*Mengurai Permasalahan Pornografi Anak* Oleh: Dewi Astuti
Saat ini pembahasan RUU Pornografi di DPR telah masuk tahap Tim Sinkronisasi. Itu berarti RUU Pornografi tidak lama lagi akan disahkan. Proses pembuatan RUU tidak transparan. Sejak adanya naskah akademik RUU Pornografi pada 13 Desember 2007, proses pembuatan RUU ini tidak melibatkanmasyarakat. Daftar Inventaris Masalah RUU tidak dibahas di Panitia Khusus (Pansus), namun di Panitia Kerja (Panja) yang dilakukan secara tertutup, utamanya pasal-pasal yang masih menimbulkan perdebatan. Padahal, adalah sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui perdebatan substansial pengaturan pornografi di DPR. Sejak awal, RUU ini menuai polemik. Di dalam masyarakat saat ini terpecah menjadi dua kutub yaitu: menolak atau mendukung RUU Pornografi. Mereka yang "mendukung" cenderung menutup dan melarang keras semua jenis pornografi serta mengatur perilaku individu baik di ruang publik maupun di ruang privat sehingga batas-batas pornografi menjadi tidak jelas. Sementara mereka yang "menolak" berpendapat bahwa substansi RUU Pornografi mengancam budaya Nusantara yang telah ada selama ratusan tahun dan menghilangkan kebebasan individu hingga ke ruang privat. Selain itu, aturan pornografi sudah diatur di KUHP, UU Penyiaran, dan UU Perfilman. Khusus untuk aturan pornografi anak, telah diatur dalam UU Perlindungan Anak. Fokus tulisan ini adalah pornografi anak. Apa sebenarnya masalah pornografi anak? Apa saja prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengaturan pornografi anak? Bagaimana alternatif yang tersedia untuk mengatur pornografi anak? Benarkah sudah cukup diatur dalam UU Perlindungan Anak? * * *Pornografi dan Dampaknya bagi Anak* *Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography* yang telah ditandatangani Indonesia pada 24 September 2001 mendefinisikan pornografi anak sebagai *"Setiap representasi, dengan sarana apapun, yang melibatkan anak secara eksplisit dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual".* Pornografi anak di Indonesia saat ini semakin marak. Perkembangan teknologi informasi di Indonesia tidak hanya membuka ruang diskusi politik, kesempatan membangun budaya dan aktivitas intelektual lainnya. Namun juga memunculkan berbagai modus kejahatan yang tidak ada sebelumnya, khususnya pornografi anak. Penjualan pornografi anak meningkat dan semakin mudah untuk diakses melalui media elektronik, cetak dan antar individu. Adalah hal yang mudah bagi setiap anak untuk melihat materi pornografi (termasuk materi pornografi anak) melalui internet, HP dan bahkan membeli berbagai CD film pornografi dipinggir jalan. Pornografi memiliki tiga bentuk kejahatan terhadap anak. Pertama, anak dijadikan komoditas seksual, utamanya anak perempuan. Anak (mayoritas adalah anak perempuan) yang dijadikan model pornografi mengalami kerusakan perkembangan fisik dan psikis yang dapat menghancurkan masa depan anak. Mereka seringkali menjadi rendah diri bahkan mendapat masalah kesehatan mental yang parah. Terlebih lagi, mereka umumnya dikucilkan oleh masyarakat di lingkungannya, diberi label sebagai "anak yang tidak bermoral" dan bahkan kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan. Kedua, anak yang dengan mudahnya mengakses materi pornografi dapat mencontoh aktivitas seksual sesuai dengan adegan yang ditontonnya. Inilah yang menyebabkan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan 68 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh Yayasan KAKAK di Jawa Tengah menunjukkan 10% pelaku adalah anak yang rata-rata dilakukan setelah menonton materi pornografi. Ketiga, peningkatan materi pornografi anak terjadi karena permintaan pasar. Pornografi anak, biasanya dikonsumsi oleh kaum fedophilia yang mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat dan melakukan hubungan seksual dengan anak. Oleh karenanya, keberadaan pornografi anak tidak hanya menyebabkan model (anak) pornografi mendapatkan kekerasan seksual di dalam proses pembuatannya; akan tetapi juga menjadi penyebab meluasnya berbagai kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh anak dan orang dewasa. * * *Anak sebagai korban pornografi * Pengalaman selama melakukan pendampingan anak yang menjadi korban pornografi dan prostitusi memperlihatkan latar belakang pelibatan anak dalam materi pornografi. Pertama, anak yang diperdagangkan oleh keluarga atau orang terdekatnya. Berdasarkan data *trafficking report* 2007 yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat, sekitar 225.000 anak dan perempuan di Asia Tenggara telah diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual, khususnya prostitusi dan pornografi. Kedua, anak yang melarikan diri dari rumah karena mendapat kekerasan di dalam rumahtangga sehingga mereka berusaha hidup mandiri di jalanan. Ketiga, kemiskinan yang mengakibatkan anak memilih untuk terlibat dalam industri prostitusi dan pornografi atas sepengetahuan orangtuanya. * * Kekerasan yang dialami oleh anak membuat mereka harus bertahan hidup secara mandiri. Tidak adanya pendidikan formal atau keahlian untuk bekerja menyebabkan mereka harus bertahan hidup dengan cara apapun. Pada saat itulah mereka terjebak dalam cara-cara illegal untuk mendapatkan kerja agar dapat bertahan hidup, seperti menjadi model pornografi ataupun prostitusi anak. Anggapan di masyarakat yang melihat mereka sebagai pelaku justru menyebabkan mereka tidak bisa keluar dalam lingkaran dunia pornografi dan prostitusi anak. Pada akhirnya, anak memiliki resiko yang tinggi untuk terkena virus HIV dan masalah serius lainnya yang membahayakan hidup. Mereka dipaksa menggunakan obat-obatan terlarang, mendapatkan kekerasan, pemerkosaan, disekap dan diancam oleh pelaku (*trafficker*) untuk mengontrol korbannya. Oleh karena itu, anak yang diperlakukan sebagai komoditas seksual seharusnya dilihat dan diberi perlindungan sebagai korban. * * *Pengaturan Pornografi Anak* Optional Protokol Konvensi Hak Anak sesungguhnya telah menegaskan tidak adanya toleransi (*zero tolerance*) untuk pornografi anak. Mulai dari pembuatan, penyebaran sampai kepemilikan pornografi anak dianggap kejahatan pornografi anak. Pelibatan anak dalam materi pornografi juga merupakan salah satu bentuk kerja terburuk anak dan telah disebutkan secara eksplisit dalam Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Indonesia telah meratifikasi kedua Konvensi tersebut sehingga negara memiliki kewajiban untuk melakukan langkah-langkah sistematis untuk memberikan perlindungan terhadap anak melalui pencegahan dan penghapusan pornografi anak. Lalu sejauh manakah peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia telah melindungi anak yang menjadi korban pornografi? Sampai saat ini, berbagai peraturan yang berkaitan dengan pornografi anak masih belum memadai dan melindungi anak. Undang-undang Perlindungan Anak hanya mengatur soal kekerasan seksual terhadap anak dan belum secara eksplisit memberikan pengaturan terhadap pornografi anak, khususnya larangan penyebaran dan kepemilikan Pornografi anak. Undang-undang ini juga belum memberikan perlindungan khusus kepada korban pornografi, khususnya anak yang dijadikan model pornografi. Sehingga pelaku yang membuat, menyebarkan dan bahkan memiliki pornografi anak tidak dapat dijerat oleh UU ini. UU Penyiaran hanya mengatur siaran Radio dan Televisi, belum mengatur tentang informasi di dalam dunia cyber, HP dan media lainnya. Padahal pornografi (khususnya pornografi anak) sangat mudah diakses oleh anak dan orang dewasa melalui dunia cyber (internet), *compact disc* (CD) dan HP. UU ini juga tidak memberikan sanksi hukum yang menegaskan pentingnya* zero tolerance* terhadap pornografi yang melibatkan anak dan akses anak terhadap pornografi. Sedangkan KUHP sebagai aturan warisan Belanda sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang yang memiliki modus-modus kejahatan yang canggih. Bahkan hukuman yang diberikan kepada pelaku sangat ringan sehingga tidak memberikan efek jera. *Pengaturan alternatif* Belum adanya aturan khusus tentang pornografi anak menimbulkan kebutuhan adanya pengaturan pornografi anak. Ada tiga alternatif yang dapat dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pertama, Pornografi anak dapat diatur dalam KUHP. Oleh karenanya, proses RUU KUHP yang sedang berjalan di DPR saat ini harus memasukkan aturan Pornografi anak. Kedua, diatur di berbagai UU yang berkaitan, misalnya UU Penyiaran, UU Perfilman dan UU Perlindungan Anak. Ini merupakan pilihan yang berat karena banyak RUU yang harus diamandemen, sehingga memerlukan biaya yang sangat mahal untuk proses pembahasannya. Pilihan ketiga, diatur dalam UU tersendiri. Sayangnya, proses pembahasan RUU Pornografi tidak partisipatif sehingga substansinya cenderung mengkriminalkan korban dan mengatur wilayah privat individu. Jika pilihan ketiga diambil, maka DPR sudah seharusnya menunda pengesahan RUU Pornografi dan mencoba untuk mendengarkan dan menyerap aspirasi masyarakat, khususnya korban. Pilihan apapun yang akan diambil untuk mengatur pornografi haruslah mencerminkan perspektif korban. Indikator sebuah pengaturan pornografi berperspektif korban yaitu: menutup semua akses materi pornografi kepada anak; melarang semua jenis pornografi yang melibatkan anak dan pencitraan anak; memberikan rehabilitasi, recovery dan reintegrasi kepada anak yang menjadi korban pornografi anak; memberikan hukuman kepada pelaku pornografi anak dan orang yang dengan sengaja memberikan akses pornografi kepada anak; memberikan hukuman kepada orang yang memiliki pornografi anak; anak yang terlibat dalam pornografi harus dilihat sebagai korban. Jika indikator ini tidak ada maka pengaturan pornografi masih belum melindungi anak. [Non-text portions of this message have been removed]