[wanita-muslimah] Realitas

2010-05-17 Terurut Topik heri latief
Realitas


apa yang kau lihat selama ini kawan?
negerimu dikuasai klub yang korup dan rakus 

di luar pagar istana orang melarat cuma boleh ngiler
penonton kenyang dihibur sinetron politik jungkir balik

si kaya makin kayaraya bermandi cahaya berlian berdarah
si miskin makin miskin terhina di tempat kumuh berlumpur busuk

dan kau tersihir kampanye sesat agen lintah darat?
sadarlah, bangsamu dijual murah jadi budak belian

Amsterdam, 13/05/2010


  

[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] REALITAS KAFIR DAN TAKFIR TERHADAP ALIRAN SESAT

2010-01-19 Terurut Topik Risa Amada
Realitas seorang hamba Allah yang baru masuk Islam ialah mengucapkan dua 
kalimat Syahadat. Yaitu, "Asyhadu allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna 
Muhammadar Rasuulullah." Barangsiapa yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan 
lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Selanjutnya di: 
http://www.tafaqquh.com/new/kolom.php?go=isi&id=20



  

[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] Realitas

2009-08-11 Terurut Topik muhamad agus syafii
Realitas

By: agussyafii

Ada orang kaya yang menulis surat wasiat bahwa hartanya yang jumlah 100 miliar 
akan diwariskan kepada Syaiful keponakannya. Satu-satunya kerabat beliau adalah 
keponakannya yang hidup miskin. Kepada pengacara berpesan agar menyampaikan 
wasiatnya jangan langsung sebab Syaiful memiliki penyakit jantung.

Beberapa tahun kemudian orang kaya ini meninggal dunia, Syaiful keponakannya 
juga turut hadir dalam pemakamannya. Pengacara nampak bingung bagaimana untuk 
menyampaikan wasiatnya kepada keponakannya. Akhirnya diputuskan meminta bantuan 
seorang kyai, guru Syaiful di pesantren. 'Pak Kyai, tolong sampaikan amanah 
almarhum dengan pelan-pelan  karena bila Syaiful  kaget bisa terkena serangan 
jantung.'

Pak Kyai itu menjawab, 'Tenang aja Pak Pengacara, saya punya kiat khusus untuk 
menyampaikan kepada Syaiful'  Lalu Pak Kyai memanggil Syaiful, dengan gayanya 
berbicara penuh kewibawaan setelah diselingi obrolan ringan Pak Kyai membuka 
percakapannya. ' Begini Syaiful, ini seandainya, sekali lagi ini seandainya, 
kalo kamu mendapatkan rizki uang jumlahnya 100 miliar, kamu gunakan untuk apa 
uang itu?' tanya Pak Kyai.

Dengan khitmatnya Syaiful yang tidak berani menatap mata Sang Kyai, Syaiful 
menjawab, 'Bila saya mendapatkan uang 100 miliar, maka separuhnya saya akan 
berikan untuk Pak Kyai.' Mendengar jawaban Syaiful, Pak Kyai kaget sakit 
jantungnya kambuh dan akhirnya Pak Kyai meninggal dunia.

Begitulah realitas, berlimpah materi, mendapatkan harta banyak tanpa kerja 
keras adalah sesuatu yang menyenangkan, belum tentu berakibat baik. Demikian 
halnya bila kerja keras namun gaji tidak naik-naik adalah sesuatu yang 
menyedihkan, belum tentu berakibat buruk, bisa jadi malah berakibat baik. Malah 
mendorong untuk berpikir kreatif menjadi pengusaha. Maka melihat realitas 
dengan menggunakan pikiran jernih dan senantiasa mensyukuri nikmat maka akan 
tumbuh kearifan di dalam diri kita

Wassalam,
agussyafii


Senyum menyambut ramadhan, senyum kemenangan adalah senyum amalia. Yuk, 
berkenan berbagi senyuman dalam sebuah program 'Senyum Amalia.' Kegiatan 
program 'Senyum Amalia' adalah Obrolan Puasa (Opus), Tadarus, Berbuka Puasa 
Bersama, Paket Bingkisan Senyum Amalia, akan diselenggarakan pada hari Ahad, 30 
Agustus 2009 di Rumah Amalia. Kirimkan dukungan dan senyuman anda di 
http://agussyafii.blogspot.com, http://www.facebook.com/agussyafii atau sms di 
087 8777 12431






  

[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] Realitas Perempuan Berhadapan Dengan Sistem Hukum

2005-08-21 Terurut Topik ayeye
http://www.lbh-apik.or.id/artikel-realitas%20pr%20ratna.htm

Kamis, 04 Agustus 2005
 
Realitas Perempuan Berhadapan Dengan Sistem Hukum
Oleh: Ratna Batara Munti


Sejak tahun 1996, LBH-APIK Jakarta telah mendampingi
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP),
umumnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan
kekerasan seksual seperti perkosaan, pencabulan dan
pelecehan seksual di tempat kerja. Jumlah kasus KTP
yang ditangani terus bertambah dari tahun ke tahun.
Mulai dari 90 kasus (1996), 240 kasus (1997), 227
kasus (1998), 295 kasus (1999), 343 kasus (2000), 471
(2001), 530 (2002), 627 (2003), dan terakhir sebanyak
817 kasus di tahun 2004.

LBH-APIK Jakarta menjadikan kasus-kasus yang masuk
sebagai titik tolak untuk melakukan serangkaian upaya
advokasi dalam rangka merubah sistim hukum kearah yang
lebih setara dan adil. Hal ini diwujudkan misalnya
dengan mengkritisi sejumlah kebijakan yang
diskriminatif (Seperti KUHP/KUHAP, UUP No.1/1974)
maupun dengan mengajukan kebijakan baru antara lain
dengan menyusun serta mensosialisasikan RUU Anti KDRT
sejak 1997, yang kemudian menjadi UU PKDRT No.
23/2004.

Selanjutnya, sejak tahun 2002, LBH-APIK Jakarta
bersama-sama dengan Komnas Perempuan, Convention Watch
UI dan Derapwarapsari melakukan kajian tentang peluang
dan pentingnya suatu Sistem Peradilan Pidana Terpadu
bagi kasus KTP. Kepentingan ini didasarkan pada
pengalaman di lapangan yang berhasil dihimpun sebelum
program ini berjalan maupun setelah dilakukannya
pemantauan terhadap kasus-kasus KTP di 6 wilayah,
yakni Medan, Palembang, Menado, Kalimantan Timur,
Kupang dan Jakarta. Pemantauan dilakukan dibawah
koordinasi LBH-APIK Jakarta bersama dengan LBH-LBH
APIK di daerah serta LBH yang memiliki visi misi
serupa.

Berangkat dari pengalaman LBH-APIK Jakarta
bersama-sama dengan jaringannya dalam penanganan
kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan,
khususnya kasus KDRT dan kekerasan seksual, tidak
mudah bagi perempuan sebagai korban atau pun yang
diposisikan oleh hukum sebagai “pelaku”(dalam konteks
ini pelaku pada dasarnya adalah korban KTP), untuk
keluar dari jeratan kekerasan. Banyak lapisan hambatan
yang mempersulit kondisi korban. Mulai dari kondisi
psikis dan ketergantungan korban terhadap pelaku,
tiadanya dukungan keluarga dan lingkungan sekitar,
stigma yang diberikan masyarakat (patriarki) atas
korban, bias aparat (adanya victim blaming/victim
participating) sampai tidak adanya perlindungan dari
negara melalui sistem hukum dan sosial yang
mendiskualifikasi korban atau bahkan pelanggengan
kekerasan itu sendiri melalui kebijakan yang
diskriminatif terhadap perempuan.

Relasi hirarkis dan ketergantungan korban pada pelaku
Faktor ketergantungan korban terhadap pelaku baik
secara psikis maupun ekonomis seringkali menjadi
hambatan awal pada diri korban untuk melaporkan dan
memproses kasus lebih jauh seperti melalui jalur
pidana. Ketergantungan pun seringkali disertai dengan
kekhawatiran korban terhadap kemungkinan meningkatnya
kualitas kekerasan yang bakal dilakukan pelaku
terhadapnya.

Adanya relasi dekat dan seringkali bersifat hirarkis
(dominasi-subordinasi) antara korban dengan pelaku,
yang menempatkan korban pada situasi powerless menjadi
kunci dari persoalan ketergantungan korban tersebut.
Situasi ini (relasi hirarkis) jelas berakar dari
konstruksi sosial di masyarakat patriarkhis yang
secara stereotype menempatkan perempuan sebagai
makhluk inferior, dan ironisnya negara pun turut
melanggengkannya misalnya melalui kebijakan mengenai
perkawinan. Dalam pasal 31 dan 34 UUP No.1/1974
disebutkan bahwa suami sebagai kepala rumah tangga dan
pencari nafkah sedangkan istri sebagai pengurus rumah
tangga. Konstruksi seperti ini pada akhirnya mendorong
dan melanggengkan ketergantungan perempuan,
sekurang-kurangnya ketergantungan secara ekonomis.

Dalam kasus-kasus kekerasan domestik (KDRT), istri
memilih untuk berdamai dengan tindakan suaminya meski
ia sudah berkali-kali dianiaya, bahkan diperkosa
(dipaksa berhubungan seksual) dengan cara menyedihkan,
seperti memasukkan terong ke vagina istri.

Namun, pada kasus dimana istri sudah tidak tahan lagi
atas perlakuan suaminya, ia lebih memilih untuk segera
melapaskan diri dari ikatan perkawinan mereka. Itu
merupakan cara yang dianggap paling aman dan cepat,
ketimbang memproses ke jalur pidana. Selain juga
karena faktor kekhawatiran akan balas dendam dari
suami atau keluarga besar suami. Dapat dikatakan, 90%
dari kasus KDRT diselesaikan secara perdata. Meskipun
ada yang melaporkan kasusnya ke kepolisian, namun
lebih banyak yang tidak diteruskan dan lebih
menjadikan pelaporan tersebut sebagai bukti atau
alasan perceraian. Meski demikian, belakangan ini
terjadi perkembangan baru, menyusul lahirnya UU PKDRT
dan sosialisasi yang gencar melalui media, sudah mulai
banyak korban yang melaporkan kasusnya ke kepolisian
untuk diproses.

Stigmatisasi terhadap seksualitas perempuan dan
dampaknya.
Tidak dapat dipungkiri, meski masyarakat abad 21 ini
sudah memasuki era globalisa