Tanpa maksud berprasangka, dalam RUU APP, bias
pemikiran yang menginginkan hegemoni mayoritas yang
melindungi minoritas amatlah terasa karena banyak
tafsiran budaya dalam RUU APP dilihat dari sudut
pandang tertentu dengan mengakomodasi pengecualian.
Konsep itu patut ditolak karena tak sesuai dengan
konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
karakter utamanya terletak pada pengakuan pluralitas
dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut
merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final
-
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/29/opini/2540786.htm
Opini
Rabu, 29 Maret 2006
Negara dan Keberagaman Budaya
Siswono Yudo Husodo
Satu lagi kontroversi muncul di masyarakat. Pemicunya,
rencana DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Antipornografi dan Pornoaksi menjadi Undang-Undang.
Setelah mendapat tantangan keras dari berbagai
kalangan masyarakat, termasuk masyarakat Bali dan
Papua, juga sikap tegas menolak dari Fraksi PDI-P DPR,
Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antipornografi
dan Pornoaksi (RUU APP) memutuskan untuk mengadakan
revisi draf. Proses pembahasan RUU APP akan
dilanjutkan setelah reses.
Para penggagas dan pendukung RUU APP berargumen,
diperlukan instrumen hukum untuk menyelamatkan bangsa
dari demoralisasi. Penulis amat menghargai keinginan
positif itu sebagai wujud tanggung jawab warga negara.
Sebagai orang yang amat mencintai bangsa ini, saya
juga ingin melihat bangsa kita menjadi lebih beradab,
lebih berbudaya. Pusat kritik terhadap RUU APP memang
berada dalam dimensi budaya. Dalam konteks negara
bangsa yang plural, siapakah yang memiliki hak untuk
menentukan parameter keberadaban budaya?
Mengingat budaya bangsa kita amat heterogen, dari Aceh
hingga Papua, adopsi atas parameter budaya partikular
suatu kelompok masyarakat untuk mengatur seluruh
elemen bangsa tidak mungkin dilakukan.
Di dunia ini, ukuran setiap bangsa tentang kesantunan
beragam. Salah satu ukuran ketinggian peradaban suatu
masyarakat adalah kesantunannya dalam bertingkah laku,
bertutur kata, dan berpakaian.
Di tengah ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain,
upaya memaksakan RUU APP menjadi UU adalah salah satu
wujud nyata ketertinggalan kita; sebuah RUU inisiatif
yang dibuat oleh DPR kurang memahami keberagaman
budaya yang ada pada bangsa kita.
Saat ini diperlukan rasa kebersamaan dan saling
pengertian antarwarga bangsa agar tercipta rasa aman.
Dengan rasa aman itu, kita akan dapat mewujudkan tata
pergaulan yang baik, kokoh, sinergis, alamiah, dan
manusiawi. Dengan nilai-nilai itu, kita mencapai
aktualisasi kreatif nilai-nilai budaya bangsa dan
membuat setiap orang dapat berprestasi maksimal untuk
membangun kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan
bagi dirinya sendiri, masyarakatnya, dan untuk seluruh
bangsanya.
Keberagaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang
Mahakuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal
Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu
hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni.
Kegiatan sementara pihak yang berupaya mendominasi
pemahaman budaya melalui RUU APP tidaklah dapat
diterima sebagai upaya tulus untuk memajukan dan
menyelamatkan bangsa.
Tanpa maksud berprasangka, dalam RUU APP, bias
pemikiran yang menginginkan hegemoni mayoritas yang
melindungi minoritas amatlah terasa karena banyak
tafsiran budaya dalam RUU APP dilihat dari sudut
pandang tertentu dengan mengakomodasi pengecualian.
Konsep itu patut ditolak karena tak sesuai dengan
konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
karakter utamanya terletak pada pengakuan pluralitas
dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut
merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final.
Menurut hemat saya, demi keutuhan dan keselamatan
bangsa, sebaiknya dalam membahas hal-hal yang bersifat
mendasar, mekanisme politik yang digunakan adalah
semangat bangsa kita dalam menyelesaikan perbedaan,
yaitu musyawarah untuk mufakat bulat.
Artinya, pengambilan keputusan untuk membahas hal
seperti RUU yang menyangkut pemahaman konsep dan
praktik budaya yang akan mengatur perikehidupan
masyarakat harusnya dilakukan secara aklamasi. Bila
hal itu tidak dapat dicapai secara aklamasi, memang
RUU itu harus didrop. Sebagai konsekuensi negara
kesatuan (unitarian) yang menempatkan seluruh wilayah
negara sebagai kesatuan tunggal ruang hidup bangsa,
sebuah RUU juga harus didrop bila ada satu saja daerah
yang menyatakan menolaknya karena tidak cocok dengan
adat istiadat dan budaya setempat. RUU APP sudah
ditolak di Bali dan Papua.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses
demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki
koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi
keberlangsungan NKRI, membina keberagaman, dan
memantapkan kesetaraan.
Dapat maju atau tidaknya suatu negara bangsa memang
tergantung pada bagaimana masyarakat itu sendiri
mengelola dorongan perubahan yang ada. Perlu
diperhatikan bahwa setiap sistem memiliki entropi.
Entropi di dalam tubuh kita bisa berupa sel-sel tubuh
yang