Jawa Pos
[ Kamis, 07 Mei 2009 ] 

Menyoal Nasionalisme Para Capres 

Oleh: A.M. Hendropriyono*

Atmosfer politik Indonesia pascapemilu legislatif kini penuh dengan manuver 
para elite yang merupakan masinis kereta api partai-partai. Pembentukan suatu 
koalisi besar dengan lokomotif partai-partai nasionalis, seperti Golkar, PDIP, 
Gerindra, dan Hanura, sedang diusahakan. Yang akan menjadi pesaing adalah 
rangkaian kereta api yang lokomotifnya juga partai nasionalis, yaitu Partai 
Demokrat. 

Kedua lokomotif kaum nasionalis itu sama-sama sedang berusaha menarik gerbong 
partai-partai lain untuk menambah panjang rangkaian kereta api politik yang 
akan bersaing pada Pilpres 2009. PKS, PAN, PKB, PPP, PBR, dan beberapa partai 
lain sudah memilih masuk rangkaian mana. Selebihnya masih terus sibuk 
menghitung mana yang lebih menguntungkan diri atau partai masing-masing. 

Persaingan itu nanti apakah berbentuk kompetisi yang sehat ataukah 
jotos-jotosan sangat bergantung kepada moralitas para pemimpin yang merupakan 
masinis lokomotif-lokomotif tersebut. Kebergantungan kepada pemimpin memang 
merupakan karakter rakyat di negara-negara berkembang pada umumnya. 

Karena itu, Jenderal Napoleon Bonaparte dari Prancis pada abad ke-19 berkata 
bahwa moral singa terdapat pada segerombolan kambing yang dipimpin singa. 
Namun, sebaliknya, moral kambing terdapat pada segerombolan singa yang dipimpin 
kambing. 

Pemilihan presiden Republik Indonesia kelak apakah akan diwarnai oleh moral 
politik singa ataukah kambing bergantung kepada penampakan empiris dari kiprah 
para elite masyarakat kita yang sedang berlangsung sekarang ini. 

Persaingan Antarnasionalis 

Para masinis partai-partai kita selama ini hanya menyatakan kepada rakyat bahwa 
kereta mereka kelak akan berjalan stabil. Artinya, mereka akan membangun 
pemerintahan yang kuat, baik di kabinet maupun di parlemen. Mereka tidak 
mengatakan bahwa kereta api itu akan menuju ke mana sehingga rakyat yang mau 
menaiki menjadi bingung. 

Gerbong-gerbong yang berwarna-warni itu semua disebut nasionalis, walau tidak 
jelas nasionalis apa yang dimaksudkan. Kalau kedua rangkaian kereta api itu 
nasionalis dan menuju ke arah yang sama, mengapa kedua kereta itu harus 
bersaing? 

Kebingungan rakyat tersebut dapat membawa mereka kepada kesesatan. Membiarkan 
rakyat tersesat adalah sama dengan menyesatkan rakyat. Rakyat Indonesia 
menuntut kejelasan atas nilai dasar yang diusung setiap parpol yang mengaku 
nasionalis. Nilai dasar dari negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang sudah jelas 
bagi rakyat adalah Pancasila. Yang tidak jelas bagi rakyat adalah nilai 
instrumentalnya, sejak UUD 1945 diamandemen pada 2000. 

Akibat amandemen tersebut kini rakyat mengalami praksis kehidupan ideologi yang 
sangat semrawut. Dasar filsafat negara yang merupakan tanah di hutan Indonesia 
telah demikian labil sehingga menggoyahkan ketahanan pohon-pohon politik, 
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan agama yang tumbuh di 
atasnya. 

Karena itu, pada awal reformasi dulu, para purnawirawan TNI-Polri dan 
sebahagian elite politik bangsa pernah menyerukan agar pemerintah segera 
mengembalikan UUD 1945 sebagai nilai instrumental dalam mengatur kehidupan 
kenegaraan kita. Namun, presiden RI tidak dapat memenuhi seruan itu karena 
amandemen UUD 1945 telah memiliki legitimasi dan legalitas yang sesuai dengan 
sistem politik demokrasi. 

Kepala negara tidak mungkin melakukan dekret yang dapat membuat bubur untuk 
menjadi nasi kembali. Tidak ada penentangan politik yang signifikan dari 
partai-partai nasionalis saat itu dan tidak ada juga desakan dari TNI-Polri 
seperti yang terjadi pada 1959. Hal tersebut berarti bahwa mereka semua tidak 
keberatan untuk lebih baik membuat bubur yang sudah diamandemen empat kali itu 
menjadi nikmat disantap. 

Membuat bubur nikmat kini merupakan tugas pemerintahan negara, baik eksekutif, 
legislatif, maupun yudikatif. Tugas administrasi negara yang sangat berat itu 
tidak mungkin dapat dilakukan elite bangsa yang tidak berkualitas. Apalagi 
tanpa moral nasionalisme Pancasila. 

Bangsa Indonesia Hanya Satu 

Bubur kesejahteraan tidak akan kunjung dinikmati rakyat karena para elite 
bangsa masih saja tidak sadar bahwa amanat penderitaan rakyat Indonesia adalah 
lebih penting daripada mengejar nafsu pribadi menjadi presiden. Ambisi menjadi 
presiden bersemayam pada diri beberapa orang yang tidak patut akibat 
ketidakpercayaan mereka kepada cermin untuk berkaca diri. 

Orang-orang seperti itu tidak mungkin mampu memperjuangkan nasib rakyat yang 
semakin diperbodoh kebingungannya. Keadaan ini sama dengan kondisi rakyat 
Amerika Serikat pada abad ke-18, yakni zaman neraka wild west yang melahirkan 
pepatah All Chiefs, no Indians. Mereka lupa bahwa dasar negara kita (walaupun 
praksisnya kini masih sangat semrawut) adalah Pancasila yang lebih 
mengedepankan nilai kolektivitas daripada individualitas. 

Moralitas mementingkan diri sendiri atau partai semata-mata telah mendorong 
kaum elite kita menyusun rangkaian kereta politik, yang akan saling serobot 
dengan sesama kaum nasionalis pada Juni 2009. Gelanggang pemilihan presiden RI 
kelak tidak akan dipenuhi mereka yang bermoral kambing, apalagi singa. 

Atmosfer politik Indonesia bahkan akan lebih buruk daripada itu karena pengap 
oleh moralitas tikus pithi, binatang kecil pengerat menjengkelkan yang 
masing-masing sekarang sedang saling menata barisan. Rangkaian kekuatan 
tersebut akan bergerak gelombang demi gelombang, dengan membawa bahaya 
anarkisme. 

Bubur yang nikmat dapat gagal terwujud, bahkan mungkin malah ludes dimakan 
tikus-tikus pithi itu sendiri. Menghadapi ancaman tersebut, rakyat Indonesia 
harus segera diingatkan pada pesan Bung Karno: ''Jikalau engkau ditanya 
berapakah jumlah bangsa Indonesia, jawablah bahwa jumlah bangsa kita adalah 
satu.'' 

Bagi kaum nasionalis, rakyat yang berbeda suku, agama, ras, dan agolongan hanya 
punya satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Dengan 
mengingat pesan pemimpin besar revolusi, setiap individu anak bangsa harus 
menjaga terselenggaranya pilpres yang jauh dari segala bentuk huru-hara dan 
kekacauan, yang akan dibawa oleh moralitas anarkis dari tikus-tikus pithi. (*) 

* Jenderal TNI (pur), mahasiswa S-3 Jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke