http://suarapembaca.detik.com/read/2009/05/20/185753/1134903/471/paradigma-baru-pengentasan-kemiskinan
Rabu, 20/05/2009 18:57 WIB Paradigma Baru Pengentasan Kemiskinan Irfan Syauqi Beik - suaraPembaca Jakarta - Setelah melalui proses negosiasi yang panjang dan melelahkan serta sempat menimbulkan ketidakpastian politik akhirnya tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah menyatakan diri akan bertanding di Pemilihan Presiden 2009 mendatang. Ketiganya adalah SBY Boediono, JK-Wiranto, dan Mega-Prabowo. Kombinasi pasangan yang sesungguhnya merupakan muka-muka lama di jagad politik nasional. Dengan mayoritas mereka telah berusia di atas 60 tahun. Di tangan merekalah arah perjalanan bangsa lima tahun ke depan akan ditentukan. Apakah akan semakin baik atau justru semakin memburuk. Di antara isu sentral yang dihadapi oleh bangsa ini adalah isu ekonomi dan kemiskinan. Tentu saja situasi ini membutuhkan solusi pengelolaan yang tepat dan efektif sehingga bangsa Indonesia dapat keluar dari persoalan kemiskinan yang membelitnya. Kebijakan pembangunan yang selama ini mengutamakan konsep "grow first then redistribute" ternyata mengalami kegagalan. Menurut Mudrajad Kuncoro (2007), 40 persen kelompok termiskin semakin tersisih karena share pertumbuhan ekonomi yang mereka nikmati mengalami menurun. Dari 20,92% pada tahun 2000 menjadi 19,2% pada 2006. Artinya, 20% kelompok terkaya dan 40% kelompok menengahlah yang lebih banyak menikmati kue pertumbuhan ekonomi. Sebagai bukti, 20% kelompok terkaya Indonesia menikmati share 45,72% pada 2006, naik dari 42,19% pada tahun 2000, meski di sisi lain data BPS menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan. Fakta ini sejalan dengan kondisi global sebagaimana yang terangkum dalam World of Work Report 2008 yang diterbitkan ILO (International Labor Organization). Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa employment opportunity atau kesempatan kerja dalam kurun waktu 1990-2007 mengalami peningkatan sebesar 30%. Namun demikian kondisi itu ternyata bertolak belakang dengan kesejahteraan buruh berpendapatan rendah yang justru mengalami penurunan kondisi hidup. Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa kontribusi kelompok buruh miskin ini terhadap GDP mengalami penurunan masing-masing sebesar 13% di Amerika Latin dan Karibia, 10% di Asia Pasifik, dan 9% di negara-negara maju. Sedangkan para CEO memperoleh pendapatan yang berlipat-lipat dibandingkan pekerja biasa. Sebagai contoh, CEO 15 perusahaan terbesar di AS mendapat pendapatan 500 kali lebih besar dibanding pekerjanya pada tahun 2007. Naik dari 360 kali lipat pada tahun 2003. Demikian pula di negara-negara maju lainnya yang rata-rata lebih dari 100 kali lipat. Ini menunjukkan bahwa pendekatan konvensional telah gagal. Jika Indonesia masih terjebak pada paradigma lama pengentasan kemiskinan maka bisa dipastikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan pendapatan akan mengalami kesulitan. Saatnya kita mengubah paradigma kebijakan ekonomi dengan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap textbook Barat. Meskipun APBN 2009 telah menegaskan arah kebijakan pembangunan yang pro growth, pro job, dan pro poor, namun jika instrumen yang digunakannya masih bersifat konvensional, maka upaya tersebut akan memiliki progres yang lambat. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah optimalisasi ekonomi syariah sebagai dasar kebijakan ekonomi negara. Hal ini sejalan pula dengan temuan KA Ishaq (2003) yang menyatakan bahwa di antara penyebab utama kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam memerangi kemiskinan global adalah dikarenakan diabaikannya penggunaan instrumen-instrumen berbasis agama dan budaya lokal. Ekonomi Syariah Sesungguhnya ada banyak instrumen ekonomi syariah yang dapat digunakan. Antara lain zakat, infak, dan sedekah (ZIS), wakaf termasuk wakaf tunai, perbankan syariah (BUS, UUS, dan BPRS), BMT, dan koperasi syariah, serta instrumen di pasar modal syariah seperti sukuk. Zakat sebagai contoh, jika dimanfaatkan dan dikelola dengan baik dan amanah, akan memberikan dampak positif terhadap mustahik (kelompok penerima zakat). Penelitian Beik (2009) menunjukkan bahwa zakat yang digunakan untuk modal usaha produktif mustahik, mampu mengurangi kemiskinan mustahik sebesar 7,5% di Jakarta. Masih menurut Beik (2009), program kesehatan dan rumah sakit gratis berbasis zakat mampu mengurangi kemiskinan mustahik sebesar 10%. Dengan potensi zakat puluhan triliun setiap tahunnya maka instrumen ini sesungguhnya menawarkan alternatif solusi yang lebih baik daripada utang luar negeri, yang jelas-jelas hanya memerangkap bangsa ini di bawah ketiak bangsa asing. Demikian pula dengan wakaf, yang luas tanah wakaf di Indonesia saja dua kali lipat wilayah Singapura, dengan nilai aset lebih dari 600 triliun rupiah. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf tunai yang sangat luar biasa. Sejarah membuktikan bahwa wakaf tunai mampu menggerakkan perekonomian Turki Usmani selama hampir 6 abad. Bahkan Islamic Relief Inggris, dengan wakaf tunai yang dikelolanya, mampu membantu ratusan ribu orang miskin di 25 negara seluruh dunia, dengan dana yang terkumpul tidak kurang dari 30 juta poundsterling setiap tahunnya. Begitu pula dengan instrumen-instrumen lainnya. Pendeknya, kalau para pengambil kebijakan negeri ini mau serius untuk secara bertahap menggunakan instrumen ekonomi syariah, maka penulis yakin upaya pengentasan kemiskinan akan dapat terakselerasi dengan baik. Bangsa kita akan memiliki kemandirian ekonomi, sehingga kedaulatan dan kehormatan negara dapat tetap dijaga. Mengembangkan ekonomi syariah sama dengan mengembangkan kebijakan ekonomi pro rakyat, karena ekonomi syariah memiliki keberpihakan yang jelas kepada kepentingan rakyat. Penulis sangat menyayangkan kalau ketiga pasangan yang ada, tidak memberikan perhatian yang cukup. Karena itu, mari kita sama-sama kritisi arah kebijakan ekonomi ketiga pasangan yang ada, sebelum memutuskan untuk memilih yang mana. Dan kepada ketiganya, penulis menyerukan untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai dasar kebijakan ekonomi bangsa. Irfan Syauqi Beik Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia se-Malaysia (PPIM) Kandidat Doktor Ekonomi Islam IIU Malaysia Jalan Gombak Kuala Lumpur, Malaysia Email: qibeik...@yahoo.com ++++ http://suarapembaca.detik.com/read/2009/05/20/091418/1134301/471/kemiskinan-hanya-sebagai-obyek-kepentingan Rabu, 20/05/2009 09:14 WIB Kemiskinan Hanya Sebagai Obyek Kepentingan Irwansyah - suaraPembaca Jakarta - Menunaikan hak dan kewajiban adalah satu mata rantai yang tak pernah terpisahkan. Kewajiban berupaya menjalankan semua perintah atau sikap yang jauh dari mudarat. Sedangkan hak adalah hasil dari upaya. Bisa berupa reward, tuntutan, upah, atau kafalah. Seorang karyawan harus memenuhi kewajiban dengan cara memenuhi perintah atasan dan dijalankan dengan baik tanpa ada keluh kesah. Seorang warga pun harus memenuhi kewajiban untuk bayar pajak, tagihan telpon, dan lain-lain. Pembicaraan hak dan kewajiban mudah sekali diterjemahkan oleh sosok Maman (37). Ia adalah seorang pengusaha distribusi minuman. Sebelumnya ia sempat di PT Sinar Sosro hampir 20 tahun. Entah kenapa ia mengundurkan diri. yang pasti hak dan pengabdian sebagai karyawan tidak terpenuhi. Setiap orang akan mengenalnya. Sosok pria bersahaja nan tegas dan berwibaya. Aku memang sudah lama kenal sosok pria ini. Maklum saja. Dulu sempat berkunjung ke rumahnya. Mari kita simak obrolan dengan pria satu ini di sebuah mobil kesayangannya. Bicara kewajiban adalah bicara memenuhi kehendak sedangkan bicara hak bicara tuntutan, katanya. "Apa pun namanya yang jelas antara hak dan kewajiban terkadang ketika permintaan hak tidak sepadan dengan kewajiban yang telah dijalankan. Seorang caleg, misalnya, ketika kampanye ia mencoba bergerilya mencari dukungan tak segan selalu memberikan impian dan janjinya pada masyarakat', ucapnya memberikan contoh. "Kita lihat saja pemilu kini", kata pria beranak dua ini. "Rata-rata partai selalu mengkultuskan dirinya rasa simpatiknya dengan memulihkan hak rakyat. Pepesan kosong kerap dilontarkan. Baik ketika kampanye maupun dalam bentuk slogan". "Ironisnya, ketika berhadapan langsung dengan masyarakat tanpa basa basi rakyat khususnya masyarakat miskin mengatakan muak dengan ucapan para caleg dan elit politik", umpatnya. Wajar sajar, sebab kenyataannya orang miskin sudah terbiasa menjadi latar eksploitasi. "Mereka kerap disanjung dan selalu dikunjungi pasca pemilu. Sang miskin merasa sangat dibutuhkan para pejabat dan elit", ucap pria lulusan sarjana ini. Bahkan jangan heran, menurut Maman, di antara mereka ada saja yang berpikiran cerdas. Letupan-letupan ucapannya pastinya membuat kita merasa tersanjung. "Sekarang sudah tak ada lagi wakil rakyat di parlemen. Yang ada hanya ajang mencari kekuasan", ucapnya pasti. "Jadi, menurut Mas, sekarang ini rata-rarta caleg yang terpampang tidak adanya yang benar-benar seorang yang mewakili rakyat?" ucapku menegaskan. "Mereka hanya mengumpulkan kader-kader untuk siap berkuasa", jawab Maman. Di sana tak ada lagi mengutamakan kepentingan rakyat tapi kepentingan partai. Lucunya jika sudah duduk di kursi terhormat mereka tanpa basa-basi mengelakan kepalanya bahkan segan mau menegur. Katanya studi banding ke luar negeri namun nyatanya hanya berlabuh dengan menikmati harta dari upeti rakyat. Padahal saat itu sedang ada musyawarah besar membahas genting problem negeri ini. Jika rakyat menuntut haknya yang ada mereka hanya memperlakukan tuntunan rakyat dengan menyerahkan kepada kacung-kacungnya. Andaikan memang demikian, kata Maman sambil menyeruput rokoknya, perlu sebuah kajian. Selamanya rakyat terus didoktrin dengan slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Slogan itu memang sudah tak trendi lagi tapi nyatanya masih ada. Hanya bahasa saja yang berbeda. "Itu, kan, sama saja membodoh-bodohi rakyat", imbuhnya. "Saat ini berapa besar keinginan Mas untuk memilih?" tanyaku. Si Maman mengatakan sulit untuk menentukan. Saya tidak tahu mana yang terbaik. "Terus-terang saya, dulu simpati dengan salah satu partai berideologi Islam. Namun belakangan ini kenapa kader-kadernya selalu diminati duit ya? Padahal kader sudah berjibaku untuk mengeluarkan tenaga dan miliran bahkan waktu. Bayangkan kader harus mengeluarkan uang lima ratus ribu hingga satu juta rupiah. Bukankah, setiap caleg dipotong. Bahkan ngomong-ngomong sejumlah ormas memberikan berapa persen dananya sosial untuk partai," ucapnya bisik-bisik. Jadi pemilu dapat menjamin hak dan kewajiban masyarakat tidak? Dengan tenangnya ia menjawab seolah-olah seorang pengamat sosial. Di satu sisi rakyat sebagai obyek pemilu dengan cara berkewajiban memilih. Sementara di sisi lain hak-hak rakyat diabaikan, dikebiri, bahkan diinjak-injak. "Maksud Mas?" tanyaku penasaran. "Kini sudah jelas yang menjadi penyebab memudarnya rasa nasionalisme adalah tidak adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Semua rakyat harus memenuhi kewajiban untuk mencontreng caleg. Sedangkan memenuhi hak mereka tidak diberikan sepenuh hati". Contohnya, lumpur Lapindo saja. Ini tidak adil. Lamban laun rakyat hanya sebagai obyek kepentingan pihak lain. Bahkan, bisa jadi mereka sangat apatis terhadap segala imbauan pemerintah, pungkas, setengah hati. "Sudahlah, ya, kamu turun di sini? Lain kali kita bahas kembali", ucapnya sambil menepikan mobilnya. Dan aku segera turun. Terima kasih Mas lain kali kita bahas kembali, ucapku melambaikan tangan. Irwansyah H Saikin Pondok Pinang Jakarta Selatan memed...@yahoo.com (msh/msh) [Non-text portions of this message have been removed]