[wanita-muslimah] Re: Mengurai Permasalahan Pornografi Anak
Yang mendukung .. bisa dimengerti .. Yang menolak .. juga bisa difahami .. Yang mendukung, bisa dimengerti karena liarnya pornografi tidak mungkin dibiarkan terus-menerus. Yang menolak pun, bisa difahami karena dukungan paling santer datang dari pola pikir 'hitam putih', kelompok tertentu, sampai dengan kekhawatiran akan adanya 'penumpang gelap' dari pembahasan RUU tsb. Arus utama dari pendukung RUU ini sepertinya tidak akan beda dengan kelompok yang menolak RUU Regulasi Aborsi. Bisa dilihat sosialisasi penolakan itu -lewat mimbar s/d sms berantai- berupa disinformasi dari regulasi ke legalisasi. Selanjutnya soal 'penumpang gelap'... 'Penumpang gelap' ada akibat ketertutupan pada pembahasan RUU itu. Ketertutupan itu yang kemudian melahirkan kompromi-kompromi yang tidak pada tempatnya. Kompromi pada dasarnya baik-baik saja di tengah situasi 'dead-lock'. Namun kompromi yang tidak pada tempatnya bisa berbahaya. Seperti apa kompromi yang tidak pada tempatnya? Yaitu kompromi mengenai hal-hal yang sangat substansial. Hal-hal yang substansial itu apa? Utamanya kajian apakah pasal-pasal atau ayat-ayat dalam RUU itu berpotensi berbenturan dengan UU yang lain atau UUD yang hirarkhi-nya lebih tinggi. DPR dan siapapun yang ikut dalam pembahasan RUU itu (juga RUU lain, mestinya) harus mulai bisa me-judicial review sendiri, ketimbang nanti tiap-tiap produknya dimentahkan lagi oleh MK. Salam --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "h.s nurbayanti" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Bener mbak, diskursus ttg RUU Pornografi ini jadi gak maju-maju. > > Sebenarnya tulisan mbak dewi astuti menarik, karena mengarahkan ke persoalan > pornografi yg sebenarnya. Selama ini, reaksi terhadap RUU pornografi bisa > dibilang terbagi dalam 2 kubu, yang mendukung dan menolak. Biasanya lagi > selama ini, mereka yang mendukung diasosiasikan berpihak pada ideologi > tertentu (entah disebut sbg fundamentalis, konservatif atau pake nyebut nama > salah satu partai, atau apalah itu..); sementara mereka yang menolak > diasosiasikan berpihak pada ideologi tertentu juga..(biasanya sih > disebut-sebut sbg kaum liberal, rasional mentingin akal melulu, feminis, > ampe gerakan syahwat merdeka atau apalah). > > Sebenarnya sih, gak ada yg salah dng itu. Ideologi memang berperan penting > dalam membentuk "warna" atau pendekatan suatu peraturan. Tapi ketika itu > jadi wacana publik, kalau terfokus pada meng-counter ideologi "seberang", > kan akhirnya jadi main "sebrang-sebrangan" aja dan mengaburkan esensi > diskusi pornografi yg sebenarnya. Wacana yg beredar pun sebatas mengapa itu > perlu diatur (maksudnya utk menghakimi artis2 spt inul, dewi persik atau > julia perez) atau sebaliknya di sisi "seberang", bicara ttg dampak dari RUU > Pornografi (ibu yg menyusui jadi bisa kena, orang kawin pake kebaya yg agak > menonjolkan buah dada bisa kena, kelompok seni, saudara2 kita yg di papua > dsb aspek pribadi dan budaya yg spt mbak mia katakan). Tapi lagi2, tidak > menyentuh akar perdebatan pornografi itu sendiri. > > Saya setuju, kita harus mengarahkan isu ini lebih dari sekedar soal aspek > pribadi dan budaya. Karena, bukan itu inti dari diskusi pengaturan > pornografi yg sebenarnya. Itu cuma sekedar tindakan merespon RUU yang ada > aja. Bukan berarti merespon RUU tidak perlu dilakukan, tapi seharusnya sih > diskusinya lebih jauh dari itu. Kemarin cari2 artikel referensi soal ini > dari sumber2 di luar negeri, termasuk perdebatan wacana hukumnya di negara2 > lain, menarik bangt... tapi ya, buat saya sih agak susah dicerna atau > mudah lupa hehe. Otaknya mungkin sudah dodol.. hehehe.. > > Buat kedua kelompok juga berbahaya karena terlalu menyederhanakan persoalan > sebatas menolak atau mendukung. Bahaya, karena yg menolak berarti > menegasikan masalah2 atau dampak pornografi thd masyarakat, yang mendukung > berarti tidak memahami betul ruang publik dan privat, > hak-kewajiban-larangan-kejahatan/tindak pidana ampe sanksi.. konsep2 dasar > hukum lah. Ini yg saya lihat coba dikembalikan arah diskusinya oleh si > penulis, tapi khusus pornografi anak. > > Selain mengaburkan esensi diskusi yg sebenarnya, proses legislasi sbg proses > politik pun tidak berjalan. Maksudnya, kompromi politik. Karena dimana2, > ketika membahas RUU Pornografi, yg terjadi adalah kompromi. Rekomendasi dng > mencontoh di negara2 lain bahwa ada materi pornografi yg dilarang keras dan > yang diregulasi adalah bentuk dari kompromi itu (kalau mau liat proses UU > Pornografi di negara lain). Kompromi ini yg tidak terjadi disini. > > Untuk RUU Perfilman, Televisi, dll.. gak nyinggung2 mbak. Coba nanti saya > lihat lagi. Bagus juga idenya utk bikin matriks perbandingan. Biasanya > matriks emang memudahkan sih. Tapi saya kira, soal itu adalah soal > alternatif aja. Mau "dibungkus" di RUU-KUHP, amandemen UU yg berkaitan dng > media atau bikin RUU sendiri. Sebenarnya yg belum kelar adalah pengaturan > pornografinya itu sendiri, termasuk di kalangan aktivis perempuan. Masih > jadi
Re: [wanita-muslimah] Re: Mengurai Permasalahan Pornografi Anak
Jadi kayak diskusi di milis sebelah. Pokoke ruu app kudu ditolak. Gak ada niat dialog sama sekali. Jadi dinikmati saja jika indonesia merdeka sekali :)) Sent from my BlackBerry� wireless device from XL GPRS network -Original Message- From: "h.s nurbayanti" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Tue, 12 Aug 2008 20:37:19 To: Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Mengurai Permasalahan Pornografi Anak Bener mbak, diskursus ttg RUU Pornografi ini jadi gak maju-maju. Sebenarnya tulisan mbak dewi astuti menarik, karena mengarahkan ke persoalan pornografi yg sebenarnya. Selama ini, reaksi terhadap RUU pornografi bisa dibilang terbagi dalam 2 kubu, yang mendukung dan menolak. Biasanya lagi selama ini, mereka yang mendukung diasosiasikan berpihak pada ideologi tertentu (entah disebut sbg fundamentalis, konservatif atau pake nyebut nama salah satu partai, atau apalah itu..); sementara mereka yang menolak diasosiasikan berpihak pada ideologi tertentu juga..(biasanya sih disebut-sebut sbg kaum liberal, rasional mentingin akal melulu, feminis, ampe gerakan syahwat merdeka atau apalah). Sebenarnya sih, gak ada yg salah dng itu. Ideologi memang berperan penting dalam membentuk "warna" atau pendekatan suatu peraturan. Tapi ketika itu jadi wacana publik, kalau terfokus pada meng-counter ideologi "seberang", kan akhirnya jadi main "sebrang-sebrangan" aja dan mengaburkan esensi diskusi pornografi yg sebenarnya. Wacana yg beredar pun sebatas mengapa itu perlu diatur (maksudnya utk menghakimi artis2 spt inul, dewi persik atau julia perez) atau sebaliknya di sisi "seberang", bicara ttg dampak dari RUU Pornografi (ibu yg menyusui jadi bisa kena, orang kawin pake kebaya yg agak menonjolkan buah dada bisa kena, kelompok seni, saudara2 kita yg di papua dsb aspek pribadi dan budaya yg spt mbak mia katakan). Tapi lagi2, tidak menyentuh akar perdebatan pornografi itu sendiri. Saya setuju, kita harus mengarahkan isu ini lebih dari sekedar soal aspek pribadi dan budaya. Karena, bukan itu inti dari diskusi pengaturan pornografi yg sebenarnya. Itu cuma sekedar tindakan merespon RUU yang ada aja. Bukan berarti merespon RUU tidak perlu dilakukan, tapi seharusnya sih diskusinya lebih jauh dari itu. Kemarin cari2 artikel referensi soal ini dari sumber2 di luar negeri, termasuk perdebatan wacana hukumnya di negara2 lain, menarik bangt... tapi ya, buat saya sih agak susah dicerna atau mudah lupa hehe. Otaknya mungkin sudah dodol.. hehehe.. Buat kedua kelompok juga berbahaya karena terlalu menyederhanakan persoalan sebatas menolak atau mendukung. Bahaya, karena yg menolak berarti menegasikan masalah2 atau dampak pornografi thd masyarakat, yang mendukung berarti tidak memahami betul ruang publik dan privat, hak-kewajiban-larangan-kejahatan/tindak pidana ampe sanksi.. konsep2 dasar hukum lah. Ini yg saya lihat coba dikembalikan arah diskusinya oleh si penulis, tapi khusus pornografi anak. Selain mengaburkan esensi diskusi yg sebenarnya, proses legislasi sbg proses politik pun tidak berjalan. Maksudnya, kompromi politik. Karena dimana2, ketika membahas RUU Pornografi, yg terjadi adalah kompromi. Rekomendasi dng mencontoh di negara2 lain bahwa ada materi pornografi yg dilarang keras dan yang diregulasi adalah bentuk dari kompromi itu (kalau mau liat proses UU Pornografi di negara lain). Kompromi ini yg tidak terjadi disini. Untuk RUU Perfilman, Televisi, dll.. gak nyinggung2 mbak. Coba nanti saya lihat lagi. Bagus juga idenya utk bikin matriks perbandingan. Biasanya matriks emang memudahkan sih. Tapi saya kira, soal itu adalah soal alternatif aja. Mau "dibungkus" di RUU-KUHP, amandemen UU yg berkaitan dng media atau bikin RUU sendiri. Sebenarnya yg belum kelar adalah pengaturan pornografinya itu sendiri, termasuk di kalangan aktivis perempuan. Masih jadi perdebatan bahkan di kalangan mereka sendiri (benarkan kalau saya salah). Herni 2008/8/12 Mia <[EMAIL PROTECTED]> > Strategi yang sangat bagus menampilkan UU perlindungan anak dari > aspek pornografi. Sekalian juga aturan dari UU Penyiaran dan > Perfileman. > > Jadinya kan kekuatiran masyarakat terjawab dengan lebih terfokus, > ketimbang merembet dengan nggak jelas ke aspek pribadi dan budaya. > > Mungkin ada baiknya menampilkan side by side RUU Pornografi dengan > aturan pornografi di KUHP, Perlindungan Anak, Penyiaran dan > Perfileman. Mungkin dari situ akan terbaca apa sebenernya yang kita > kuatirkan, dan pilihan2 solusinya tersedia. > > salam > Mia > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com , > "Lina Dahlan" > <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Silaken mau mendiskusikan soal pornografi anak sebagai langkah > nyata > > mendukung perlindungan anak terhadap pornografi... > > > > Silaken mau membuat RUU Pornografi sebagai langkah nyata mendukung > > perlindungan anak terhadap pornog
Re: [wanita-muslimah] Re: Mengurai Permasalahan Pornografi Anak
Bener mbak, diskursus ttg RUU Pornografi ini jadi gak maju-maju. Sebenarnya tulisan mbak dewi astuti menarik, karena mengarahkan ke persoalan pornografi yg sebenarnya. Selama ini, reaksi terhadap RUU pornografi bisa dibilang terbagi dalam 2 kubu, yang mendukung dan menolak. Biasanya lagi selama ini, mereka yang mendukung diasosiasikan berpihak pada ideologi tertentu (entah disebut sbg fundamentalis, konservatif atau pake nyebut nama salah satu partai, atau apalah itu..); sementara mereka yang menolak diasosiasikan berpihak pada ideologi tertentu juga..(biasanya sih disebut-sebut sbg kaum liberal, rasional mentingin akal melulu, feminis, ampe gerakan syahwat merdeka atau apalah). Sebenarnya sih, gak ada yg salah dng itu. Ideologi memang berperan penting dalam membentuk "warna" atau pendekatan suatu peraturan. Tapi ketika itu jadi wacana publik, kalau terfokus pada meng-counter ideologi "seberang", kan akhirnya jadi main "sebrang-sebrangan" aja dan mengaburkan esensi diskusi pornografi yg sebenarnya. Wacana yg beredar pun sebatas mengapa itu perlu diatur (maksudnya utk menghakimi artis2 spt inul, dewi persik atau julia perez) atau sebaliknya di sisi "seberang", bicara ttg dampak dari RUU Pornografi (ibu yg menyusui jadi bisa kena, orang kawin pake kebaya yg agak menonjolkan buah dada bisa kena, kelompok seni, saudara2 kita yg di papua dsb aspek pribadi dan budaya yg spt mbak mia katakan). Tapi lagi2, tidak menyentuh akar perdebatan pornografi itu sendiri. Saya setuju, kita harus mengarahkan isu ini lebih dari sekedar soal aspek pribadi dan budaya. Karena, bukan itu inti dari diskusi pengaturan pornografi yg sebenarnya. Itu cuma sekedar tindakan merespon RUU yang ada aja. Bukan berarti merespon RUU tidak perlu dilakukan, tapi seharusnya sih diskusinya lebih jauh dari itu. Kemarin cari2 artikel referensi soal ini dari sumber2 di luar negeri, termasuk perdebatan wacana hukumnya di negara2 lain, menarik bangt... tapi ya, buat saya sih agak susah dicerna atau mudah lupa hehe. Otaknya mungkin sudah dodol.. hehehe.. Buat kedua kelompok juga berbahaya karena terlalu menyederhanakan persoalan sebatas menolak atau mendukung. Bahaya, karena yg menolak berarti menegasikan masalah2 atau dampak pornografi thd masyarakat, yang mendukung berarti tidak memahami betul ruang publik dan privat, hak-kewajiban-larangan-kejahatan/tindak pidana ampe sanksi.. konsep2 dasar hukum lah. Ini yg saya lihat coba dikembalikan arah diskusinya oleh si penulis, tapi khusus pornografi anak. Selain mengaburkan esensi diskusi yg sebenarnya, proses legislasi sbg proses politik pun tidak berjalan. Maksudnya, kompromi politik. Karena dimana2, ketika membahas RUU Pornografi, yg terjadi adalah kompromi. Rekomendasi dng mencontoh di negara2 lain bahwa ada materi pornografi yg dilarang keras dan yang diregulasi adalah bentuk dari kompromi itu (kalau mau liat proses UU Pornografi di negara lain). Kompromi ini yg tidak terjadi disini. Untuk RUU Perfilman, Televisi, dll.. gak nyinggung2 mbak. Coba nanti saya lihat lagi. Bagus juga idenya utk bikin matriks perbandingan. Biasanya matriks emang memudahkan sih. Tapi saya kira, soal itu adalah soal alternatif aja. Mau "dibungkus" di RUU-KUHP, amandemen UU yg berkaitan dng media atau bikin RUU sendiri. Sebenarnya yg belum kelar adalah pengaturan pornografinya itu sendiri, termasuk di kalangan aktivis perempuan. Masih jadi perdebatan bahkan di kalangan mereka sendiri (benarkan kalau saya salah). Herni 2008/8/12 Mia <[EMAIL PROTECTED]> > Strategi yang sangat bagus menampilkan UU perlindungan anak dari > aspek pornografi. Sekalian juga aturan dari UU Penyiaran dan > Perfileman. > > Jadinya kan kekuatiran masyarakat terjawab dengan lebih terfokus, > ketimbang merembet dengan nggak jelas ke aspek pribadi dan budaya. > > Mungkin ada baiknya menampilkan side by side RUU Pornografi dengan > aturan pornografi di KUHP, Perlindungan Anak, Penyiaran dan > Perfileman. Mungkin dari situ akan terbaca apa sebenernya yang kita > kuatirkan, dan pilihan2 solusinya tersedia. > > salam > Mia > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com , > "Lina Dahlan" > <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Silaken mau mendiskusikan soal pornografi anak sebagai langkah > nyata > > mendukung perlindungan anak terhadap pornografi... > > > > Silaken mau membuat RUU Pornografi sebagai langkah nyata mendukung > > perlindungan anak terhadap pornografi ... > > > > Namun persilaken saya juga untuk mengajak wanita/ibu2 muslimah > untuk > > berjilbab sebagai langkah awal ato langkah nyata mendukung > > perlindungan anak terhadap pornografi... > > > > Semoga... > > > > wassalam, > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, > "h.s nurbayanti" > > wrote: > > > > > > *Mengurai Permasalahan Pornografi Anak* > > > > > > Oleh: Dewi Astuti > > > > > > > > > > > > Saat ini pembahasan RUU Pornografi di DPR telah masuk tahap Tim > > > Sinkronisasi. Itu berarti RUU Pornografi tidak lama lagi akan > > disahkan. > > > Proses pembuatan RUU tidak trans
[wanita-muslimah] Re: Mengurai Permasalahan Pornografi Anak
Strategi yang sangat bagus menampilkan UU perlindungan anak dari aspek pornografi. Sekalian juga aturan dari UU Penyiaran dan Perfileman. Jadinya kan kekuatiran masyarakat terjawab dengan lebih terfokus, ketimbang merembet dengan nggak jelas ke aspek pribadi dan budaya. Mungkin ada baiknya menampilkan side by side RUU Pornografi dengan aturan pornografi di KUHP, Perlindungan Anak, Penyiaran dan Perfileman. Mungkin dari situ akan terbaca apa sebenernya yang kita kuatirkan, dan pilihan2 solusinya tersedia. salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Silaken mau mendiskusikan soal pornografi anak sebagai langkah nyata > mendukung perlindungan anak terhadap pornografi... > > Silaken mau membuat RUU Pornografi sebagai langkah nyata mendukung > perlindungan anak terhadap pornografi ... > > Namun persilaken saya juga untuk mengajak wanita/ibu2 muslimah untuk > berjilbab sebagai langkah awal ato langkah nyata mendukung > perlindungan anak terhadap pornografi... > > Semoga... > > wassalam, > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "h.s nurbayanti" > wrote: > > > > *Mengurai Permasalahan Pornografi Anak* > > > > Oleh: Dewi Astuti > > > > > > > > Saat ini pembahasan RUU Pornografi di DPR telah masuk tahap Tim > > Sinkronisasi. Itu berarti RUU Pornografi tidak lama lagi akan > disahkan. > > Proses pembuatan RUU tidak transparan. Sejak adanya naskah akademik > RUU > > Pornografi pada 13 Desember 2007, proses pembuatan RUU ini tidak > > melibatkanmasyarakat. Daftar Inventaris Masalah RUU tidak dibahas di > > Panitia Khusus > > (Pansus), namun di Panitia Kerja (Panja) yang dilakukan secara > tertutup, > > utamanya pasal-pasal yang masih menimbulkan perdebatan. Padahal, > adalah > > sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui perdebatan > substansial > > pengaturan pornografi di DPR. > > > > > > > > Sejak awal, RUU ini menuai polemik. Di dalam masyarakat saat ini > terpecah > > menjadi dua kutub yaitu: menolak atau mendukung RUU Pornografi. > Mereka yang > > "mendukung" cenderung menutup dan melarang keras semua jenis > pornografi > > serta mengatur perilaku individu baik di ruang publik maupun di > ruang privat > > sehingga batas-batas pornografi menjadi tidak jelas. Sementara > mereka yang > > "menolak" berpendapat bahwa substansi RUU Pornografi mengancam > budaya > > Nusantara yang telah ada selama ratusan tahun dan menghilangkan > kebebasan > > individu hingga ke ruang privat. Selain itu, aturan pornografi > sudah diatur > > di KUHP, UU Penyiaran, dan UU Perfilman. Khusus untuk aturan > pornografi > > anak, telah diatur dalam UU Perlindungan Anak. > > > > > > > > Fokus tulisan ini adalah pornografi anak. Apa sebenarnya masalah > pornografi > > anak? Apa saja prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengaturan > pornografi > > anak? Bagaimana alternatif yang tersedia untuk mengatur pornografi > anak? > > Benarkah sudah cukup diatur dalam UU Perlindungan Anak? > > > > * * > > > > *Pornografi dan Dampaknya bagi Anak* > > > > > > > > *Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on > the sale > > of children, child prostitution and child pornography* yang telah > > ditandatangani Indonesia pada 24 September 2001 mendefinisikan > pornografi > > anak sebagai *"Setiap representasi, dengan sarana apapun, yang > melibatkan > > anak secara eksplisit dalam kegiatan seksual baik secara nyata > maupun > > disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual > anak untuk > > tujuan seksual".* > > > > > > > > Pornografi anak di Indonesia saat ini semakin marak. Perkembangan > teknologi > > informasi di Indonesia tidak hanya membuka ruang diskusi politik, > kesempatan > > membangun budaya dan aktivitas intelektual lainnya. Namun juga > memunculkan > > berbagai modus kejahatan yang tidak ada sebelumnya, khususnya > pornografi > > anak. Penjualan pornografi anak meningkat dan semakin mudah untuk > diakses > > melalui media elektronik, cetak dan antar individu. Adalah hal > yang mudah > > bagi setiap anak untuk melihat materi pornografi (termasuk materi > pornografi > > anak) melalui internet, HP dan bahkan membeli berbagai CD film > pornografi > > dipinggir jalan. > > > > > > > > Pornografi memiliki tiga bentuk kejahatan terhadap anak. Pertama, > anak > > dijadikan komoditas seksual, utamanya anak perempuan. Anak > (mayoritas adalah > > anak perempuan) yang dijadikan model pornografi mengalami kerusakan > > perkembangan fisik dan psikis yang dapat menghancurkan masa depan > anak. > > Mereka seringkali menjadi rendah diri bahkan mendapat masalah > kesehatan > > mental yang parah. Terlebih lagi, mereka umumnya dikucilkan oleh > masyarakat > > di lingkungannya, diberi label sebagai "anak yang tidak bermoral" > dan bahkan > > kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan. > > > > > > > > Kedua, anak yang dengan mudahnya mengakses materi pornografi dapat > mencontoh
[wanita-muslimah] Re: Mengurai Permasalahan Pornografi Anak
Silaken mau mendiskusikan soal pornografi anak sebagai langkah nyata mendukung perlindungan anak terhadap pornografi... Silaken mau membuat RUU Pornografi sebagai langkah nyata mendukung perlindungan anak terhadap pornografi ... Namun persilaken saya juga untuk mengajak wanita/ibu2 muslimah untuk berjilbab sebagai langkah awal ato langkah nyata mendukung perlindungan anak terhadap pornografi... Semoga... wassalam, --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "h.s nurbayanti" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > *Mengurai Permasalahan Pornografi Anak* > > Oleh: Dewi Astuti > > > > Saat ini pembahasan RUU Pornografi di DPR telah masuk tahap Tim > Sinkronisasi. Itu berarti RUU Pornografi tidak lama lagi akan disahkan. > Proses pembuatan RUU tidak transparan. Sejak adanya naskah akademik RUU > Pornografi pada 13 Desember 2007, proses pembuatan RUU ini tidak > melibatkanmasyarakat. Daftar Inventaris Masalah RUU tidak dibahas di > Panitia Khusus > (Pansus), namun di Panitia Kerja (Panja) yang dilakukan secara tertutup, > utamanya pasal-pasal yang masih menimbulkan perdebatan. Padahal, adalah > sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui perdebatan substansial > pengaturan pornografi di DPR. > > > > Sejak awal, RUU ini menuai polemik. Di dalam masyarakat saat ini terpecah > menjadi dua kutub yaitu: menolak atau mendukung RUU Pornografi. Mereka yang > "mendukung" cenderung menutup dan melarang keras semua jenis pornografi > serta mengatur perilaku individu baik di ruang publik maupun di ruang privat > sehingga batas-batas pornografi menjadi tidak jelas. Sementara mereka yang > "menolak" berpendapat bahwa substansi RUU Pornografi mengancam budaya > Nusantara yang telah ada selama ratusan tahun dan menghilangkan kebebasan > individu hingga ke ruang privat. Selain itu, aturan pornografi sudah diatur > di KUHP, UU Penyiaran, dan UU Perfilman. Khusus untuk aturan pornografi > anak, telah diatur dalam UU Perlindungan Anak. > > > > Fokus tulisan ini adalah pornografi anak. Apa sebenarnya masalah pornografi > anak? Apa saja prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengaturan pornografi > anak? Bagaimana alternatif yang tersedia untuk mengatur pornografi anak? > Benarkah sudah cukup diatur dalam UU Perlindungan Anak? > > * * > > *Pornografi dan Dampaknya bagi Anak* > > > > *Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale > of children, child prostitution and child pornography* yang telah > ditandatangani Indonesia pada 24 September 2001 mendefinisikan pornografi > anak sebagai *"Setiap representasi, dengan sarana apapun, yang melibatkan > anak secara eksplisit dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun > disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk > tujuan seksual".* > > > > Pornografi anak di Indonesia saat ini semakin marak. Perkembangan teknologi > informasi di Indonesia tidak hanya membuka ruang diskusi politik, kesempatan > membangun budaya dan aktivitas intelektual lainnya. Namun juga memunculkan > berbagai modus kejahatan yang tidak ada sebelumnya, khususnya pornografi > anak. Penjualan pornografi anak meningkat dan semakin mudah untuk diakses > melalui media elektronik, cetak dan antar individu. Adalah hal yang mudah > bagi setiap anak untuk melihat materi pornografi (termasuk materi pornografi > anak) melalui internet, HP dan bahkan membeli berbagai CD film pornografi > dipinggir jalan. > > > > Pornografi memiliki tiga bentuk kejahatan terhadap anak. Pertama, anak > dijadikan komoditas seksual, utamanya anak perempuan. Anak (mayoritas adalah > anak perempuan) yang dijadikan model pornografi mengalami kerusakan > perkembangan fisik dan psikis yang dapat menghancurkan masa depan anak. > Mereka seringkali menjadi rendah diri bahkan mendapat masalah kesehatan > mental yang parah. Terlebih lagi, mereka umumnya dikucilkan oleh masyarakat > di lingkungannya, diberi label sebagai "anak yang tidak bermoral" dan bahkan > kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan. > > > > Kedua, anak yang dengan mudahnya mengakses materi pornografi dapat mencontoh > aktivitas seksual sesuai dengan adegan yang ditontonnya. Inilah yang > menyebabkan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh anak. > Berdasarkan 68 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh > Yayasan KAKAK di Jawa Tengah menunjukkan 10% pelaku adalah anak yang > rata-rata dilakukan setelah menonton materi pornografi. > > > > Ketiga, peningkatan materi pornografi anak terjadi karena permintaan pasar. > Pornografi anak, biasanya dikonsumsi oleh kaum fedophilia yang mendapatkan > kepuasan seksual dengan melihat dan melakukan hubungan seksual dengan anak. > Oleh karenanya, keberadaan pornografi anak tidak hanya menyebabkan model > (anak) pornografi mendapatkan kekerasan seksual di dalam proses > pembuatannya; akan tetapi juga menjadi penyebab meluasnya berbagai kekerasan > seksual terhadap anak dilakukan oleh anak dan