja pemerintah yang buruk lima tahun belakangan ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Ketidaktegasan SBY patut diduga sebagai pangkal semua masalah. Terhadap beragam bencana beruntun itu, sudah saatnya rakyat mendapatkan buah kerja keras pemerintah yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Jangan sampai seperti pasangan SBY-JK yang semula dimitoskan diwitunggal -pasangan sempurna seperti halnya Soekarno-Hatta- akhirnya memudar karena ternyata hubungan keduanya kurang harmonis. Kini yang diperlukan rakyat adalah bencana itu dijadikan sumber pelajaran berharga. Jangan malah mempertontonkan betapa nyawa rakyat semakin tidak dihargai lagi. Ini penting. Sebab, kalau mau realistis, berapa nyawa melayang sia-sia selama pemerintahan SBY dengan beragam musibah. Tidak boleh di masyarakat berkembang (lagi) pandangan bahwa nyawa rakyat sengaja ditumbalkan untuk kepentingan kekuasaan. (*) *) Paulus Mujiran SSos, MSi - pengamat sosial, ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang [Non-text portions of this message have been removed]