Pemimpin (Imam) Politik sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com
Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imâm, al-khalîfah, dan amîr al-mukminin. Ketiga gelar simbolik ini telah pernah memainkan peran penting pada roda kepemimpinan dalam sejarah perkembangan Islam. Berikut ini beberapa penjelasan singkat tentang hakikat makna setiap gelar simbolik tersebut. Al-Imâm. Dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya mempunya beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan agama (al-immah), Ibu dan Bendara (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh kaumnya (imam). Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka. Menurut Thaba'thaba'i, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang pimpinan masya¬rakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan. Murtadha Muthahhari berpen¬dapat, bahwa imam adalah pribadi yang memiliki be¬berapa pengikut, terlepas dari kenya¬taannya apakah dia saleh atau tidak. Dalam Al-Quran disebutkan, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan seizin Kami." (Al-Anbiyâ': 73). Jadi secara harifiah, imam adalah seorang pemimpin. Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain itu, imam diguna¬kan juga untuk menyebut Al-Quran, Nabi Muham¬mad, kha¬lifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanan, dan kepemimpinan. Dalam Al-Quran, imam digunakan untuk menye¬but pemimpin masyarakat (Q/Al-Isra':71), kitab suci (Q/Hud: 17), pemimpin orang baik (Q/Al-Ambiya: 72-73), pemimpin orang kafir (Q/Al-Qashash dan Q/Al-Tawbah: 12) Dari ayat-ayat Al-Quran di atas, bisa dipetik dua pengertian dari makna imâm; sebagian besar digunakan dalam Al-Quran membuktikan adanya indikasi yang bermakna "kebaikan". Pada sisi lainbahwa kata imâm juga menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. Kedua, kata imâm dalam ayat-ayat Al-Quran itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, dan Musasebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa. Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti nabi untuk mengurus masalah umat Islam. Abu Bakar menegaskan, "Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah." Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Khalifah sebagai konsep politik merupakan antitesis dari sistem ke¬kaisaran yang absolut otoriter. Amîr Al-Mu'minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtabsetelah menggan¬tikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, "Itu adalah bagian dari ciri khas kekhalifahaan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa'il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa'ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu'minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu'minîn sebagai pengganti gelar yang susah disebut, yaitu: Khalifatu khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan perlu atau adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau umat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dimungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut ijma'. Alasannya, karena lembaga kepala dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengurus urusan dunia. Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al-`adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya pancaindera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy. Adapun Imam Al-Ghazali mengingatkan kepada para pemimpin, khususnya para penguasa, bahwa kekuasaan yang didudukinya memiliki batas dan kadar tertentu, dan bisa juga kekuasaan itu mengandung keburukan. Karena itu, dalam menjalankan kekuasaan¬nya, seorang pemimpin harus menjalankan sepuluh prinsip keadilansebagai syarat pertama bagi seorang pemimpin, seperti disebutkan Al-Mawardi. Antara lain; seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi; menerima pesan ulama; berlaku baik kepada bawahan; memiliki rasa rendah hati dan penyantun; tidak mementingkan diri sendiri; memiliki loyalitas tinggi; hidup sederhana; lemah lembut; cinta rakyat; serta tulus dan ikhlas. Yang jelas, Nabi Muhammad dengan tegas me¬ngingatkan para pemimpin. Nabi bersabda, "Hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memimpin umat, tetapi mengkhianati, dan tidak memberikan nasihat atau mengasihi mereka, Allah mengharamkan surga kepadanya." Dalam hadis lain Rasulullah berkata, "Siapa jadi pemimpin umat Islam, tetapi tidak mem¬perhatikan mereka sebagaimana terhadap keluarganya sendiri, berarti ia telah memperoleh tempat yang mapan di api neraka." Wa Allahu a'lam bi al-shawab. sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com Salam Cinta, agussyafii Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui [EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com