[wanita-muslimah] Sekali Lagi Utang dan Imperialisme

2006-01-24 Terurut Topik Ambon
REFLEKSI : APA ITU IMPERIALISME? 

REPUBLIKA

Senin, 23 Januari 2006

Sekali Lagi Utang dan Imperialisme 

Oleh : Revrisond Baswir 


Kritik terhadap utang luar negeri belakangan ini cenderung semakin meningkat. 
Kritik tak hanya muncul sehubungan dengan efektivitas serta implikasi sosial 
dan politiknya, namun meluas hingga mencakup sisi kelembagaan dan ideologinya.

Pada sisi efektivitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya 
dipandang telah menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara 
Dunia Ketiga. Ia juga diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja 
sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi 
(Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick, 1977; Todaro, 1987).

Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu 
meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, 
arus masuk modal asing, dan terjadinya ketergantungan pada utang luar negeri 
secara berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).

Pada sisi implikasi sosial dan politik, utang luar negeri tidak hanya dipandang 
sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman, 
untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung ia 
juga diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, 
kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat 
terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; 
Goerge, 1992; Hanlon, 2000).

Pada sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral yang berperan 
sebagai penyalur utang luar negeri, seperti Bank Dunia dan IMF, tidak hanya 
dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak akuntabel, keduanya 
diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama 
yang menjadi pemegang saham utama mereka (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus 
dan Winters, 2004).

Sedangkan pada sisi ideologi, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh 
negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika Serikat (AS), sebagai sarana 
untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan 
dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme 
neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh 
negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan 
sebesar-besarnya dari seluruh penjuru dunia (Erler, 1989).

Menyimak berbagai kritik tersebut, mudah dimengerti bila berkembang pemikiran 
yang mencoba melusuri jejak utang luar negeri sebagai sarana imperialisme 
negara-negara Dunia Pertama. Studi pertama yang secara khusus melakukan hal itu 
adalah yang dilakukan oleh Teresa Hayter. Berangkat dari hasil penelitiannya 
yang dibiayai oleh Bank Dunia di empat negara Amerika Latin, Columbia, Chile, 
Brasil, dan Peru, tahun 1971, Hayter kemudian menerbitkan sebuah buku dengan 
judul Aid as Imperialism. Dalam buku setebal 222 halaman tersebut, Hayter 
secara tegas menyimpulkan bahwa, ''Uang luar negeri bukanlah transfer 
sumberdaya yang bebas persyaratan.'' 

Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri 
biasanya adalah: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; 
(b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, 
nasionalisasi perusahaan asing (khususnya yang dilakukan tanpa kompensasi); (c) 
permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi ''yang dikehendaki'' -- 
terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung 
pemerintah dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter, ''Aid is, in general, 
available to those countries whose internal political arrangements, foreign 
policy alignments, treatment of foreign private investment, debt-servicing 
record, export policies, and so on, are considered desirable, potentiallly 
desirable, or at least acceptable, by countries or institution providing aid, 
and which do not appear to threaten their interest.''

Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia, dan USAID, Hayter 
secara jelas menyatakan bahwa sudut pandang ketiga lembaga tersebut dalam 
menetapkan kriteria dan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus 
kebijakan ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada 
pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja 
kesejahteraan.

Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah posisi 
dominan AS pada ketiga lembaga itu. Implikasinya, walaupun tidak dinyatakan 
secara terbuka, dalam memberikan pinjaman, ketiga lembaga tersebut tidak hanya 
mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga negara yang akan 
menerima pinjaman tersebut.

Kesimpulan Hayter yang mengkonfirmasikan keberadaan utang luar negeri sebagai 
sarana imperialisme itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut Hudson 
(2003), tujuan pemberian pinjaman oleh AS sejak 1960 

[wanita-muslimah] Sekali Lagi Utang dan Imperialisme

2006-01-23 Terurut Topik Ambon
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=232132&kat_id=15

Senin, 23 Januari 2006



Sekali Lagi Utang dan Imperialisme 
Oleh : Revrisond Baswir 



Kritik terhadap utang luar negeri belakangan ini cenderung semakin meningkat. 
Kritik tak hanya muncul sehubungan dengan efektivitas serta implikasi sosial 
dan politiknya, namun meluas hingga mencakup sisi kelembagaan dan ideologinya.

Pada sisi efektivitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya 
dipandang telah menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara 
Dunia Ketiga. Ia juga diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja 
sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi 
(Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick, 1977; Todaro, 1987).

Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu 
meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, 
arus masuk modal asing, dan terjadinya ketergantungan pada utang luar negeri 
secara berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).

Pada sisi implikasi sosial dan politik, utang luar negeri tidak hanya dipandang 
sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman, 
untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung ia 
juga diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, 
kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat 
terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; 
Goerge, 1992; Hanlon, 2000).

Pada sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral yang berperan 
sebagai penyalur utang luar negeri, seperti Bank Dunia dan IMF, tidak hanya 
dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak akuntabel, keduanya 
diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama 
yang menjadi pemegang saham utama mereka (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus 
dan Winters, 2004).

Sedangkan pada sisi ideologi, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh 
negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika Serikat (AS), sebagai sarana 
untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan 
dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme 
neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh 
negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan 
sebesar-besarnya dari seluruh penjuru dunia (Erler, 1989).

Menyimak berbagai kritik tersebut, mudah dimengerti bila berkembang pemikiran 
yang mencoba melusuri jejak utang luar negeri sebagai sarana imperialisme 
negara-negara Dunia Pertama. Studi pertama yang secara khusus melakukan hal itu 
adalah yang dilakukan oleh Teresa Hayter. Berangkat dari hasil penelitiannya 
yang dibiayai oleh Bank Dunia di empat negara Amerika Latin, Columbia, Chile, 
Brasil, dan Peru, tahun 1971, Hayter kemudian menerbitkan sebuah buku dengan 
judul Aid as Imperialism. Dalam buku setebal 222 halaman tersebut, Hayter 
secara tegas menyimpulkan bahwa, ''Uang luar negeri bukanlah transfer 
sumberdaya yang bebas persyaratan.'' 

Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri 
biasanya adalah: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; 
(b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, 
nasionalisasi perusahaan asing (khususnya yang dilakukan tanpa kompensasi); (c) 
permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi ''yang dikehendaki'' -- 
terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung 
pemerintah dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter, ''Aid is, in general, 
available to those countries whose internal political arrangements, foreign 
policy alignments, treatment of foreign private investment, debt-servicing 
record, export policies, and so on, are considered desirable, potentiallly 
desirable, or at least acceptable, by countries or institution providing aid, 
and which do not appear to threaten their interest.''

Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia, dan USAID, Hayter 
secara jelas menyatakan bahwa sudut pandang ketiga lembaga tersebut dalam 
menetapkan kriteria dan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus 
kebijakan ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada 
pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja 
kesejahteraan.

Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah posisi 
dominan AS pada ketiga lembaga itu. Implikasinya, walaupun tidak dinyatakan 
secara terbuka, dalam memberikan pinjaman, ketiga lembaga tersebut tidak hanya 
mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga negara yang akan 
menerima pinjaman tersebut.

Kesimpulan Hayter yang mengkonfirmasikan keberadaan utang luar negeri sebagai 
sarana imperialisme itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut Hudson 
(2003), tujuan pemberian pinjama