Re: [wanita-muslimah] Penyiar VOA Isa Ismail: Saya atheis

2006-02-23 Terurut Topik kumincir
Dan senandung Imagine pun kembali terdengar...

jk

On 2/22/06, radityo djadjoeri [EMAIL PROTECTED] wrote:


   Dalam pandangan saya waktu itu, kenapa ini ada dua ajaran yang
 sama-sama
 benar? Mana mungkin bisa begitu?, katanya bertanya-tanya.
 Pertanyaan-pertanyaan
 ini, terjawab dengan berjalannya waktu. Ketika ia makin melihat,
 mempelajari,
 bagaimana setiap kelompok agama dan masyarakat, masing-masing
 memperjuangkan  kebenarannya masing-masing yang berakhir dengan pertumpahan
 darah. Ditanya  mengenai apa yang masih melekat dalam dirinya mengenai etika
 orang Padang? Isa menjawab, Di mana bumi di pijak, di situ langit di
 junjung, pepatah ini sangat melekat dalam diri saya.


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
~- 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[wanita-muslimah] Penyiar VOA Isa Ismail: Saya atheis

2006-02-22 Terurut Topik radityo djadjoeri
Penyiar VOA Isa Ismail: Saya atheis 

http://www.voanews.com/indonesian/isa_ismail.cfm
   
  Bersama Pak Isa demikian beberapa rekan VOA (Voice of America) di Divisi 
Indonesia  menyapa pria bernama lengkap Isa Ismail ini, kita akan ditawari 
aroma kebebasan  dalam banyak hal, mulai dari masalah politik, masalah pribadi, 
sampai agama.  Dan pendengar pun, juga akan disapa oleh Isa Ismail hampir 
setiap hari dengan  laporannya di siaran pagi, mulai dari berita utama, 
internasional, ekonomi, dan olah raga. 
   
  Pada 1984, bekas wartawan Reuters ini terpaksa meninggalkan Indonesia 
karena diburu-buru oleh orang-orang Suharto karena tulisan-tulisannya yang 
tajam mengenai Timor-Timor. Isa mengatakan, Tulisan-tulisan saya sesungguhnya 
tidak terkait dengan pro atau kontro Timor-Timor, masalahnya lebih mengenai 
fungsi saya sebagai wartawan untuk menjelaskan secara apa adanya kepada 
masyarakat, apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga masyarakat bisa membuat 
keputusan sendiri. Isa menambahkan justru kemungkinan itulah yang dihindari 
oleh pemerintah Suharto, Suharto takut bila rakyat mendapatkan kebenaran, 
katanya berapi-api. 
   
  Masalah Timor-Timor memanas sejak awal 80-an. Ketika itu pemerintahan Suharto 
berusaha secara ketat mengontrol berita-berita mengenai Indonesia, baik bagi 
media luar negeri, maupun dalam negeri yang didistribusikan di Indonesia. Maka 
tidak heran kalau orang-orang di Indonesia harus menikmati koran-koran asing 
yang dicoret-coret dengan tinta hitam, atau justru berlobang-lobang karena 
telah dipotong-potong sebelumnya, kata pria yang pernah belajar di Perguruan 
Tinggi Publisistik di Jakarta ini. Karena itu, Isa bisa menghargai keterbukaan 
informasi yang ada di Amerika. Menurutnya, Penting bagi setiap individu untuk 
tidak sekadar ikut arus dalam keinginan penguasa, kata pria penggemar sepeda 
motor ini. Ia menjelaskan, dengan adanya keterbukaan informasi ini, masyarakat 
akan dapat membuat kesimpulannya sendiri. Ketika masih di Jakarta, ia pun 
berkali-kali memenuhi panggilan Departemen Penerangan (Deppen) berkaitan dengan 
tulisannya. 
   
  Suatu hari saya dipanggil, ditanya mengenai apa paspor saya apa masih 
berlaku 
dan sebagainya. Pada puncaknya, isterinya seorang warga negara Perancis yang 
bekerja di United Press International (UPI) tidak diberi perpanjangan izin 
kerja lagi. Ketika itu saya sudah pada puncak kelelahan, kata laki-laki 
berdarah Padang ini. Saya kira inilah teknik mereka untuk mengusir kami dari 
Indonesia. Saya tanya waktu itu, mengapa isteri saya yang biasanya justru 
ditelpon oleh Deppen untuk memperpanjang visanya, sekarang tidak diberi ijin 
perpanjangan. Apa alasannya? Tanya saya waktu itu. Dan seperti kami duga 
sebelumnya, mereka tidak mengemukakan alasan yang sesungguhnya bahwa ini 
berkaitan dengan berita-berita yang ia tulis. Kami tidak perlu memberikan 
alasan. Itu hak kami, Begitu jawaban Deppen ketika itu. Mereka justru 
memberikan jawaban-jawaban yang tidak manusiawi terkait dengan rumah tangga 
kami kata kolektor kamera ini. 
   
  Orang-orang dari Deppen ketika itu menyarankan mereka untuk tinggal di 
Bangkok 
atau Singapura, apabila ia ingin menemui istrinya setiap minggunya, sedangkan 
mereka baru mempunyai anak yang masih kecil ketika itu. Pria yang gemar 
berkeliling diseluruh negara bagian Amerika, Kanada, Eropa, Hongkong, Singapura,
Korea, maupun Philipina ini akhinya meninggalkan Indonesia menuju Perancis. 
Beberapa bulan tinggal di Paris negeri isterinya, kemudian sang isteri mendapat 
kesempatan kerja di Amerika Serikat. Dan pada tahun yang sama, Isa mengkontak 
VOA di Washington. Setelah melalui beberapa tes, Isa Ismail pun mulai bekerja 
di Voice of America pada tahun 1985. Ditanya apa yang menarik selama tinggal di 
Amerika selama ini. Isa mengatakan yang menarik baginya adalah banyaknya 
fasilitas yang menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kita bisa memanfaatkan 
waktu secara lebih baik, selain memudahkan beban kerja sehari-hari terutama 
pekerjaan rumah tangga. Misalnya saja, beberapa tugas membayar rekening 
listrik, telepon, biaya belanja sehari-hari, atau bahkan memperpanjang atau 
membuat SIM atau STNK bisa diselesaikan hanya dengan mengangkat ganggang 
telepon atau melalui internet. Kepribadiannya yang terbuka bahkan saking 
terbukanya, ia tidak segan-segan menamakan dirinya seorang Atheis. 
   
  Pria berdarah Padang ini mengaku tertarik untuk berpikir bebas dari 
dogma-dogma 
agama sejak ia berusia 12 tahun, ketika duduk di bangku SMP Kanisius Jakarta. 
Isa melihat sesungguhnya agama diciptakan oleh manusia untuk kepentingan
manusia dalam menjalankan fungsi kontrol. Agama diciptakan sebagai faktor 
fear, katanya tegas. Bapak berputra tiga anak ini menggangap bahwa Atheisme 
adalah hal yang paling logis. Saya tidak melihat bukti bahwa Tuhan itu ada, 
katanya pesimis. Faktor fearlah yang melandasi orang percaya pada agama, 
katanya. Tetapi sebentar dulu, mengapa ia bangga menjadi seorang Atheis? Apakah