http://m.kompas.com/news/read/data/2010.04.01.01481963

Sastra Wangi Aroma Selangkangan 

Oleh: Agus Sulton 

Kemunculan para
penulis wanita
untuk meramaikan
dunia sastra memang bisa dibilang
memberikan warna tersendiri bagi
dunia kesastraan. Tapi disisi lain
terjadi pergeseran orientasi dalam
dunia sastra Indonesia dan
banyak orang awam mengatakan, karya mereka
adalah sesuatu yang tabu. Bisa
dibilang mereka adalah generasi
sastra dunia ketiga—menolak tabu dalam budaya patriarki yang
membelenggu kaum hawa,
membuka sebuah kejujuran,
menolak kritik penelaah tertentu,
dan menolak larangan-larangan
yang ditetapkan untuk kaum perempuan. Walaupun
sebelumnya Nh Dini, Dayu Oka
Rusmini, Ratna Indraswari
Ibrahim, dan lain-lain sudah
menyuarakan gender atau
semacam usaha perempuan untuk bicara sebagai suatu
percikan dari gelombang ideologi
dan paradigma feminisme. 

Seperti juga yang disuarakan,
pemimpin kritikus sastra feminis,
seperti Helene Cixous, Julia
Kristeva dan Luce Irigaray.
Pemikir feminis ini menolak
kategorisasi didasarkan pada oposisi biner yang pada akhirnya,
karya-karya perempuan
terpinggirkan (The Jakarta Post,
A. Junaidi). Menurut klasifikasi
kutub ini, jiwa yang berharga dan
tubuh kurang begitu; putih dipisahkan dari hitam—sebagai laki-laki dan 
perempuan. 

Dan, Ayu Utami, Saman (DKJ,
1998) adalah awal mula tonggak
dominasi genre sastra baru di
dunia ketiga, yaitu ”sastra wangi” tahun 2000-an. Namun
kedatangan sastra wangi banyak
yang memperdebatkan. Karena
sastra wangi itu sendiri adalah hal
baru, dimulai oleh Ayu Utami,
Djenar Maesa Ayu, dan berderet nama yang berkedok feminisme
—menyatakan hak asasi berbicara masalah diri sendiri,
termasuk di dalamnya; Fira
Basuki, Nukila Amal, Dewi Lestari,
Rieke Dyah Pitaloka, Dinar
Rahayu, dan sebagainya. Ibnu
Wahyudi (Dosen UI) menulis dalam salah satu jurnal
mengatakan sastra wangi adalah
istilah sesaat bagi kepopuleran
sastra generasi perempuan yang
mengandalkan tubuh. Dari definisi
tersebut nampak jelas, bahwa penulis perempuan tersebut tidak
hanya mengandalkan karyanya,
tapi kecantikan dan seksinya
penulis (lihat Ayu Utami dan
Djenar Maesa Ayu).

Suatu Hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah, dinamika
kesastraan di Indonesia beberapa
tahun belakangan ini diramaikan
oleh para pengarang wanita. Dari
situlah kehidupan sastra Indonesia semakin riuh—dengan munculnya beberapa 
penulis
wanita—yang usianya relatif cukup muda, dan dengan
kecenderungan berkarya yang
kian beragam, bebas , dan
berani. Sehingga banyak pemikir
dan penikmat sastra, mereka
disebut-sebut sebagai sastra wangi. Karena merujuk pada
karya sastra yang diciptakan
kaum perempuan (Lampung
Post, Soroso). Tetapi hal yang
lebih dasar lagi dari sastra wangi
adalah seringnya diwarnai tema seks yang bahkan sedikit vulgar,
namun ada semangat feminisme,
dengan setting dengan latar
belakang yang menggambarkan
kehidupan mereka sehari-hari
(terutama kelas ekonomi atas) dibarengi dengan tumbuhnya
individualisme dan ego yang
tinggi. Seperti yang pernah ditulis
oleh Saut Situmorang dalam
”Politik Kanoniasi Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat
seksualitas, dan itu dijadikan
sebagai isu yang paling
menghantui kepala-kepala jelita
para perempuan muda urban
Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan
mandiri secara ekonomi. 

Memang karya sastra adalah
sebuah cerminan zaman yang
penulis alami, suatu refleksi atas
suatu pengalaman dan menulis
dijadikan sebagai jalan
perenungan. Tapi kedatangannya karya mereka di dunia sastra
Indonesia tidak lepas hanya
sebuah cerminan fiktif. Akan
tetapi, dunia fiktif ini bisa jadi
mengandung nilai-nilai yang
menjadi alternatif dari nilai-nilai yang selama ini mendominasi di
dunia nyata. Nilai-nilai yang
disodorkan dalam karya sastra ini
bisa jadi baik atau bahkan lebih
buruk, tergantung dari
masyarakat yang mengkonsumsi karya sastra yang dimaksud.
Penulis hanya memainkan parodi,
paradok, dan ironi, sehingga tidak
bisa memaksa masyarakat untuk
menganut nilai-nilai dan norma-
norma sosial tertentu. Namun, apa yang ditulisnya bisa
menyuguhkan sesuatu yang up
to date dan sedikit banyak bisa
memberikan pengaruh kepada
masyarakat, walaupun dari segi
emosional. 

Jelas, itu semua hanyalah
sebagai kekuatan karya sastra.
Walaupun seperti itu, mereka
bisa dibilang fanatisme yang
begitu berani dan menjadi suatu
hal yang dahsyat untuk perkembangan sastra Indonesia
mutakhir. Seperti ada nuansa
baru yang intens dikalangan
sastra muda Indonesia. Umar
Kayam menyebutnya, para
penulis-penulis muda banyak yang lebih berbakat bahkan kaum
tua susah menandinginya, ada
yang mengatakan kata-katanya
bagaikan bercahaya seperti kristal
(Ignas Kleden). Tapi disisi lain
karya-karya dari sastra wangi; Ayu Utami, Dinar Rahayu, dan
Djenar Maesa Ayu pernah
dituding penetrasi kapitalisme ke
dalam dunia sastra. Seks muncul
sebagai tema, semata-mata
karena tema itu laku di pasaran. Tudingan ini sebetulnya sungguh
bukan tanpa alasan. Karena,
para pengarang karya sastra kita
memang tidak mungkin terlepas
dari dimensi pasar dalam
pembuatan karya sastra mereka. Selalu ada unsur kapitalisme
dalam karya sastra, karena karya
sastra harus dipasarkan. Itulah
sebabnya, di setiap masa, selalu
ada kecenderungan karya sastra
ke arah model dan tema tertentu. Menuduh sebuah karya
sastra sukses karena penetrasi
kapitalisme adalah benar, sebab
nyatanya semua karya sastra
tidak kuasa melepaskan diri
darinya (Surealisme, Sek, Kapitalisme: Karya sastra kaum
muda, Saidiman). Kendati
demikian, tentu publik pembaca
karya sastra tidak seragam,
bahkan semakin hari semakin
beragam.

Terlepas dari kapitalisme dalam
karya sastra, toh kalangan
penulis perempuan telah
memberikan wacana baru
mengenai posisi perempuan di
masyarakat. Perempuan selama ini dianggap tidak berhak untuk
menyuarakan potensi seksual
tubuh mereka, tetapi para penulis
ini telah menawarkan satu
pandangan baru, bahwa seks
juga milik perempuan. Sampai- sampai Tufik Ismail menyebut
karya mereka sebagai sastra
selakangan, karena banyak
mengungkap bagian ”jeroan” begitu vulgar—tanpa dinding pembatas. Seperti pada 
kutipan;
”Padahal saya sudah rindu. Tapi ayah malah menyangkal !
Katanya ia tidak pernah
menyusui saya dengan
penisnya.” (Manyusu Ayah, Djenar Maesa Ayu). 

”Dan aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil.
Namun liang itu tidak diberinya
sebuah nama. Melainkan, dengan
ujung jarinya ia merogoh. Dan
dengan penisnya ia
menembus” (Saman, Ayu Utami) 

Sedikit kutipan di atas jelas
memberikan suatu fenomena
sastra yang mengangkat tokoh
perempuan dan kemudian ingin
menunjukkan bahwa perempuan
bisa memerkosa dan berinisiatif. Perempuan bisa saja berniat
untuk melakukan hubungan
seksual sebagai subjek, bukan
sebagai objek. Hal semacam ini
juga pernah ditulis oleh Motinggo
Boesye, sastrawan tahun 70-an menulis kisah-kisah yang
menceritakan hubungan seks
yang menggairahkan, namun
belum sampai berani mengarah
sekitar selakangan. 

Memang selama ini para novelis
yang banyak mengeksplorasi
seks ke dalam karya sastra
beranggapan bahwa kultur di
Indonesia, baik budaya daerah
atau agama, selalu memposisikan perempuan sebagai objek
(Eksplorasi seks dalam sastra,
Irfan Hidayatullah). 

Sebenarnya banyak novel yang
berbau seksual, tapi tidak
sevulgar novel-novel dari sastra
wangi. Begitu eksplisitnya
penggambaran tentang bagian
selakangan, tanpa rasa malu. Sehingga bisa dipastikan karya-
karya dari sastra wangi banyak
yang menyengat aroma
selakangan dan seks dijadikan
permasalahan utama dalam
penulisan. Kalau dimasukkan dalam jajaran segmen, jelas
karya mereka sudah pasti masuk
dalam segmen pembaca dewasa.
Bukan hanya seks dan
kevulgaran dalam pendeskripsian.
Ditengok dari sudut pandang lain penulis sastra wangi juga banyak
mengangkat ajaran moral yang
baik, kritikan terhadap
pemerintah, dan pernyataan
gender. Tetapi ajaran gender
tidak begitu difokuskan dalam ajaran moralnya. Mungkin bisa
dilihat konflik yang terjadi dalam
novel Saman. 

An sich 

Walaupun seperti itu, Ayu Utami
sudah mampu menunjukkan
pesona kepada pembaca—dari sudut ceritanya yang menawan,
juga terpuaskan dengan sajian
bahasa, bentuk, dan ungkapan
yang indah, seperti kristal yang
belum pernah dicoba
sebelumnya. Disamping itu, pembaca juga dapat menikmati
kefulgaran dunia seksualitas yang
bisa bikin gerrr (baik bagi laki-laki
maupun perempuan), bahkan
pengikut ajaran pembelaan
sastra kepada kaum tertindas— juga bisa menjadikan karya Ayu
Utami tersebut sebagai instrumen
perjuangan. 

BIODATA 
Agus Sulton lahir di Jombang,
1986. Status sebagai mahasiswa
Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI Jombang. Penggiat
di Lingkar Study Warung Sastra
(LISWAS, komunitas tulis dan apresiasi sastra) Ngoro-Jombang.
Kumpulan puisi pribadinya
”Tetesan Tinta Air Mata” (ditulis dari tahun 2002-2005), ”Sketsa Tak Bermantra 
1” (ditulis dari tahun 2004-2006), ”Berhias Mata Kaca” (ditulis dari tahun 
2006-2008), dan “Kantin Pelatuk Naga” 2010. Karya lainnya berupa cerpen, esai, 
dan 1 novel
pribadi ”Rembulan Bernyanyi”. Saat ini tinggal dan berkarya, di
Desa Rejoagung, Kec Ngoro, Kab
Jombang JATIM 

Editor: jodhi 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke