http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=28019:oposisi-koalisi-dan-perebutan-kursi-menteri-&catid=78:umum&Itemid=131


      Oposisi, Koalisi dan Perebutan Kursi Menteri      
      Oleh : Fadil Abidin



      Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, jumlah 
anggota kabinet maksimal 34 orang. Pos-pos kabinet sudah ditentukan cukup 
rinci. 

      Alhasil, dengan sokongan 24 parpol pendukungnya, SBY sebagai presiden 
terpilih, diprediksi akan kelimpungan menangani kemauan para pihak yang merasa 
telah berjasa dan berkeringat dalam kampanye Pilpres 2009 lalu.

      Beberapa parpol mitra koalisi Partai Demokrat sudah menggadang-gadang 
sejumlah nama untuk diplot menjadi calon menteri lengkap pula dengan pos 
menteri yang menjadi incaran. Menteri-menteri di bidang perekonomian, keuangan, 
pertambangan dan BUMN menjadi incaran yang utama. Sejumlah parpol mitra koalisi 
yang punya kursi di parlemen melalui ketua atau sekjen sudah mempublikasikan 
nama dan jumlah kursi yang mereka inginkan. PKS, PAN, PPP dan PKB sudah 
mempublikasikan nama, dan masing-masing meminta jatah 2-8 kursi menteri.

      Kalangan pengamat memprediksikan partai-partai politik yang selama ini 
merasa berjasa dalam memenangkan pasangan SBY-Boediono akan saling sikut untuk 
memperebutkan jatah kursi menteri. Jika SBY lebih banyak memilih menteri yang 
profesional (non-parpol) ketimbang dari kalangan parpol, maka koalisi 
pendukungnya pun bakal retak dan ambyar seperti tembikar. Saiful Mujani dari 
Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksi, koalisi SBY-Boediono yang didukung 
24 parpol terancam pecah akibat kericuhan dalam pembagian kursi kabinet. 
Pemicunya, SBY diperkirakan akan lebih banyak memilih menteri dari kalangan 
profesional ketimbang parpol. Jalan inilah yang dipilih SBY ketika memilih 
cawapres Boediono yang merupakan profesional (non-parpol). Kecenderungan ini 
membuat parpol mitra koalisi Partai Demokrat mulai ketar-ketir, mereka takut 
kader-kadernya tidak diakomodir di kabinet. 

      Tuntutan pembagian kursi menteri oleh parpol pendukung sebenarnya 
merupakan keniscayaan sekaligus dilema bagi SBY, karena sejak awal SBY memang 
telah membangun koalisi tambun untuk menopang kemenangannya. Apalagi kini SBY 
memunculkan wacana akan mengajak Golkar dan PDIP bergabung dalam kabinet. Maka, 
praktis koalisi yang tambun itu akan semakin tambun lagi. Bahkan ada yang 
mengkhawatirkan hubungan eksekutif-legislatif akan kembali seperti pada zaman 
Orde Baru. Tidak ada parpol yang bersedia menjadi oposisi di luar pemerintahan, 
semua berebut menikmati kekuasaan. 

      Tantangan ke Depan

      Kriteria yang paling baik harus ditetapkan SBY dalam memilih menterinya. 
Para menteri itu mesti profesional dan mumpuni, jangan seperti kabinet 
Indonesia Bersatu di mana orang-orang partai yang duduk di kabinet ternyata tak 
kompeten dan hanya mengemban kepentingan partai atau pribadi. Jika partai 
pendukung kelak tak kebagian kursi menteri, maka pos jabatan lain mungkin bisa 
disiapkan (misalnya menjadi duta besar). Tapi itu tak menjamin kepuasan mitra 
koalisi Partai Demokrat, karena pada dasarnya partai-partai politik sejak awal 
hanya mengejar kekuasaan.

      Itu baru tantangan awal pemerintahan baru SBY. Tantangan lain justru akan 
muncul dari terlalu kuatnya peran pemerintahan baru kelak. SBY mengantongi 
lebih dari 61 persen suara dalam pilpres lalu, maka SBY sebenarnya punya 
legitimasi yang luar biasa besar. Besarnya legitimasi SBY ini dibayang-bayangi 
ancaman munculnya kembali otoritarianisme, bahwa bayang-bayang kekuasaan 
ditengarai akan membuatnya terlalu 'pede' dan main mutlak-mutlakan.

      Apalagi secara budaya, ada kecenderungan bangsa Indonesia ini menyukai 
pemimpin tunggal yang kuat, absolut dan kharismatik. Di mata sebagian besar 
bangsa Indonesia, SBY kini cenderung dilihat sebagai seorang pemimpin idola dan 
bukan orang biasa. Ini mengingatkan publik pada konsepsi "negara teater" rekaan 
Clifford Geertz, di mana SBY sebagai presiden adalah pemain teater utama di 
panggung kekuasaan. Dalam negara teater, yang penting adalah pertunjukan yang 
menghibur rakyat dan ada rekayasa untuk meninabobokkan rakyat. Salah satunya 
dengan program-program yang populis yang menghibur rakyat secara instan, 
misalnya BLT, PKH, KUR,PNPM Mandiri, BOS, Sekolah Gratis, Raskin dan 
sejenisnya. 

      Namun tantangan mendesak SBY dalam waktu dekat adalah bahwa pemerintahan 
SBY-Boediono harus mampu meyakinkan publik untuk mewujudkan kehidupan ekonomi 
yang lebih baik. Harapan rakyat terhadap SBY yang begitu melambung tinggi 
dikhawatirkan berubah jadi kekecewaan dan frustasi jika harga minyak dunia 
kembali naik secara fluktuatif sehingga mau tidak mau harga BBM di dalam negeri 
juga ikutan naik. Efeknya sudah jelas yaitu harga sembako juga akan naik, 
sementara pasangan itu baru terpilih dan belum melakukan konsolidasi.

      Menakar Kemunafikan

      Bila ingin menakar kemunafikan para politisi inilah saatnya. Di depan (di 
mulut) mereka boleh saja berujar bahwa parpol mereka tak mengharap jatah 
menteri tapi di dalam hatinya mereka sangat berharap banyak agar kader-keader 
terpilih menjadi menteri, bahkan ada sebersit keinginan jika tidak terpilih 
mereka akan menjadi oposisi tersembunyi (hidden opposition) atau mungkin hanya 
bisa mengutuk dalam hati.

      Jika membaca berita-berita di dunia maya, maka kita akan banyak sekali 
menjumpai pernyataan-pernyataan para petinggi partai yang memasang semacam 
"warning" bahwa partainya harus menerima sekian jatah posisi menteri. Lalu 
disebutkan pula jasa-jasa parpol tersebut dalam Pilpres dan perolehan kursi 
yang cukup signifikan di parlemen. Kemudian dengan keyakinan tinggi, sang 
petinggi partai tersebut menyebutkan sejumlah nama kader partainya yang dinggap 
paling cocok menduduki kursi menteri tertentu.

      Sementara petinggi parpol lain tak kalah sesumbar, jika lima tahun lalu 
dengan kursi di parlemen cuma sekian bisa mendapat jatah kursi sekian, maka 
periode ini harus mendapat jatah kursi lebih banyak karena perolehan kursi di 
perlemen juga meningkat. Ia sepertinya "tak rela" jika parpol lain mendapat 
jatah kursi menteri lebih banyak.

      Ada pula petinggi partai yang "sudah main ancam", pokoknya kalau Partai 
Golkar atau PDIP ikut menikmati jatah menteri, partainya akan mempertimbangkan 
keikutsertaannya dalam koalisi. Ia menganggap kedua partai tersebut sebagai 
"penumpang gelap" dan menantang kedua partai tersebut agar tetap konsisten 
berseberangan sebagai oposisi di luar pemerintahan. 

      Tapi ironisnya para petinggi partai tersebut yang sebelumnya 
menggebu-gebu meminta jatah kursi menteri, dalam penutup statemen selalu 
mengeluarkan jurus retorika, "Semuanya terserah kepada Presiden SBY yang 
mempunyai hak prerogatif."

      Koalisi Seumur Jagung

      Dari sudut ini kita bisa menakar bahwa koalisi yang terjalin begitu rapuh 
karena hanya berdasar pada kepentingan sesaat, yaitu memenangkan pilpres dan 
merebut kursi kekuasaan sebanyak-banyaknya. Koalisi ini pasti tidak akan 
berjalan efektif selama lima tahun ke depan, diperkirakan hanya akan berjalan 
3-4 tahun, bahkan dalam kurun waktu tersebut akan terjadi beberapa fragmentasi 
dan perpecahan.

      Fragmentasi awal terjadi ketika pasangan SBY-Boediono dilantik dan harus 
segera menyusun anggota kabinet. Di sini adalah titik paling krusial untuk 
melanjutkan keutuhan koalisi. SBY kemungkinan besar akan akomodatif dengan 
merekrut banyak kader parpol dalam kabinet. Parpol koalisi sementara waktu 
senang dengan pembagian "kue" kekuasaan ini. Tapi seiring berjalannya waktu, 
kabinet tidak berjalan efektif karena banyak posisi menteri yang dijabat kader 
parpol tidak bekerja maksimal. Presiden melakukan reshuffle kabinet. Banyak 
kader parpol yang terpental dari kursi menteri, dan beberapa parpol yang sakit 
hati mulai memasang "warning" kepada pemerintahan SBY-Boediono. 

      SBY diperkirakan akan memasukkan beberapa profesional dalam kabinet baru 
termasuk kader-kader dari Partai Golkar. Hal ini dilakukan agar SBY tidak 
terus-menerus "digoyang" di parlemen. Di sini koalisi mulai pecah, beberapa 
parpol merasa tidak puas. Walaupun tidak secara resmi menyatakan diri sebagai 
oposisi tapi dalam praktiknya mereka menjadi pengkritik tajam di parlemen. SBY 
pada tahap ini sudah punya "banyak musuh" dan diperkirakan akan mereshuffle 
kabinet dua sampai tiga kali.

      Fragmentasi puncak terjadi mulai sekitar 3 tahun setelah pemerintahan 
berjalan dengan dimulainya beberapa pembahasan UU yang krusial termasuk UU 
Partai Politik, UU Pemilu dan UU Pilpres. Tarik-menarik kepentingan akan 
terjadi di sini, apalagi bila ada kecenderungan arah untuk menyederhanakan 
parpol yang berhak ikut pemilu dan pemberlakuan parliamentary threshold yang 
diperketat (walaupun kemungkinan besar dalam pilpres calon independen bisa 
mencalonkan diri). Tapi peluang ini sungguh mustahil karena DPR (yang nota bene 
adalah parpol) mau mengamandemen UUD dan mengakomodasi sebuah UU yang 
memungkinkan calon independen ikut pilpres. 

      Fragmentasi terakhir terjadi sekitar setahun menjelang pemilu atau ketika 
pemerintahan berjalan 4 tahun. Kita akan menyaksikan "Negara tanpa pemerintahan 
yang efektif". SBY sebagai presiden incumbent, tidak berhak lagi mencalonkan 
diri. Terjadi delegitimasi terhadap sosok SBY, (seperti menjadi kutukan) siapa 
pun yang menjadi presiden di negeri ini di ujung kepemimpinannya pasti terjadi 
proses delegitimasi sebelum masa jabatannya benar-benar berakhir. 

      Dalam periode ini kita tidak bisa menentukan siapa parpol koalisi atau 
parpol oposisi karena semua berlomba-lomba menjadi pengkritik untuk menaikkan 
popularitas menjelang pemilu. SBY tidak punya kendali lagi terhadap jajaran 
kabinetnya yang dikuasai kader parpol tertentu, semua sibuk dengan urusannya 
masing-masing. Bangsa ini diperkirakan akan meng-alami krisis kepemimpinan. 
Kita lihat saja ke depan, apakah prediksi-prediksi di atas terjadi atau tidak. 
Wallahu 'alam. *** 

      *Penulis adalah pemerhati masalah sosial, politik dan kemasyarakatan, 
e-mail: fadila 7...@yahoo.com
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke