Bismilahirrahmanirrahiim.
  Sdr Flora...Terimakasih share artikelnya
   
  Saya ingin ikut menambahkan pendapat tentang Jilbab bagi wanita.
  Dalam tulisan saya sebelumnya,:Syariat islam" saya telah jelaskan bahwa 
wanita dianjurkan atau diperintahkan oleh ALLAH berjilbab. 
   
  Tapi dalam ayat itu ALLAH tidak memberikan sangsi kepada orang2 yang tidak 
mengikuti Perintah ALLAH itu, sebagaimana sangsi hukum kepada orang2 berzina, 
mencuri dan membunuh.
  Kalau orang berzina ALLAH meminta penguasa menghukunya dengan cambut ,orang 
mencuri dihukum potong tangan.
   
  Jadi jelas perintah ALLAH yang ada sangsi hukumnya.
  Sedangkan perintah atau anjuran namanya berjilbab..tidak ada sangsi hukumnya, 
cobalah perhatikan ayat itu.
   
  Hanya dosa kalau tidak mengikuti anjuran atau pertintah dari ALLAH.....nanti 
ALLAH sajalah yang akan mengadilinya atau menghukumnya. apakah didunia atau 
diakhirat.
   
  Ulama2 atau pemerintah tidak berhak menghukumnya dengan membuat Undang2 
seperti di SAudi Arabia. Siapa yang tidak berjilbab keluar rumah di tangkap. 
Cara yang begini adalah melanggar hukum ALLAH, artinya ingin menegakan hukum 
ALLAH dengan kebatilan...inilah yang terjadi disebahagian masarakat islam 
radikal di saudi Arabia dan lain2nya.
   
  Kalau wanita merasa aman tanpa berjilbab keluar rumah yaa tidak berdosa..Akan 
berdosa sekiranya wanita itu diganggu oleh laki laki.
   
  Selama dia tidak diganggu, tidak berdosa. Berpakaian jilbab dimaksudkan oleh 
ALLAH agar wanita itu jangan sampai diganggu oleh laki2.
   
  Sekarang sudah banyak polisi, kalau ada orang yang menganggu wanita 
laporkansaja kepolisi.
   
  Di Amerika,kalau ada laki laki yang menganggu wanita(hak wanita) hukumannya 
sangat berat. Sehingga laki laki takut menganggu wanita, begitu pula di kantor2 
dan di Universitas.
  Demikian pemahaman saya tentang Syariat islam yang berhubungan dengan Jilbab.
  Semoga ada manfaatnya.
  wassalamu'alaikumwrwb

Flora Pamungkas <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          “Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an” 
Dr.Quraish Shihab tetap berpendapat jilbab adalah masalah khilafiah,
pendapat ganjil menurut pandangan ulama Salaf. Baca Catatan Akhir Pekan
[CAP] Adian Husaini ke-163 


Oleh: Adian Husaini 


Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr. Quraish
Shihab yang berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa
Lalu dan Cendekiawan Kontemporer”. Tempatnya di Pusat Studi Al-Quran,
Ciputat, lembaga yang dipimpin oleh Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai
pembicara adalah Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr. Jalaluddin Rakhmat, dan
saya sendiri. 

Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia tidak
mampu menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri, karena
kehabisan tempat duduk. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Mukhlis
Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas al-Azhar Kairo, yang baru beberapa
bulan kembali ke Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis Hanafi sendiri
sudah menulis satu makalah yang mengkritik pendapat Quraish Shihab tentang
jilbab. Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqih -- yang juga lulusan Al-Azhar –
mendadak menggantikan Dr. Anwar Ibrahim, anggota Komisi Fatwa MUI yang
berhalangan hadir. 

Prof. Quraish Shihab – seperti biasanya – dengan tenang mengawali paparannya
yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa
jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut
pandangan para ulama Islam terkemuka. 

Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran
yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga,
dia katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari
aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.” 

Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan
antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi
zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta
pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas,
pasti dan tegas. 

Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita
merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan
tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang
lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish
juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para
ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.” 

Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki.
Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri
sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh,
kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak
berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah:
apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib
menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka. 

Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab
adalah masalah khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah
adalah masalah muka dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan
sampai pergelangan, jika ada hajat yang mendesak. 

Kesimpulan Quraish Shihab – bahwa jilbab adalah masalah khilafiah --
seyogyanya diklarifikasi, bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara
para ulama tidak jauh-jauh dari masalah “sebagian tangan, wajah, dan
sebagian kaki”; tidak ada perbedaan diantara para ulama tentang wajibnya
menutup dada, perut, punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya. 

Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara
pembaca, bahwa ‘batas aurat wanita’ memang begitu fleksibel, tergantung
situasi dan kondisi. 

Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang
masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa
yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”. 

Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii
ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat
wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja. 

Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib
menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi
menyatakan -- bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan
telapak tangan – adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang
tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak
daripadanya.” (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs.
As’ad Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436)


Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama
Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah
‘’wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian wajah dan
telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas
bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita,
bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada
wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak
dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.” (Lihat, Murtadha Muthahhari
Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama,
2002). 

Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah
mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan
al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua
telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176). 

Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan
pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”,
“lokal” dan temporal”. Kesimpulan ini “cukup riskan” karena bisa membuka
pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam lainnya, sesuai
dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah orang
dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim,
dengan alasan, QS 60:10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena
rumah tangga Arab didominasi oleh laki-laki. 

Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah
tangga – sesuai dengan prinsip gender equality – maka hukum itu sudah tidak
relevan lagi. Bahkan, berdasarkan penelitian, lebih baik jika istrinya yang
muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim tetapi istrinya non-Muslim.
Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama ibunya. 

Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat
al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat
universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran
dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli, pernikahan, haid,
dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk orang Arab. Makanya
yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh
manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab,
wanita Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya.
Bentuknya juga sama. 

Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah koran
nasional pernah memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS melarang
wanitanya mengenakan pakaian yang memperlihatkan belahan dadanya, karena
dapat mengganggu konsentrasi para pelajar laki-laki, yang lebih suka melihat
belahan dada wanita ketimbang pelajaran di kelas. 

Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi di
jalan raya dengan bertelanjang bulat. 

Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan – di daerah mana
pun – wanita betelanjang dada – dengan alasan sudah menjadi “kebiasaan”
sukunya. Pakaian koteka tetap salah, dan mereka yang berkoteka diupayakan
secara bertahap supaya menutup auratnya. 

Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan
“final” maka hukum-hukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan
“universal” – tentu dengan memperhatikan faktor ‘illah. 

Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa
melontarkan pendapat seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang
bijak. Di tengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda masyarakat
dan munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita muslimah, penerbitan
buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah tindakan yang
bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang terhormat seperti
Pusat Studi Al-Quran. 

Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan
keluar dari seorang Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan keluar
dari seorang mufassir Al-Quran yang paling terkenal saat ini di Indonesia. 

Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang putrinya
yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu Majalah untuk
melegitimasi tentang tidak perlunya wanita mengenakan jilbab. Majalah ini
pada 22 Maret 2005, menulis judul 
cover: “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB.” 

Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak
mentarjih satu pendapat di antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya
kepada masyarakat luas untuk memilih pendapat-pendapat yang bermacam-macam.
Padahal, kata Dr. Eli, tugas ulama adalah memimbing masyarakat, dengan
menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat, dibandingkan dengan yang lain.
Seorang mahasiswi yang hadir mengaku bingung membaca buku Quraish dan takut
membawa buku itu ke tempat asalnya, karena buku itu ia nilai bisa
membingungkan. 

Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan pendapatnya
Ia tetap menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Padahal, dalam
bukunya, Quraish hanya merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal
Mesir yaitu Muhammad Asymawi. 

Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis
terhadap Asymawi. Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa
mengenakan jilbab yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan
adalah ‘sebuah anjuran’, bukan kewajiban. 

Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa
mengenakan jilbab adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan dalam
Al-Quran. Quraish Shihab, meskipun bertahan dengan pendapatnya, bahwa jilbab
adalah sebuah anjuran, namun dia mengaku telah mengajurkan keluarganya untuk
memakai jilbab. 

Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas
jilbabnya, karena membaca pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa
‘daerah-daerah rawan wanita’ tetap wajib untuk ditutup. 

Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya pendapat
para sahabat Nabi, para tabiin, tabi’ut tabi’in, dan para ulama sesudahnya,
tentang kewajiban mengenakan jilbab, lebih aman jika kita mengikuti pendapat
yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban yang jelas. Jika ada yang
belum mampu mengenakan jilbab – karena berbagai alasan – sebaiknya tidak
mengubah hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa ada kekurangan dalam
menjalankan perintah Allah SWT. 

Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan
pendapatnya semula. Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan
pendapat-pendapat untuk Quraish Shihab secara langsung. Kewajiban kita sudah
selesai. Sekarang kita serahkan kepada Allah SWT. 

Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab tentang 
jilbab. Lebih aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama yang sejak 
zaman Sahabat Nabi hingga kini telah bersepakat tentang kewajiban wanita 
menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Bagaimana pun, 
harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang jilbab, adalah pendapat yang 
ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin. Meskipun dia dikenal sebagai pakar 
tafsir, namun dalam hal ini, menurut saya, pendapatnya jelas keliru. 
Mudah-mudahan di masa mendatang, Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya. 
Wallahu a’lam. (Jakarta, 23 September 2006/www.hidayatullah.com ).

[Non-text portions of this message have been removed]



         

                
---------------------------------
How low will we go? Check out Yahoo! Messenger’s low  PC-to-Phone call rates.

[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke