Penyiar VOA Isa Ismail: Saya atheis
http://www.voanews.com/indonesian/isa_ismail.cfm
Bersama Pak Isa demikian beberapa rekan VOA (Voice of America) di Divisi
Indonesia menyapa pria bernama lengkap Isa Ismail ini, kita akan ditawari
aroma kebebasan dalam banyak hal, mulai dari masalah politik, masalah pribadi,
sampai agama. Dan pendengar pun, juga akan disapa oleh Isa Ismail hampir
setiap hari dengan laporannya di siaran pagi, mulai dari berita utama,
internasional, ekonomi, dan olah raga.
Pada 1984, bekas wartawan Reuters ini terpaksa meninggalkan Indonesia
karena diburu-buru oleh orang-orang Suharto karena tulisan-tulisannya yang
tajam mengenai Timor-Timor. Isa mengatakan, Tulisan-tulisan saya sesungguhnya
tidak terkait dengan pro atau kontro Timor-Timor, masalahnya lebih mengenai
fungsi saya sebagai wartawan untuk menjelaskan secara apa adanya kepada
masyarakat, apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga masyarakat bisa membuat
keputusan sendiri. Isa menambahkan justru kemungkinan itulah yang dihindari
oleh pemerintah Suharto, Suharto takut bila rakyat mendapatkan kebenaran,
katanya berapi-api.
Masalah Timor-Timor memanas sejak awal 80-an. Ketika itu pemerintahan Suharto
berusaha secara ketat mengontrol berita-berita mengenai Indonesia, baik bagi
media luar negeri, maupun dalam negeri yang didistribusikan di Indonesia. Maka
tidak heran kalau orang-orang di Indonesia harus menikmati koran-koran asing
yang dicoret-coret dengan tinta hitam, atau justru berlobang-lobang karena
telah dipotong-potong sebelumnya, kata pria yang pernah belajar di Perguruan
Tinggi Publisistik di Jakarta ini. Karena itu, Isa bisa menghargai keterbukaan
informasi yang ada di Amerika. Menurutnya, Penting bagi setiap individu untuk
tidak sekadar ikut arus dalam keinginan penguasa, kata pria penggemar sepeda
motor ini. Ia menjelaskan, dengan adanya keterbukaan informasi ini, masyarakat
akan dapat membuat kesimpulannya sendiri. Ketika masih di Jakarta, ia pun
berkali-kali memenuhi panggilan Departemen Penerangan (Deppen) berkaitan dengan
tulisannya.
Suatu hari saya dipanggil, ditanya mengenai apa paspor saya apa masih
berlaku
dan sebagainya. Pada puncaknya, isterinya seorang warga negara Perancis yang
bekerja di United Press International (UPI) tidak diberi perpanjangan izin
kerja lagi. Ketika itu saya sudah pada puncak kelelahan, kata laki-laki
berdarah Padang ini. Saya kira inilah teknik mereka untuk mengusir kami dari
Indonesia. Saya tanya waktu itu, mengapa isteri saya yang biasanya justru
ditelpon oleh Deppen untuk memperpanjang visanya, sekarang tidak diberi ijin
perpanjangan. Apa alasannya? Tanya saya waktu itu. Dan seperti kami duga
sebelumnya, mereka tidak mengemukakan alasan yang sesungguhnya bahwa ini
berkaitan dengan berita-berita yang ia tulis. Kami tidak perlu memberikan
alasan. Itu hak kami, Begitu jawaban Deppen ketika itu. Mereka justru
memberikan jawaban-jawaban yang tidak manusiawi terkait dengan rumah tangga
kami kata kolektor kamera ini.
Orang-orang dari Deppen ketika itu menyarankan mereka untuk tinggal di
Bangkok
atau Singapura, apabila ia ingin menemui istrinya setiap minggunya, sedangkan
mereka baru mempunyai anak yang masih kecil ketika itu. Pria yang gemar
berkeliling diseluruh negara bagian Amerika, Kanada, Eropa, Hongkong, Singapura,
Korea, maupun Philipina ini akhinya meninggalkan Indonesia menuju Perancis.
Beberapa bulan tinggal di Paris negeri isterinya, kemudian sang isteri mendapat
kesempatan kerja di Amerika Serikat. Dan pada tahun yang sama, Isa mengkontak
VOA di Washington. Setelah melalui beberapa tes, Isa Ismail pun mulai bekerja
di Voice of America pada tahun 1985. Ditanya apa yang menarik selama tinggal di
Amerika selama ini. Isa mengatakan yang menarik baginya adalah banyaknya
fasilitas yang menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kita bisa memanfaatkan
waktu secara lebih baik, selain memudahkan beban kerja sehari-hari terutama
pekerjaan rumah tangga. Misalnya saja, beberapa tugas membayar rekening
listrik, telepon, biaya belanja sehari-hari, atau bahkan memperpanjang atau
membuat SIM atau STNK bisa diselesaikan hanya dengan mengangkat ganggang
telepon atau melalui internet. Kepribadiannya yang terbuka bahkan saking
terbukanya, ia tidak segan-segan menamakan dirinya seorang Atheis.
Pria berdarah Padang ini mengaku tertarik untuk berpikir bebas dari
dogma-dogma
agama sejak ia berusia 12 tahun, ketika duduk di bangku SMP Kanisius Jakarta.
Isa melihat sesungguhnya agama diciptakan oleh manusia untuk kepentingan
manusia dalam menjalankan fungsi kontrol. Agama diciptakan sebagai faktor
fear, katanya tegas. Bapak berputra tiga anak ini menggangap bahwa Atheisme
adalah hal yang paling logis. Saya tidak melihat bukti bahwa Tuhan itu ada,
katanya pesimis. Faktor fearlah yang melandasi orang percaya pada agama,
katanya. Tetapi sebentar dulu, mengapa ia bangga menjadi seorang Atheis? Apakah